Suatu hari..Â
"Aku nggak mau pake sepatu itu! Aku mau sepatu baru kayak punya adek!" Protes yang diiringi dengan lemparan sepatu ke dinding.. Braakk.. Hmm.. Si Ibu mengelus dada sambil berkata dengan sabar, "Iya, nanti Ibu beliin ya. Sekarang kakak harus pake sepatu, khan mau sekolah.."Â
"Nggak mauu... Aku nggak mau sekolah!" Lalu si kakak bergegas masuk kamar, telungkup di atas ranjang, sambil menangis. Ibu melihat anaknya itu antara jengkel dan ingin ketawa. Anak kecil usia 5 tahun sudah bisa protes dan iri terhadap adik bayinya yang baru berusia 2 tahun.Â
Kakak tidak mengerti mengapa adiknya selalu dibelikan sepatu, sedangkan dia tidak. Sepatu adik bayi banyak, warnanya bagus. Sepatunya sendiri sedikit. Yaa.. anak balita tidak paham kalau kaki bayi cepat sekali membesar, sehingga perlu sepatu baru.
Rasa cemburu seringkali dirasakan oleh anak yang lahir lebih dulu. Apalagi kalau jarak usianya dekat, yaitu sekitar 1 - 3 tahun, dengan adiknya. Kakak berusia 5 tahun, adiknya 2 tahun. Jarak usia hanya 3 tahun memang rawan menimbulkan persaingan. Bila keduanya berjenis kelamin sama, wah.. orangtua siap-siap stok kesabaran yang banyak yaa..Â
Sibling Rivalry
Persaingan antar saudara itu umum terjadi, namun bisa dicegah atau diatasi. Rasa cemburu terhadap kehadiran anggota baru keluarga merupakan inti dari fenomena sibling rivalry. Anak takut kehilangan kasih sayang orangtua yang selama ini dia terima. Mereka belum mampu berpikir abstrak bahwa kasih sayang itu bukan benda yang bisa habis dibagi. Kondisi ini diperparah bila orangtua tidak menyiapkan anak menerima anggota baru.Â
Rasa cemburu yang diselimuti rasa marah menyebabkan munculnya sibling rivalry pada anak-anak. Bila tidak diselesaikan saat ini, akan berdampak jangka panjang, baik pada anak itu sendiri, maupun orangtuanya.Â
Penyebab sibling rivalry dimulai dari orangtua, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan orangtua yang secara kasat mata adalah membandingkan antar saudara. Mungkin tujuannya untuk memberikan motivasi, tapi nyatanya hal itu menimbulkan rasa iri hati.Â
Perlakuan orangtua yang pilih kasih, merupakan tindakan tidak langsung. Anak tidak bisa menyebutkan dengan jelas karena mereka tidak mengerti, tapi mereka tahu kalau orangtuanya lebih menyayangi saudaranya dibandingkan dirinya.Â
Selain orangtua, perlakuan orang-orang sekitar yang sering terlibat dengan anak juga berpotensi memunculkan sibling rivalry. Siapakah mereka? Mulai dari kakek, nenek, paman, bibi, guru, atau orang dewasa lain yang kerap berkunjung ke rumah.Â
Komentar-komentar mereka, seperti, "Duh, kakaknya nggak secantik adiknya ya? Adikmu lho putih, kamu kok item? Belum mandi yaa.." atau komentar guru, "Kamu nggak seperti kakakmu.. Kakakmu rajin, juara kelas, aktif di OSIS. Kamu kok sering bolos?"Â
Anda sering menemui fenomena seperti itu ya? Sebaiknya hal-hal semacam itu dihentikan, sebelum berdampak buruk pada anak-anak kita.Â
Dampak Sibling Rivalry
Kebanyakan orangtua menganggap persaingan atau rasa cemburu pada anak-anaknya itu wajar. Nanti juga hilang sendiri, gitu katanya. Padahal tidak yaa.. Sibling rivalry bukan menurun, lalu menghilang, bila tanpa penanganan. Rasa jengkel, marah, kecewa, yang bertumpuk akhirnya berubah menjadi rasa dengki.Â
Bahkan bisa berlanjut menjadi permusuhan hingga mereka dewasa. Sudah banyak contoh untuk hal ini. Mungkin Anda pernah membaca berita pertikaian antar saudara di pengadilan karena berebut warisan, sementara orangtuanya terbaring sakit di Rumah Sakit? Atau antar saudara yang tidak saling menyapa selama bertahun-tahun?Â
Dampak pada individu juga bisa diamati. Anak yang minder karena dibandingkan dengan kakak/adiknya akan membawa perasaan inferior itu hingga ke masa dewasa. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang tidak utuh, bimbang, tidak bangga dengan dirinya, dan seperti kehilangan arah.Â
Pikirannya selalu ke perbandingan dengan kakak/adiknya. Sampai kapanpun perbandingan itu tidak akan mencapai posisi setara karena masing-masing individu berkembang. Hal ini tidak disadari oleh individu yang inferior tersebut, sehingga dirinya diliputi keraguan sepanjang usia. Patokannya adalah saudaranya itu, sampai lupa pada potensi dirinya yang harusnya bisa dikembangkan maksimal.Â
Bentuk Perilaku Sibling Rivalry
Setelah mengetahui dampak buruk sibling rivalry, saya akan jabarkan bentuk perilakunya agar Anda lebih jeli mengamati tingkah laku anak-anak Anda, atau tingkah laku anak-anak yang menjadi tanggungjawab Anda.Â
1. Mereka lebih sering menangis tanpa sebab atau karena hal sederhana, sehingga orang memberikan label 'cengeng'. Sedikit sedikit nangis. Nangisnya lama pula. Makin dilarang nangis, makin kencang tangisannya.Â
2. Kemunduran perilaku. Anak kembali ke masa sebelumnya. Kalau tadinya sudah tidak mengompol, eh sekarang malah ngompol terus menerus. Ada juga yang minta minum dari botol susu (dengan dot), atau minta ASI juga seperti adiknya.Â
3. Tingkat agresivitas meninggi. Adiknya dipukul, ditarik, dibanting, dijambak, atau dicubit. Sebenarnya dia tidak benci pada adiknya, tapi jengkel dengan orangtuanya, dan melampiaskan pada adiknya.Â
4. Membangkang perintah orangtua. Kalau tadinya anak patuh pada orangtua, sekarang berulah. Orangtua jadi terpancing emosinya. Label disematkan pada anak : Nakal. 'Dasar anak nakal ini yaa..' Plokk.. Dipukul pakai benda oleh ibunya.Â
Nah, setelah Anda mengetahui bentuk perilaku adanya persaingan antar saudara, Anda bisa bertindak segera untuk menghentikannya.Â
Solusi Praktis Atasi Sibling Rivalry
Tidak mudah bagi orangtua, terutama ibu berperan ganda, untuk menangani beragam tingkah anaknya. Kalau bisa sih, ingin anak-anak itu damai, rukun, akur, saling bantu tanpa diminta, dan suasana tenteram sepanjang waktu. Ya khan? Keinginan itu bisa terwujud kok, tapi nanti kalau mereka semua sudah kuliah di luar kota dan Anda tinggal sendirian di rumah bersama kucing, anjing, dan tanaman.Â
Percayalah, ketika saat itu datang, Anda akan merasa kehilangan. Jadi nikmatilah masa-masa sibuk sebagai orangtua sekarang ini.Â
Kalau situasinya tidak parah, Anda bisa mengatasi sendiri, tanpa bantuan tenaga profesional seperti Psikolog. Berikut ini langkah-langkah yang bisa Anda lakukan sendiri di rumah :
1. Amati dulu seberapa jauh sibling rivalry yang ada.Â
Apakah kakaknya yang jealous dengan adiknya, atau sebaliknya? Jangan gunakan asumsi Anda, tapi amati sungguh-sungguh. Bisa jadi adik yang iri pada kakaknya, bukan sebaliknya. Anda bisa menggunakan bentuk perilaku sibling di atas sebagai patokan awal.Â
Kalau mereka bertengkar, dengarkan dulu apa penyebabnya. Seringkali terucap kata-kata cemburu di sana. Tapi kalau pertengkaran itu berbahaya, ya harus segera dihentikan.Â
2. Identifikasi perilakunya.Â
Kalau selama ini Anda bereaksi dengan kemarahan, sekarang tahan diri dulu. Jangan-jangan perilaku 'ajaib' itu adalah bentuk sibling rivalry. Kalau ternyata iya, maka minta maaf pada anak, sambil ajak dia bicara mengapa dia lakukan itu. Dengan kesabaran, anak akan terbuka tentang perasaannya.Â
3. Lihat pada diri sendiri.Â
Amati diri sendiri, apa yang berubah dari diri Anda? Apakah Anda lebih mudah marah? Apakah Anda tidak punya waktu untuk mendampingi anak? Apakah waktu Anda lebih banyak untuk adik bayi dibandingkan kakak-kakaknya?Â
Kalau iya -dan mungkin iya karena bayi butuh waktu lebih banyak- Anda bisa minta bantuan orang lain untuk merawat sejenak bayi kecil itu. Bisa jadi bahasa kasih anak-anak Anda (yang merasa kehilangan ibunya) adalah waktu berkualitas, maka tidak heran kalau mereka bertingkah polah yang memancing emosi.Â
4. Ritual yang hilang.Â
Kebiasaan apa yang tadinya ada, sekarang tidak ada lagi? Misalnya sebelum adik bayi lahir, Anda bisa memandikan anak pertama. Sekarang samasekali tidak pernah. Dulu Anda yang membuatkan susunya, sekarang dia harus membuat sendiri.Â
Ritual itu penting bagi anak-anak karena mereka membutuhkan kestabilan. Anak belum mampu diajak berpikir jauh, mereka masih dalam tahap berpikir konkrit (apa yang dilihat itu yang dipercaya). Secara bertahap, kembalikan ritual itu. Saya tahu Anda lelah, apalagi kalau tidak ada ART, Anda sendiri harus bekerja. Namun saya yakin Anda bisa mengatur strategi agar ritual itu kembali, dan bayi Anda terawat baik.Â
5. Berhenti membandingkan.Â
Ini klise ya? Banyak sekali nasihat parenting yang mengatakan hal itu. Tapi yaaa.. sekalipun banyak dilontarkan para ahli psikologi perkembangan anak, tetap saja orangtua melakukannya. Memang butuh latihan kok.. Latihan menahan diri untuk tidak bandingkan anak. Semakin sering Anda bandingkan anak, makin meriah hidup Anda. Percaya deh.. hehe..Â
6. Miliki hari khusus untuk tiap anak atau benda kesayangan.Â
Hah? Bisa jadi Anda berkomentar seperti itu. "Lha anakku ada 8, gimana caranya membagi hari khusus? Bisa nggak kerja dong.." Hmm.. Maksud saya itu yaa.. Hari khusus bukan 24 jam hanya dengan 1 anak saja. Waktu spesial itu hanya membutuhkan sekitar 3 jam maksimal.Â
Anda bisa memandikan anak, menyuapi seperti waktu dulu, mengajaknya bernyanyi, atau sekadar bersepeda keliling kompleks rumah. Selama melakukan itu, singkirkan semua urusan Anda dan jangan mengajak saudaranya.Â
Saya pernah mendengar keluhan klien, "Saya sudah lakukan, Bu, tapi nggak ada hasilnya. Anak saya tetap iri sama adiknya." Setelah saya tanya, ternyata selama berduaan dengan anaknya, si ibu asyik nonton Youtube dan anak main game.. di foodcourt mall! Walah.. Itu sih sama saja.Â
Kalau bukan hari khusus, milikilah benda kesayangan. Misalnya tanaman yang dirawat berdua dengan anak. Cuman resikonya kalau anak marah pada Anda, atau marah pada saudaranya, benda kesayangan itu akan menjadi sasaran pertama untuk dirusak. Pertimbangkan soal ini sebelum Anda memutuskan mempunyai benda kesayangan untuk tiap anak.Â
7. Pisahkan sekolahnya.
Kalau memungkinkan, pisahkan sekolah anak Anda. Tapi kalau tidak, sekalipun sekolahnya sama, usahakan masing-masing anak punya kegiatan berbeda di luar sekolah. Pengalaman saya sendiri dulu ketika anak-anak saya masih kecil, mereka tidak terpisah sekolahnya.Â
Keduanya bersekolah di sekolah yang sama sejak TK hingga SMP. Jarak sekolah sangat dekat dengan rumah menjadi pertimbangan utama. Namun ketika SMA, saya pisahkan. Anak-anak juga minta tidak satu sekolah dengan saudaranya supaya punya teman-teman berbeda.Â
Selama satu sekolah, perbandingan bukan dari saya, tapi dari guru. Saya sempat menegur gurunya karena membandingkan secara jelas di depan anaknya. Selain itu, anak-anak saya tidak terlalu terganggu karena masing-masing punya kegiatan lain.Â
Punya hobby berbeda, sehingga tidak timbul rasa bersaing. Kini keduanya sudah berkuliah dengan jurusan berbeda, tapi di universitas yang sama. Nah, sekarang malah rukun, saling mendukung, saling mengajari, dan saling memberikan informasi tentang kegiatan-kegiatan kampus, jadwal KRS, dan sebagainya.Â
8. Buat prinsip dalam relasi dan tegaskan.Â
Tidak cukup hanya berkata, "Tidak boleh bertengkar! Dengan saudara harus rukun!" Anda harus membuat prinsip-prinsip/value dalam relasi persaudaraan. Ikatan persaudaraan itu adalah ikatan paling lama yang pernah ada. Tidak berakhir ketika salah satunya meninggal (karena masih ada keponakan, mantu keponakan, cucu keponakan, dan seterusnya).Â
Prinsip itu disesuaikan dengan karakteristik keluarga, budaya, dan faktor penting lainnya bagi keluarga itu. Misalnya : Saudara lebih penting dari barang, makanan, dan uang. Kalau mereka bertengkar karena makanan, Anda bisa ingatkan prinsip itu.Â
Lalu ambil tindakan tegas terkait hal itu. Prinsip lain : Kakak lebih tua, tidak boleh membentak kakak di depan banyak orang. Adik masih kecil, belum sekuat kakak, jadi tidak boleh memukul adik. Kalau terjadi pelanggaran, anak perlu mendapatkan konsekuensinya, bukan sekadar ancaman yang tidak jelas.Â
Tidak mudah memang ya, tapi bukan tidak mungkin. Jangan menunggu mereka sadar sendiri, karena mereka tidak bisa. Butuh peran orangtua untuk mendamaikan mereka.Â
Semoga artikel singkat ini memberikan manfaat dan inspirasi bagi Anda semuanya.Â
Daftar BacaanÂ
Achmadi, A.N.L., Hidayah, N., Safaria, T., 2022. Pola Asuh Orangtua, Keharmonisan Keluarga, dan Jenis Kelamin, Pengaruhnya terhadap Sibling Rivalry pada Anak. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, 13(1) : 318 – 326.Â
Badger, J., Reddy, P., 2009. The Effects of Birth Order on Personality Traits and Feelings of Academic Sibling Rivalry. Psychology Teaching Review, 15(1) : 45 – 54.Â
Hurlock, E.B., 1980. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga.Â
Papalia, D.E., Old, S.W., Feldman, R.D., 2008. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Prenadamedia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H