Seorang teman mengeluh. Katanya, "Kenapa orangtua selalu disalahkan kalau anak kita bermasalah? Padahal anak itu khan punya pikiran dan perasaannya sendiri, lha gimana orangtua selalu bisa mengendalikan supaya anak nggak punya masalah?"Â
Sambil bersungut, dia melanjutkan kata-katanya. "Kalau semua hal disalahkan orangtuanya, ya nggak heran kalau ada orang yang nggak mau punya anak!" pungkasnya.
Iya sih ya.. Kalau semua kesalahan anak atau peristiwa yang menimpa anak selalu dibebankan ke orangtua, memang kesannya wajar ada pasangan suami istri yang enggan punya anak. Ribet! Repot! Plus bebannya berat sekali. Bawa masalahnya sendiri aja belum tentu kuat, apalagi ditambah harus bertanggung jawab seumur hidup atas mahluk yang namanya anak.
Siapa yang Dikenal Anak Pertama Kali?
Sebenarnya siapa yang dikenal anak pertama kali? Ibu, ayah, saudara, nenek, kakek, dan figur pengasuh lainnya. Beberapa tahun pertama kehidupan anak, ya hanya orang-orang itu saja yang dikenal bayi.Â
Merekalah yang mengajari si bayi warna, kosakata, makanan, dan sebagainya. Aturan tidur, bermain, mandi, makan, semuanya ditentukan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya.Â
Kebayang nggak kalau mereka ngajarinnya salah? Tangan kanan dibilang tangan kiri, misalnya. Si bayi mana tahu kalau salah? Atau hidung disebut mulut, misalnya.Â
Bayi baru akan paham kalau salah ketika dia masuk ke lingkungan sosial di luar keluarga. "Weeee... ternyata tangan kanan itu yang ini toh?" Kata si bayi waktu masuk kelas PAUD.
Orangtua punya kekuasaan untuk mengajarkan nilai-nilai, agama, dan aturan-aturan pada bayinya. Orangtua menentukan mana nilai-nilai yang dianggap baik, mana perilaku yang diterima dalam keluarga, dan aturan-aturan yang berlaku dalam rumah. Anak dididik untuk mengikuti. Dan orangtua memberikan konsekuensi kalau anak tidak patuh.Â
Ini bicara dalam konteks keluarga yang normal dan normatif ya. Kalau orangtuanya kasar, lakukan kekerasan, dan menyimpang, ya semua bahasan itu tidak berlaku. Dengan kondisi didikan pertama adalah orangtua dan figur pengasuh lainnya, maka sangat wajar kalau masyarakat cenderung akan menuding orangtua sebagai penyebab utama lewat ungkapan: "Di mana sih orangtuanya? Kenapa orangtuanya nggak ndidik baik? Kenapa anak umur segitu dikasih perhiasan sih, nggak heran bikin iri orang lain? Kok sikap orangtuanya santai gitu? Gimana sih cara ndidiknya, kok anaknya nakal sekali?" dan sebagainya.
Ufff.. Kebayang sih ya beratnya kalau seperti itu kondisinya. Cuma sekarang kebayang khan, kalau orangtua selalu jadi pihak "tertuding" pertama ketika anaknya bermasalah. Pertanyaannya, sampai kapan terus menerus jadi tudingan semacam itu?Â
Manusia itu Ada Tahap Perkembangannya
Nah, supaya nggak terlalu bingung, Anda bisa belajar tentang tahap perkembangan anak. Informasi itu banyak sekali di internet. Intinya, tahap usia tertentu, anak diharapkan menguasai tugas perkembangan yang sesuai usianya.Â
Misalnya usia puber, diharapkan anak sudah mengenal dirinya, dia tahu kelebihan dan kekurangannya, sehingga pertumbuhan fisiknya tidak akan mengganggu sekali aktivitas sehari-harinya. Pada usia puber, di mana emosi sangat labil, anak perlu diajarkan mengenali pola emosinya dan cara menyalurkannya.
Dengan pemahaman tahap perkembangan itu, orangtua bisa belajar mengasuh anak berdasarkan tugas perkembangan. Cara mendidik anak usia 5 tahun pasti beda ketika anak masuk usia 15 tahun karena tugas perkembangannya beda.Â
Orangtua bisa fokus pada anak, bukan apa keinginan atau harapannya sendiri. Tantangannya di sini, yaitu bersikap jujur pada diri sendiri (dalam arti pasangan suami istri) tentang sifat anak, kekurangan anak, ketidakmampuan anak, dan perilaku anak.Â
Kalau orangtua mau objektif dan jujur, mereka tahu persis sifat, perilaku, kekurangan dan kelebihan anak kok. Cuma ya kadang malu aja mengakui kelemahan anak, gengsi kalau anaknya kalah prestasinya dengan anak lain, defensif juga kalau anaknya ditegur gurunya.
Selain parenting perlu disesuaikan dengan tahap perkembangan anak, orangtua perlu juga melibatkan orang lain, misalnya sekolah, keluarga, atau komunitas. Anak yang banyak bergaul akan mempunyai pengalaman dan wawasan lebih luas.Â
Mereka akan terstimulasi untuk berpikir kreatif. Menimbang hal-hal baik dan buruk. Berlatih mengambil keputusan. Dan juga akan banyak bertanya pada orangtuanya, sehingga diperlukan kemauan orangtua untuk berdiskusi dengan anak lebih sering dan terbuka. Eh nggak gampang lho ngbobrol dengan anak... Serius ini.Â
Sulitnya itu ya, seringkali orangtua nggak bisa menahan diri untuk tidak memberikan nasihat. Lha anaknya cuma butuh ngobrol, cerita-cerita, eh orangtuanya sibuk ngasih wejangan. Langsung mandek tuh obrolan.Â
Ketika anak sudah masuk usia dewasa, maka anak mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Semua didikan orangtua diharapkan menjadi landasan atau fondasi karakternya dan menjadi referensi ketika mengambil keputusan.Â
Saat itu, anak sudah berdaya setidaknya dalam 5 area yaitu berdaya secara fisik, berdaya secara psikis-emosi, berdaya secara sosial, berdaya secara finansial, dan berdaya secara spiritual. Berikut ini penjelasannya:Â
- Berdaya secara fisik artinya anak bisa menentukan apa yang mau dimakan, olahraga apa yang mau dijalani, mau melakukan apa dengan tubuhnya (harapannya sih yang positif ya), dan bebas memilih mau membentuk tubuhnya seperti apa.
- Berdaya secara psikis-emosi: Anak sudah bisa mengelola emosinya. Bisa mengenali luka batin, dan bisa menentukan apakah mau mengendalikan emosinya, atau melepaskannya begitu saja.Â
- Berdaya secara sosial: Mereka bisa menentukan sendiri lingkungan pertemanannya. Memilih mau gabung di komunitas mana, mencari pasangan hidup, dan memilih nyaman tinggal di mana.Â
- Berdaya secara finansial: Kalau mereka sudah bekerja (harusnya sih sudah ya), maka mereka punya kebebasan bagaimana menggunakan uangnya.Â
- Berdaya secara spiritual: Anak bisa memilih keyakinannya, bisa memilih mau beribadah di mana, dan bisa menentukan apakah beragama atau tidak (ya, harapannya tidak begitu).Â
Intinya dengan 5 area berdaya itu, anak sudah menjadi individu mandiri yang bebas menentukan pilihan, dan mampu bertanggung jawab atas keputusannya. Semua pilihannya, baik positif maupun negatif, baik atau buruk, merekalah yang menanggung konsekuensinya.Â
Tidak Ada Orangtua Sempurna, Tidak Ada Pola Asuh Terbaik
Tahu nggak, sekalipun orangtua sudah merasa memberikan yang terbaik, tetap saja anak punya masalah. Ya khan? Bahkan kadangkala anak menyalahkan orangtua sebagai penyebab masalahnya.
Di titik itulah ujian sesungguhnya. Bagaimana sikap kita terhadap "gugatan" anak? Marah? Defensif? Sedih? Atau apa? Salah persepsi semacam itu sering terjadi. Anak punya pendapat berbeda, padahal kita sudah melakukan banyak hal untuk mereka.
So, jangan khawatir... Sebaik apapun orangtua, tetap ada masalah dengan anaknya. Konflik komunikasi paling sering terjadi. Ketika konflik itu muncul, anak biasanya "lari" atau melampiaskannya ke luar rumah.Â
Saat itulah orang menilai, ya kadang menghakimi juga, bahwa orangtuanya tidak baik, tidak becus, dan tidak mampu mendidik. Padahal mungkin saja nggak seperti itu.Â
Konflik itu ibarat satu episode dalam kehidupan, episode yang lain baik-baik saja, dan mereka sedang bergumul dalam satu episode itu. Bukan berarti seluruh episode pengasuhan sebelumnya 'hilang' atau tidak bermakna karena konflik itu ya.
Bagi Anda, para orangtua, jangan merasa buruk kalau anak-anak Anda punya masalah. Tidak perlu merasa gagal total. Hal penting adalah Anda fokus pada masalah saat itu, abaikan komentar orang lain, dan singkirkan ego.Â
Kita pernah menjadi anak-anak, tapi mereka belum pernah menjadi orangtua, sehingga wajar kalau mereka belum mampu melihat sesuatu secara komprehensif dan menyeluruh.Â
Ngeliatnya cuma sepotong yang bikin mereka nggak suka, trus ngrasa hidupnya susah, trus protes sampe mempertanyakan hal-hal yang kurang layak, misalnya "Kenapa Papa Mama nikah, dan berhubungan suami istri? Kalo nggak gitu, aku khan nggak usah lahir!" Bikin gggrrr... ya khan?Â
Tetap fokus pada tujuan Anda mendidik anak, persiapkan fondasi karakternya, dan selanjutnya serahkan pada Tuhan atas apapun yang Anda sudah lakukan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI