Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Benarkah Luka Batin dengan Perilaku Orangtua Sulit Dihilangkan?

26 Mei 2019   04:52 Diperbarui: 22 Maret 2022   00:13 8733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak yang memiliki luka batin karena sikap orangtua (sumber: verywellfamily.com)

Kalau seandainya menjadi orangtua harus kuliah dulu lalu disertifikasi kelayakan, maka populasi masyarakat akan menurun. Ya, bisa jadi banyak yang tidak lolos. 

Lha susah sih. Mesti mengenali diri sendiri, memahami latar belakang pasangan dan pengaruhnya saat ini, bisa bergaul dengan keluarganya (iya kalau semuanya baik-baik saja, kalau keluarganya gemar ribut, gimana?)

Belajar keterampilan komunikasi, belajar mengelola keuangan, dan sebagainya. Untunglah sampai hari ini belum ada sekolah orangtua, sehingga para orangtua bisa lebih bebas belajar dari kehidupan untuk menjalani perannya. 

Sisi lain adalah hasil belajarnya kurang tepat. Materi belajar paling utama ya pengalaman mereka sendiri ketika dididik orangtuanya. Kalau pengalaman mereka bagus, mereka bisa menerapkan dengan bagus juga. 

Tapi kalau masa lalunya kurang menyenangkan? Nah ini tantangan. Bagaimana mereka membentuk formula pengasuhan untuk anak-anaknya yang berbeda dari pengalamannya sendiri. Tidak mengherankan kalau banyak orangtua melakukan kesalahan dalam mendidik anak yang berujung konflik pada relasi mereka dengan anak-anaknya. 

Sebagai anak, hal-hal yang menyakitkan dari orangtua itulah yang paling awet teringat. Padahal kalau mau dituliskan, kebaikan dan kejelekan orangtua bisa jadi berimbang. Atau kebaikannya lebih baik, hanya saja disampaikan dengan cara yang salah. Pengalaman buruk dengan orangtua umumnya mewarnai cara pandang anak terhadap dirinya sendiri, orang lain dan juga kehidupan. 

Namun orangtua tidak sadar atau bahkan tidak mau mengakui kalau mereka berperan besar menciptakan cara pandang tersebut. Seorang klien berusia 20 tahunan bercerita kalau dia berdekatan dengan orangtuanya, selalu muncul rasa marah. 

Komunikasi di antara mereka tidak pernah lancar. Penyebab kemarahan terus menerus ini karena satu pengalaman menyakitkan yang dia ingat yaitu dia pernah dipukul dengan sabuk saat masih kelas 3 SD. 

Dan dia tidak tahu apa kesalahannya saat itu. Tiba-tiba dibangunkan dari tidur siang, dibentak, dan dipukul. Tampaknya peristiwa siang hari itu sungguh membekas. 

Rata-rata anak punya sakit hati terhadap orangtuanya. Kemarahan, kebencian, kedongkolan dan sebagainya meliputi diri anak-anak ini. Emosi negatif itu dibawa hingga mereka dewasa. Lengket dalam perasaannya. Sulit melepaskannya, begitu biasanya mereka mengatakan. Apalagi bila orangtuanya masih terus hidup bersama mereka. 

Dan tentu saja dengan sifat dan kebiasaan yang sama itu. Wah.. rasanya ingin pergi sejauh mungkin tapi tidak bisa. Dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, sakit hati dipelihara dan bertambah subur. 

Orangtua tidak menyadari (atau mengabaikan) konflik ini. Mereka bersikeras bahwa mereka benar. Makin tajamlah konflik relasi tersebut dan makin kuat tertancap rasa benci pada orangtuanya. 

Kalau ingin hidup sehat mental, bahagia dan menjadi orang bebas, sakit hati itu perlu dibuang segera. Sulit? Iya pastinya, tapi bisa kok. Tantangannya apakah mau berproses atau tidak? 

Kalau orangtua masih tetap pada kebiasaan dan sifatnya yang bikin sakit hati itu, bagaimana dong?

Memang hal itu akan membuat proses membuang sakit hati agak lebih lama, tapi bukan tidak mungkin. Yakinlah bahwa sakit hati itu tidak akan membawa Anda ke manapun. 

  1. Langkah pertama adalah meluruskan niat. Apakah sakit hati ini sesuai dengan tujuan hidup Anda? Apakah rasa benci itu memang diperkenankan ada? Apa manfaatnya rasa benci, jengkel, kecewa, dan sabagainya itu? 
  2. Berikutnya meletakkan identitas diri bukan pada perlakuan orangtua. Anda bukanlah korban perlakuan orangtua. Anda adalah subyek hidup Anda sendiri. Jati diri Anda bukan terletak pada kata-kata kasar orangtua, atau pada cara mereka mendidik. Anda adalah orang yang bebas menentukan hendak menjadi pribadi yang bagaimana seperti yang Anda inginkan. 
  3. Lalu Anda tuliskan secara lengkap hal-hal buruk yang pernah Anda alami karena perlakuan orangtua. Berat menuliskannya? Kalau iya, maka segera lakukan. Hadapi. Jangan disimpan terus. Tuliskan dengan jelas.
  4. Di setiap pengalaman buruk (no. 3), berikan 1 poin berupa jawaban dari pertanyaan ini: Anda belajar apa dari pengalaman itu?
  5. Buat list dari poin no. 4. Apa yang Anda dapatkan?
  6. Terakhir, doakan semua hasil belajar yang Anda peroleh dan ucapkan syukur atas semua hal baik yang pernah Anda peroleh. 

Kalau Anda bersungguh-sungguh lakukan langkah-langkah di atas, maka perasaan Anda terhadap orangtua akan berubah. Menjadi lebih positif. Apakah hal itu berarti Anda bisa memaafkan orangtua? Ya bisa jadi, yang penting lakukan dulu. 

Mumpung bulan baik ini masih berjalan, sebaiknya bersih-bersih hati itu Anda lakukan. Supaya lebih jernih, bisa dilakukan menjelang sahur dan dalam suasana hening. Hanya ada Anda dan Tuhan. 

Silakan mencoba. Selamat menjadi pribadi baru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun