Kalau seandainya menjadi orangtua harus kuliah dulu lalu disertifikasi kelayakan, maka populasi masyarakat akan menurun. Ya, bisa jadi banyak yang tidak lolos.Â
Lha susah sih. Mesti mengenali diri sendiri, memahami latar belakang pasangan dan pengaruhnya saat ini, bisa bergaul dengan keluarganya (iya kalau semuanya baik-baik saja, kalau keluarganya gemar ribut, gimana?)
Belajar keterampilan komunikasi, belajar mengelola keuangan, dan sebagainya. Untunglah sampai hari ini belum ada sekolah orangtua, sehingga para orangtua bisa lebih bebas belajar dari kehidupan untuk menjalani perannya.Â
Sisi lain adalah hasil belajarnya kurang tepat. Materi belajar paling utama ya pengalaman mereka sendiri ketika dididik orangtuanya. Kalau pengalaman mereka bagus, mereka bisa menerapkan dengan bagus juga.Â
Tapi kalau masa lalunya kurang menyenangkan? Nah ini tantangan. Bagaimana mereka membentuk formula pengasuhan untuk anak-anaknya yang berbeda dari pengalamannya sendiri. Tidak mengherankan kalau banyak orangtua melakukan kesalahan dalam mendidik anak yang berujung konflik pada relasi mereka dengan anak-anaknya.Â
Sebagai anak, hal-hal yang menyakitkan dari orangtua itulah yang paling awet teringat. Padahal kalau mau dituliskan, kebaikan dan kejelekan orangtua bisa jadi berimbang. Atau kebaikannya lebih baik, hanya saja disampaikan dengan cara yang salah. Pengalaman buruk dengan orangtua umumnya mewarnai cara pandang anak terhadap dirinya sendiri, orang lain dan juga kehidupan.Â
Namun orangtua tidak sadar atau bahkan tidak mau mengakui kalau mereka berperan besar menciptakan cara pandang tersebut. Seorang klien berusia 20 tahunan bercerita kalau dia berdekatan dengan orangtuanya, selalu muncul rasa marah.Â
Komunikasi di antara mereka tidak pernah lancar. Penyebab kemarahan terus menerus ini karena satu pengalaman menyakitkan yang dia ingat yaitu dia pernah dipukul dengan sabuk saat masih kelas 3 SD.Â
Dan dia tidak tahu apa kesalahannya saat itu. Tiba-tiba dibangunkan dari tidur siang, dibentak, dan dipukul. Tampaknya peristiwa siang hari itu sungguh membekas.Â
Rata-rata anak punya sakit hati terhadap orangtuanya. Kemarahan, kebencian, kedongkolan dan sebagainya meliputi diri anak-anak ini. Emosi negatif itu dibawa hingga mereka dewasa. Lengket dalam perasaannya. Sulit melepaskannya, begitu biasanya mereka mengatakan. Apalagi bila orangtuanya masih terus hidup bersama mereka.Â
Dan tentu saja dengan sifat dan kebiasaan yang sama itu. Wah.. rasanya ingin pergi sejauh mungkin tapi tidak bisa. Dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, sakit hati dipelihara dan bertambah subur.Â