Seorang ibu menangis sambil bercerita kalau menantunya mengambil anaknya. Dulu anak laki-lakinya selalu mau mengantarkan ke mana pun dia pergi, sekarang tidak lagi.Â
Selama masa pacaran, ia sudah merasa kalau menantunya akan menjadi penghalang antara dia dan anaknya. Ketika mereka menikah, sang ibu lebih sering menghabiskan waktu di rumah anaknya daripada di rumahnya sendiri. Dari sanalah muncul ketidaksukaan ibu terhadap menantunya.Â
Ibu mertua ini, sebut saja Ratu, melihat kalau mantunya tidak bisa masak. Bangunnya siang, lalu buru-buru berangkat kerja bersama anaknya. Anaknya tidak pernah dibikinkan kopi seperti kebiasaan yang dilakukan Ratu. Menantunya sering mengajak anaknya pergi ke Mall. Pulang dari jalan-jalan, pastilah membawa banyak barang.Â
Ratu berkata kalau semua barang hanya menghabiskan uang anaknya. Intinya, semua hal yang dilakukan menantunya salah di matanya. Untunglah si menantu yang pendiam dan kalem tidak pernah membalas. Hanya diam mendengarkan atau masuk ke kamar. Reaksi yang justru membuat Ratu makin tidak suka.Â
Siapa yang pernah mengalami situasi seperti itu ya? Semoga tidak banyak.. hehe.
Ketakutan Kehilangan
Orangtua memang tidak boleh pilih kasih dalam mendidik anaknya. Namun kenyataannya ada salah satu anak yang lebih diperhatikan daripada anak lainnya.
Bisa jadi karena anak itu sering sakit, jadi orangtua lebih fokus padanya. Bisa jadi anak itu lebih responsif terhadap orangtuanya dibandingkan saudaranya yang lain, misalnya dia berinisiatif mengambilkan minum, memijat ibunya, lebih patuh, dan sebagainya.Â
Dan mungkin juga karena rasa bersalah orangtua terhadap si anak. Orangtua akan terus "menempel" pada anak yang disayangi hingga anak dewasa. Hubungan keduanya bersifat timbal balik dan saling menguntungkan selama anaknya belum memiliki keluarga sendiri. Anak juga tidak akan meninggalkan orangtuanya, bisanya ibu, dan mempertimbangkan segala hal agar tidak menyakiti ibunya.Â
Ketika anak menikah, mereka sibuk dengan urusannya sendiri. Otomatis perhatian ke orangtuanya berkurang. Di sisi orangtua, kehadiran menantu mencemaskan. Menantu dianggap rival yang akan menghilangkan keberadaan dirinya dari dunia anaknya. Secara tidak sadar, orangtua akan membuat anaknya menganggap pasangannya (biasanya istri) tampak buruk.Â
Kondisi ini akan makin parah kalau pasutri muda itu tergantung secara finansial pada orangtuanya. Konflik demi konflik terus menerus hadir.Â
Sampai salah satu pihak "mengundurkan" diri dari arena pertempuran. Dalam beberapa kasus, orangtua bahkan tega menyuruh anaknya bercerai. Dengan alasan anak laki-lakinya itu mapan, sehat, karir bagus, pasti banyak perempuan lain menanti. Anehnya ada juga laki-laki yang menuruti kemauan ibunya untuk menceraikan istrinya meskipun mereka sudah memiliki anak.Â
Semakin kuat ikatan emosional antara orangtua dan anak, akan semakin cemas orangtuanya. Kecemasan bahwa keberadaannya tidak lagi bermakna. Kondisi ini akan makin buruk kalau pernikahan orangtua tersebut bermasalah, misalnya seorang ibu yang bermasalah dengan suaminya, maka ia akan mengalihkan keterikatannya pada anaknya.Â
Seorang ibu yang meletakkan identitas dirinya pada penerimaan anak juga akan makin cemas dan takut kehilangan anaknya. Ibu yang tidak punya kegiatan lain selain mengurus rumah tangga, tidak bergaul, tidak punya hobby yang ditekuni, atau tidak punya komunitas di luar keluarganya, adalah faktor-faktor yang menyebabkan perasaan takut kehilangan makin kuat berakar.Â
Sikap Menantu
Bila Anda adalah menantu dalam "drama" tersebut, apa yang akan Anda lakukan? Saya yakin Anda sudah mencoba berbagai hal untuk memperbaiki relasi dengan mertua. Ya kan? Sebagian berhasil dan mungkin sebagian belum berhasil.
Apapun yang Anda lakukan janganlah pergi meninggalkan suami dan anak-anak. Mungkin Anda bertanya, kalau mertua menyuruh suami menceraikan Anda, bagaimana dong? Ya, memang berat kalau kasusnya seperti itu. Tapi selagi masih ada waktu, coba ajak komunikasi dari hati ke hati dengan mertua.Â
Singkirkan dulu emosi negatif yaitu kemarahan, kejengkelan, dan sebagainya. Lihatlah mertua seperti anak kecil yang takut kehilangan perhatian dan mainannya. Pahami kondisi psikologisnya. Pahami sejarah relasi mereka berdua yaitu antara suami dan ibunya terutama ketika masa-masa sulit kehidupan mereka.
Gali sebanyak-banyaknya apa yang sering dilakukan suami pada ibunya dulu dan tidak pernah lagi dilakukan saat ini. Pahami interaksi antara ibu dan ayah mertua. Ya, bisa dikatakan Anda menjadi semacam detektif begitulah.. Lalu berubah peran menjadi psikolog.. *nyengir*Â
Setelah itu Anda bisa mengajak mertua ngobrol di tempat netral. Kirimkan pesan bahwa Anda bukan ancaman, bukan rival. Kalau perlu ajaklah pihak ketiga yang mampu mendinginkan situasi. Ungkapkan dengan sepenuh hati kalau Anda ingin memperbaiki relasi dengannya.
Anda ingin menjadikannya sebagai orangtua Anda juga. Ceritakan juga kenangan antara ibu mertua dan suami dan betapa Anda menghargai itu. Tegaskan bahwa Anda samasekali tidak pernah bermaksud mengambil anak dari ibunya. Mintalah maaf untuk semua hal yang terjadi yang membuat mertua Anda tidak nyaman.Â
Mungkin pertemuan sekali belum membuahkan hasil baik. Mertua masih bertanya-tanya apakah Anda tulus dan apakah kata-kata Anda bisa dipercaya. Itulah masa-masa ujian kepercayaan. Anda harus berkomunikasi dengan suami.Â
Mintalah dia lebih memperhatikan ibunya seperti dulu. Doronglah suami untuk mengulangi lagi kegiatan-kegiatan yang sering mereka lakukan dulu. Tetap berkomunikasi dengan ibu mertua sambil ajak dia untuk terlibat dalam kehidupan Anda. Ceritakan tentang diri Anda. Masa kecil Anda, hubungan Anda dengan kedua orangtua, masa-masa terbaik, dan sebagainya.Â
Kalau mertua memutuskan untuk tinggal bersama Anda, hal itu bukan berarti kiamat sih. Agak menyulitkan sih iya.. hehe.. Mertua pasti punya kamar sendiri yang tidak ingin diganggu. Tanyakan padanya secara langsung apa yang ia inginkan agar ia nyaman dalam kamarnya. Kompromi juga tentang kebiasaan-kebiasaan antara kemampuan Anda dan keinginan mertua. Topik ini agak berat karena biasanya mertua akan menuntut lebih berat padahal ia tahu Anda tidak akan mampu melakukannya.Â
Tenang saja.. jangan kepancing emosi. Kalau hal yang diminta itu sungguh diluar kemampuan Anda, misalnya Anda harus masak sarapan pagi dengan menu baru yang artinya Anda harus belanja ke pasar pk. 04.30 sementara jam masuk kantor Anda pk. 07.00 sedangkan sebelumnya Anda harus mengantarkan anak ke sekolah pk. 06.45 harus sudah tiba, maka tuliskan. Lalu minta pendapat mertua bagaimana cara mengatasinya.Â
Kemukakan juga halangan yang akan terjadi, misalnya macet, potongan honor kalau telat, dan seterusnya. Ajak suami untuk terlibat. Jangan berargumen, apalagi dengan nada tinggi sambil banting-banting panci. Percumaaaa...Â
Terakhir, ubah kebiasaan dan sikap Anda. Mungkin di keluarga Anda sendiri kebiasaan-kebiasaan itu diperkenankan. Tapi ketika berada dalam keluarga lain, hal itu tidak bisa diterima. Coba berubah dulu sambil memperkenalkan kebiasaan Anda pada keluarga pasangan. Misalnya di keluarga Anda tidak masalah bangun siang saat liburan, tapi tidak begitu di keluarga suami. Bisa kebayang khan kalo kebiasaan-kebiasaan kecil akan jadi ledakan ketidaksukaan mertua. SIngkirkan ego dulu untuk kepentingan jangka panjang.Â
Cepat atau lambat sikap mertua akan berubah. Sikap dan emosi positif adalah kunci keberhasilan. Cobalah segera sebelum Lebaran tiba. Semoga saat Lebaran nanti, momen saling memaafkan sungguh berasal dari hati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H