Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenali Enkopresis (BAB di Celana atau Tempat Lain) pada Anak

20 Februari 2016   22:10 Diperbarui: 22 Maret 2022   00:16 2657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi toilet training pada anak. Sumber: ablelearningenrichment

 Waduh... Kamu BAB lagi di celana!" omel seorang ibu. Anaknya, berusia kurang lebih 8 tahun, hanya terdiam. Bau BAB sudah menyebar ke mana-mana. Perilaku tidak mampu menahan buang air besar pada anak tersebut sudah berlangsung sejak TK B. Ibunya sudah berusaha dengan berbagai cara agar perilaku itu berhenti. Menurut ibunya, sejak usia 2 tahun anak sudah diajari toilet training. Lalu mengapa anak masih sering BAB di celana atau tempat lain yang tidak seharusnya? 

Pengertian Enkopresis

Dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) edisi III, perilaku BAB di celana atau tempat lain yang tidak seharusnya pada anak-anak disebut enkopresis. Lebih lengkap begini bunyi di PPDGJ III :

Mengeluarkan tinja (buang air besar) yang dikehendaki atau tidak secara berulang, dengan konsistensi tinja yang normal atau hampir normal, di tempat yang kurang layak di lingkungan sosiokultural anak. Kondisi ini mungkin merupakan lanjutan dari kelainan inkonsistensia masa bayi, mungkin pula merupakan hilangnya pengendalian setelah anak mencapai kemampuan pengendalian buang air besar, atau ia dengan sengaja meletakkan tinja di tempat yang tidak wajar, sekali pun sudah mempunyai kemampuan untuk mengendalikan buang air besarnya. Kondisi ini mungkin timbul sebagai suatu gangguan monosistomatik, atau merupakan bagian dari suatu gangguan lebih luas, khususnya gangguan emosional atau gangguan tingkah laku.

Maksud pengertian enkopresis tersebut adalah kebiasaan BAB di tempat yang tidak layak, misalnya di celana, lantai, kursi, dan sebagainya. Bisa jadi kebiasaan ini merupakan kelanjutan kebiasaan dari sejak masa bayi yang tidak ditangani dengan baik dan benar, atau anak tidak mampu mengendalikan otot-ototnya padahal ia seharusnya sudah mampu, dan bisa juga karena dia melakukannya dengan sengaja. Kemungkinan lain enkopresis merupakan akibat dari masalah emosional atau perilaku bermasalah lainnya.

Perilaku buang air besar itu dikategorikan sebagai gangguan bila sudah terjadi selama paling tidak 3 (tiga) bulan, tanpa adanya penyakit fisik lainnya. Usia anak minimal 4 tahun ke atas karena seharusnya pada usia tersebut anak sudah mampu mengenali kapan fecesnya akan keluar dan mengendalikannya.

Penyebab Enkopresis

Bila anak mengalami penyakit fisik lalu dia buang air besar tak terkendali, maka perilaku tersebut bukanlah enkopresis. Sejauh ini penyebab enkopresis minimal ada 2 faktor yaitu :

1. Penerapan toilet training yang tidak konsisten. Orangtua atau pengganti orangtua kurang konsisten dalam mengajarkan toilet training. Mereka tidak benar-benar memahami kesulitan anak. Mungkin orangtua tidak mau repot. Misalnya anak diajarkan untuk pipis di kamar mandi. Tapi di lain kesempatan, orangtua memberikan popok bayi (pampers) karena malas untuk mencuci celana anak bila mengompol. Begitu juga dengan BAB. Diajarkan untuk BAB di toilet, tapi kadang dibiarkan saja BAB di popok. Kadang dimarahi, kadang tidak diberikan teguran. Inkonsistensi semacam ini membuat anak bingung. Ia akan memilih BAK/BAB yang paling enak baginya.

2. Sikap dalam toilet training mencemaskan anak. Tidak bisa diingkari, masa pengajaran toilet training memang menegangkan dan bikin capek. Dibutuhkan kesabaran tingkat dewa langit ke tujuh setengah ketika mendapati anak tetap pipis atau BAB di sembarang tempat. Reaksi pertama orangtua biasanya menggeram... Ya khan? Reaksi orangtua yang menakutkan bagi anak menyebabkan anak berusaha keras menghindari situasi tersebut. Bukannya menuruti kehendak orangtua yang menakutkan, tapi anak malah justru melakukan hal yang tidak diinginkan.

3. Menghindari situasi mencemaskan dalam kehidupan sehari-hari. Anak mengalami sesuatu yang mencemaskan, entah di rumah, di sekolah, atau di tempat lain. Mungkin mereka merasa tidak berdaya dalam menghadapi perubahan situasi baru, misalnya pergantian guru kelas, hukuman yang diberikan guru, disingkirkan teman sebaya, pertengkaran dengan teman, dan sebagainya. Bentuk meredakan kecemasan adalah BAB. Feces menjadi simbol dari pelepasan ketegangan psikis yang dialami. Mirip seperti orang dewasa yang cemas lalu diare berkali-kali. Namun orang dewasa mampu mengendalikan, bila situasi mencemaskan sudah lewat maka diarenya pun berhenti.

Solusi Untuk Mengatasi Enkopresis

Solusi untuk masalah ini akan lebih mudah bila diketahui penyebabnya. Namun menggali akar penyebabnya membutuhkan kesabaran dari orangtua. Secara garis besar, orangtua dapat melakukan beberapa hal ini :

1. Mengingat kembali masa toilet training. Bagaimanakah caranya mengajarkan anak untuk BAK dan BAB? Apakah anak pernah mengungkapkan kalau dia kesulitan menggunakan peralatan di kamar mandi, misalnya toiletnya terlalu tinggi, shower terlalu jauh dijangkau, atau kesulitan lainnya? Bagaimana sikap orangtua dalam masa toilet training itu?

2. Bila ternyata ada kesalahan dalam masa toilet training, maka sekarang lakukan toilet training ulang. Dan...dengan kesabaran!

3. Kalau poin no. 1 tidak ada masalah, orangtua dapat menelusuri sejak kapan enkopresis terjadi. Mulailah dari sana. Apa yang sedang terjadi pada saat itu? Bagaimana reaksi anak secara verbal yang mungkin waktu itu dianggap tidak penting oleh orangtua, misalnya anak baru kena hukuman gurunya, lalu dia cerita pada orangtua, tapi orangtua mengabaikan ceritanya. Bisa jadi hukuman guru itu mencemaskan baginya. Setelah menemukan penyebab kecemasan, segera lakukan pemulihan untuk situasi itu.

Bila kasus berlanjut, segera hubungi psikolog terdekat...hahaha...

Semoga bermanfaat.

 

Sumber Gambar dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun