Mohon tunggu...
FOREST SPACE
FOREST SPACE Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer |Forester |Ig.nagadragn |Fb.Dra gon |LinkedIn.Fitriyani sinaga
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ruang Hutani, Sosial Budaya, Pendidikan dan Literasi lingkungan Hidup. https://ruanghutani.blogspot.com/?m=1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masyarakat Adat Vs RUU Pertanahan, Refleksi Hari Tani Utopis Kelestarian Hutan?

1 Desember 2019   17:35 Diperbarui: 2 Desember 2019   10:14 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nagadragn | Masyarakat adat, Petani Kutai barat

" Hutan dikelola secara lestari menjadi mimpi kita bersama. Hutan dan lahan pertanian sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui semestinya bisa dikelola bertani secara adil dan ekologis  guna mendukung perikehidupan bersama, khususnya masyarakat yang tinggal disekitarnya. Kepastian hak Masyarakat adat sebagai wujud pengakuan dan perlundungan masyarakat adat di wilayah hutan adat yang Eksistensinya bertani, berburu dan berusaha di sektor kehutanan dengan mengedepankan ekologi dan pendekatan Sosio Kultur. Refleksi atas tani hari ini, ketahanan pangan, kinerja Parlemen dan pemerintah dalam menyelesaikan reforma agraria: Mari  tolak RUU Pertanahan, menyelesaikan masalah tetapi mengabaikan akar masalahnya. Pak Tani Ku kusayang, pak tani Ku Malang". oleh Fitriyani Sinaga

Hari Tani dan Penolakan RUU Pertanahan


Dalam kondisi resesi pangan dan kebijakan tani saat ini bahkan telah memasuki era depresi kebijakan nasional. Kita masih menyaksikan secara kontras sikap divergentif antara berbagai pihak di jajaran pemerintah, baik pusat maupun daerah terhadap bagaiamana pengelolaan sektor pertanian dan mensejahterakan petani di Indonesia.

Berawal dari pidato presiden Indonesia pertama,Bung Karno " Soal Pangan adalah Soal Hidup dan matinya suatu bangsa", kemudian mengejewantahkan secara serius dalam suatu kebijakan Undang-Undang no. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kebijakan ini merupakan landasan pemerintah dalam mengelola lahan dengan berkeadialan dan mensejahterakan petani serta landasan para petani dalam memperjuangkan kepastian hukum hak atas tanahnya.

UUPA menjadi refleksi adanya hari tani setiap tanggal 24 september yang dalam dekat ini telah direduksi dengan lahirnya Rancangan Undang Undangn (RUU) Pertanahan yang diklaim akan melengkapi kekurangan dari UUPA 1960 oleh DPR RI. RUU tersebut dalam sepekan mempunyai muatan yang kontropersial yang menimbulkan keresehan dan terjadinya demo dan Aksimahasiswa/masyarakat.

Menurut Noer Fauzi Rahman (Ahli Bagian  Agraria dan Ekologi Politik) dalam bukunya, Pelaksanaan Reforma agraria dalam RUU Pertanahan telah diatur dengan harapan untuk memenuhi hak masyarakat atas tanah dan dapat menyelesaikan konflik-konflik agraria struktural yang telah berlangsung dan yang akan terjadi.

Konflik agraria struktural adalah pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai suatu bidang tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah kepunyaan rakyat dengan badan usaha raksasa yang bergerak dalam bidang infrastruktur, produksi, ekstraksi, dan konservasi dimana pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak secara langsung maupun tidak langsung dalam menghilangkan klaim pihak lain.

Namun bila dipahami secara lebih dalam, reforma agraria yang dalam RUU Pertanahan terlihat tidak berpihak kepada rakyat miskin dan justru berpihak pada kepentingan pemodal besar (Kapital). Tidak berpihaknya pemerintah pada rakyat miskin dalam melaksanakan Reforma Agraria menurut RUU ini salah satunya adalah model penyelesaian konflik agraria yang menekankan pada proses mediasi dan peradilan.

Hal tersebut dapat diartikan bahwa RUU tersebut menyamakan konflik agraria struktural dengan konflik pertanahan biasa. Padahal, konflik agraria struktural memiliki dampak yang lebih luas dari pada konflik pertanahan biasa. Konflik agraria struktural berdampak luas secara sosial, budaya, ekonomi, ekologis dan tidak jarang memakan korban jiwa.

Konflik agraria struktural harus diselesaikan dengan melibatkan seluruh pihak dan seluruh elemen masyarakat yang terlibat dalam satu sektor konflik agraria struktural. Lebih daripada itu, konflik agraria struktural seharusnya dapat diantisipasi sejak masih menjadi potensi dengan aturan yang tegas, sehingga selain menyelesaikan konflik agraria struktural, dapat juga menghindari atau mencegah potensi-potensi konflik tenurial.

Contohnya saja dalam RUU Pertanahan mengatur tentang Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah oleh negara. HPL yang sebelumnya di atur dalam pasal 64 Peraturan Meteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, selama ini dianggap sebagai aturan yang banyak melahirkan konflik agraria.

Pemberian HPL oleh pemangku kebijakan seringkali hanya mementingkan kepentingan pemodal besar untuk menjalankan usahanya sehingga mengenyampingkan keberadaan masyarakat dalam wilayah HPL yang diberikan. Kenyataan tersebut terjadi diberbagai wilayah di Indonesia dan menjadi sumber berbagai jenis konflik di berbagai sektor agrarian.

Artian HPL disini adalah aturan yang menindas karena seringkali dalam pemberian HPL tersebut oleh pemangku kewenangan, dilakukan tidak dengan memperhatikan kondisi lahan dan keberadaan masyarakat yang mendiaminya. Di tanah-tanah yang masuk dalam wilayah pemetaan HPL tidak jarang telah terdapat masyarakat yang telah lama hidup dan berkehidupan diatasnya.

Padahal Reforma agraria adalah upaya negara untuk menata ulang struktur agraria Indonesia yang timpang menjadi lebih berkeadilan, mensejahterakan dan berkelanjutan, yang dilakukan secara sistematis, terstruktur serta memiliki kerangka waktu yang jelas. Sedangkan RUU Pertanahan ini mengartikan Reforma Agraria hanya sebatas pada program penataan aset saja seperti dalam pasal terkait Hak Pengelolaan (HPL) tersebut.

Masyarakat Adat Butuh Kepastian Hukum yang Adil

Hutan adat sebagai ladang bertani  hutan dan berburu dalam keberlangsungan hidup  masyarakat lokal terutamanya masyarakat adat menuntut bentuk nyata kepastian hukum sebagai pengakuan dan perlundungan masyarakat adat untuk hak pengelolaan hutan di wilayah adat. Hutan Adat merupakan eksistensi kehidupan masyarakat adat.  Kepastian atas hak masyarakat adat sebagai prasyarat bagi kepastian berusaha di sektor kehutanan.

Bila kita telisik, ketidak-pastian Hak Hukum Masyarakat  telah ada dan pernah memuncak sejak reformasi bergulir dengan jatuhnya rezim Orde baru pada tahun 1998 yang ditandai dengan merebaknya konflik terbuka antara masyarakt lokal, terutama masyarakat adat dengan  perusahaan perusahaan besar/penguasa oligarkhi .

Sejak reformasi mulai berlangsung, proses politik sehat terus menghasilkan perubahan-perubahan mendasar menyangkut relasi kekuasaan antara penyelenggara negara dengan rakyat. Melalui UU 1945 amandemen II atas pengakukan penghormatan dan perlindungan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat sebagai HAM dan kesepakatan politik nasional bahkan Hingga ke peraturan saat ini terkait Hutan adat.

Memang, secara konstitusi Indonesia telah mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya dan hak atas tanahnya (Hak Ulayat) juga menjadi bagian yang diatur dalam RUU Pertanahan. Namun, aturan-aturan dalam RUU ini bersifat pasif terhadap hak atas tanah masyarakat adat.

Masyarakat adat dituntut harus proaktif dalam hal mendapatkan hak atas tanah adatnya. Pengakuan atas keberadaan masyarakat adat untuk memperoleh hak ulayat harus dikukuhkan oleh instansi pemerintah di berbagai lingkup daerah dan pusat.

Seperti contohnya di Kalimantan Timur, pengakuaan msyarakat adat dan hutan adatnya msih sangat minim dikarenakan proses administrasi dan potensi pemenuhan syarat  masyarakat adat serta informasi belum maksimal sesuai Peraturan Menteri LHK N0. 23/2015 tentang hutan hak dan pasal 6 terkait penetapan hutan adat diantaranya keberadaan masyarakat hukum adat/ha katas ulayat yang telah pemerintah melalui produk hukum daerah.

Hutan Adat Hemaq Beniung adalah hutan adat pertama di Kalimantan Timur yang mendapat pengakiuan negara pada tahun 2017 lalu melalui proses yang sangat panjang. Dimana disana juga ada aktivitas bertani dengan pendekatan sosio kultur dan ekologis. Masyarakat adat Hemaq Beniung bercocok tanam dan berburu dengan tetap menjaga kawasan hutan yang sekarang jadi hutan adat.

Dalam usulan RUU Pertanahan yang Kontradiktif dengan UUPA 1960 adalah tentang ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan pada awal tulisan bahwa RUU Pertanahan menjadikan UUPA sebagai landasannya. Menjadikan tujuan UUPA pula dalam membuat aturan-aturan yang tertuang didalamnya.

Namun, kontradiksi juga timbul dalam muatan dan substansi yang dibuat. Terkait peran proaktif yang seharusnya di laksanakan oleh pemerintah dalam mendaftarkan tanah diseluruh wilayah Indonesia agar dapat memiliki data agraria yang lengkap dan akurat dalam rangka menentukan arah pembangunan nasional dan pemenuhan hak-hak agraria masyarakat.

Kelestarian Hutan Yang Utopis ?

Diskursus pengelolaan Hutan berbasis masyarakat yang sering dikatakan sebagai paradigma baru. Pengelolaan hutan di Indonesia ternyata tidak beranjak pada persoalan-persoalan kepastian hak dan model implementasinya.

Jika Kita telusuri lebih jauh maka pengelolaan hutan berbasis masyarakat masih diinisisasi oleh masyarakat adat dengan sistem pertanian ramah lingkungan serta menjaga nilai ekologi hutan melalui pendekatan budaya adat setempat.

Indonesia dengan eksistensi hutannya dan dikenal negara agraris, tetapi pada kenyataannya alih Fungsi lahan hutan yang menjadi perkebunan sawit dan industri ekstraktif oleh para pemodal menjadi persempitan lahan untuk Petani kecil (Petaniku sayang petaniku malang).

71 persen tanah di seluruh daratan di Indonesia telah dikuasai oleh korporasi Kehutanan. Di samping itu, 23 persen tanah dikuasai oleh korporasi perkebunan skala besar dan para konglomerat. Sementara, data BPS menyebutkan bahwa ketimpangan tanah di Indonesia mencapai 0,397% yang berarti rata-rata petani di seluruh Indonesia hanya mencapai 0,8 hektar. Salah satu contoh kepemilikan tanah skala besar adalah oleh PT. SINARMAS GRUP yang menguasai 471.100 hektar tanah untuk perkebunan sawit di Indonesia.

Belum penuh diakuinya Hak dan ruang kelola Masyarakat serta menjadi mapannya hak menguasai negara atas sumberdaya alam menurunkan berbagai kebijakan kehutanan yang centralistic, berbasis negara dan pro pemodal besar. Lahan hutan dan tani dalam skala Perhutanan Sosial yang diberikan pada masyarakat belum sepenuhnya menyelesaikan masalah masyarakat saat ini. Maraknya Pembukaan lahan hutan besar-besaran oleh korporasi untuk perkebunan sawit juga menjauhkan hutan petani-petani kecil Indonesia dari kata sejahtera dan lestari.

Ketimpangan semakin terlihat dari Luas lahan perkebunan (sawit) di Indonesia itu 12,21 juta ha. Sekitar 7,88 juta ha dikuasai oleh swasta. Sedangkan jumlah luas lahan sawah yang tersedia di Indonesia sebesar 8,19 juta ha.

Tentunya hal tersebut menunjukan dengan nyata ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia dan mengingat bahwa RUU Pertanahan tidak mengatur jumlah luasan HGU yang dapat diberikan justru akan semakin meningkatkan ketimpangan penguasaan tanah serta tidak mencerminkan cita-cita UUPA 1960.

Dengan Luas hutan 85,6 juta ha/71% tanah daratan Indonesia yang dikuasai sektor kehutanan tidak menjamin kelestarian Hutan itu sendiri. Banyaknya izin-izin Konsesi pemanfaatan untuk ekstraktif di Kawasan Hutan memperpanjang laju deforestrasinya meningkat tiap tahun dan  ditambah lagi terjadinya Kebakaran lahan dan hutan (Karhutla) saat ini.

Hal tersebut semakin memastikan utopis dalam hal Kelestarian Hutan. Kelestarian Hutan dan para petani sekitar hutan masih belum sejahtera.

Untuk itu mari kolektif dalam menyuarakan Kepastian Hukum hak masyarakat adat, kesejahteraan petani, menolak RUU Pertanahan serta mari melindungi dan restorasi Hutan.

#ReformasiDikorupsi

#MosiTidakPercaya

#GerakanKolektif

#SelamatkanHutan

#PetaniMuda

#BertaniKarenaBenar

*dimuat juga di blog pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun