Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama featured

Pasif dan Tidak Peduli: Ciri Khas Pemuda Masa Kini?

28 Oktober 2015   23:36 Diperbarui: 22 Maret 2022   00:23 3320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar: http://www.ceritamu.com

Suatu kali, mobil yang kami tumpangi terjebak lubang besar di tengah jalan. Setelah berusaha maju-mundur beberapa kali, akhirnya mobil pun terbebas. Selama proses maju-mundur itu, tidak ada yang bisa keluar dari mobil untuk melancarkan proses 'melepaskan diri'. Celakanya, bukan hanya lubang jalan depan yang menganga, ternyata ada lubang besar di belakang mobil! Terperosok kedua kalinya deh. Susah payah teman kami mengeluarkan mobilnya hingga akhirnya kami bisa kembali ke jalan yang benar. Hahaha.

Topik bahasan kami dalam mobil selanjutnya adalah reaksi para pemuda yang berada di depan warung. Mereka jelas sekali melihat mobil kami, melihat lubang besar di belakang mobil, tapi tidak melakukan apapun. Diam saja. Menonton. Seperti menonton pertandingan Piala Dunia, menantikan gawang siapa yang kebobolan, lalu berteriak kegirangan. Kami heran dengan sikap mereka. Mengapa menyaksikan orang lain celaka lebih menyenangkan daripada berusaha menolongnya?

Cerita di atas hanya satu dari sekian kejadian tidak-peduli lainnya. Contoh peristiwa kecil adalah ketika hendak masuk ke minimarket atau lift. Beberapa kali saya amati, para orang muda lebih senang 'menyerobot' masuk ketika pintu dibuka sedikit. Bukannya berusaha membukakan pintu bagi orang lain, tapi memanfaatkan kesempatan ketika ada yang membuka pintu. Mengapa perilaku aji mumpung ini muncul?

Sekarang kita lihat perilaku mengemudi di jalan raya. Konon ada orang bilang begini, "Kalau ingin tahu watak suatu generasi, lihatlah perilakunya di jalan raya". Saya belum paham benar kalimat itu, tapi ketika melihat sepeda motor dikendarai pemuda, menyerobot lampu kuning, menyalip, dan langsung tancap gas, rasanya saya tercelikkan. Apalagi ketika melihat anak-anak muda berebutan naik truk bak terbuka. Duh! Hanya bisa geleng-geleng kepala.

Imitasi Perilaku dari Lingkungan Sosial

Revolusi mental yang kerap didengungkan menurut saya menarik sekali. Memang diperlukan perubahan besar-besaran dalam hal mental agar bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Mental yang bagaimana? Aji mumpung, mengambil sebanyak mungkin tanpa peduli pada orang lain, tidak bertanggungjawab, merasa kurang terus menerus. Memang tidak semua generasi muda seperti itu. Masih banyak juga anak muda yang berkarakter baik.

Anak-anak muda ini melihat perilaku sosial di sekitarnya. Ketika tidak ada konsekuensi atas perilaku sosial itu, mereka mengambilnya sebagai perilaku mereka. Terjadi imitasi (peniruan) perilaku. Bisa dikatakan perilaku mereka adalah cerminan perilaku orang-orang dewasa di sekelilingnya. Bukankah ada ungkapan 'ikan membusuk dimulai dari kepalanya'?

Ada berapa banyak orang dewasa yang berperilaku aji mumpung? Tidak peduli pada orang lain, asalkan keinginannya terpenuhi? Tidak mau bertanggungjawab terhadap perilakunya? Berdalih apa saja hingga terasa tidak masuk akal ketika perilakunya ditegur? Masih banyak lagi sebetulnya. Dan lihatnya apa konsekuensi untuk mereka. Tidak ada! Mereka yang harusnya tidak diberi pujian, malah menjabat, berkali-kali tampil di media, seolah-olah apa yang mereka lakukan itu, tidak bermakna.

Mental Miskin

Ciri khas orang bermental 'miskin' adalah merasa terus menerus kekurangan, harus mengambil apa saja yang dibutuhkan sebelum direbut orang lain, tidak perlu memperhatikan orang lain (kita sendiri kurang kok, ngapain peduli dengan orang lain?), minder super banget. Sehingga sejumlah karakteristik tersebut, terciptalah perilaku aji mumpung, serakah, dan selfish (egois). Bagi mereka, "yang penting gue kenyang, peduli amat sama orang lain. Sebodo amat!".

Di manakah ujian bagi mereka supaya muncul mental 'miskin'nya itu? Ketika mereka mendapatkan peluang dan kesempatan, dan ketika menduduki jabatan (baik ada uangnya maupun tidak ada uangnya, alias non-profit). Maka tidak heran, perilaku berebutan makanan terjadi saat pesta prasmanan, mumpung bisa makan gratis, katanya. Padahal dandanan bajunya. Tidak heran saat ada pimpinan negara ditangkap karena korupsi. 'Lha mumpung jadi pejabat, punya kekuasaan, kenapa nggak digunakan?'. Begitulah mungkin yang terpikirkan oleh mereka itu.

Di mana-mana kita bisa mengamati mental 'miskin' ini. Meraup segalanya untuk memperkaya diri. 'Kami khan miskin, perlu dong menikmati hidup, selagi punya kekuasaan'. Terbukti suap menyuap di mana saja, dalam bentuk apa saja, dan mengena pada siapa saja. Kembalian uang receh yang tidak diberikan dengan alasan tidak ada (dulu permen) di minimarket pun, adalah bentuk kecil raupan kemiskinan ini.

Tidak suka melihat orang lain sukses dengan cara melecehkan, menyabotase, mengejek, dan menyebarkan fitnah. Lebih buruk daripada iri hati. Senang sekali melihat orang lain sama menderitanya dengan dirinya. Plus sombong, arogan. Menilai orang lain tidak pantas lebih berhasil darinya. Gejala ini cukup sering muncul di media sosial. Tidak perlu dibahas siapa yang sering melakukannya. Bakalan panjang daftarnya. Bahkan Presiden Jokowi pun jadi sasaran. Hanya karena wajah beliau dinilai tidak bagus untuk wajah seorang presiden. Lha ini bikin saya bingung. Memangnya ada kriteria 'berwajah super tampan dengan indikator digandrungi para wanita' untuk bisa jadi Presiden?

Abundant Mentality

Kebalikan dari mental 'miskin' adalah mentalitas berkelimpahan (abundant mentality). Berkelimpahan bukan dalam hal materi, tetapi lebih pada sikap terhadap berbagai tawaran menggoda. Karakteristik dari mentalitas berkelimpahan antara lain berani hidup susah demi mempertahankan prinsip, peduli pada dampak tindakannya pada orang lain, tidak berusaha sekuat tenaga memperkaya diri dengan segala cara, malu bila bertindak selfish, dan bertujuan dalam bertindak.

Memandang jabatan sebagai amanah, malah mungkin 'penderitaan' karena harus mampu menolak upaya ilegal. Tetap 'miskin' sebelum menjabat, semasa menjabat dan selesai masa jabatan, merupakan prinsip mereka. Sehingga masyarakat merasa aman dan terlindungi. Apakah ada yang seperti itu saat ini?

Tidak berebutan makanan saat jamuan makan prasmanan karena beranggapan bahwa mereka mampu beli makanan itu. Entah kapan belinya. Tujuan mereka datang ke jamuan makan itu untuk menjalin silaturahmi dengan pengundang dan tamu lain, dan itu lebih penting dari membuat perut sekenyang-kenyangnya.

Berlaku tertib di jalan raya karena memperhatikan keselamatan pengguna lainnya. Bukan semata-mata karena 'takut ada polisi di tikungan tersembunyi'. Tindakannya bertujuan lebih besar daripada sekadar patuh pada peraturan. Bagi mereka, menunggu barang 2-3 menit tidak akan merugikan diri sendiri sehingga mereka tidak berusaha menyalip ugal-ugalan atau menyerobot lampu merah.

Mengembalikan barang temuan pada pemiliknya. Tidak berusaha mengambil isinya karena merasa sudah cukup. Masih banyak contoh lainnya yang mencerminkan mentalitas berkelimpahan ini. Mentalitas ini tidak terjadi tiba-tiba, tapi melalui proses.

Perubahan Dimulai dari Paradigma

Kita perlu berubah. Dimulai dari paradigma. Kita mampu dan berdaya. Mungkin memang saat ini perekonomian sedang sulit, tapi bukan berarti kesusahan ini akan berlangsung selamanya. Bermental berkelimpahan perlu dimiliki agar kita bisa mengajarkan pada generasi muda. Bagaimana kita bisa membuat para anak-anak muda suatu watak yang baik bila kita sendiri tidak berani bilang 'cukup' pada godaan-godaan?

Hingga kini, saya mengamati bahwa bangsa sebesar ini tidak punya value yang disepakati bersama. Ya, ada sih Pancasila, ada semboyan Bhinneka Tunggal Ika, ada juga ungkapan lain. Semuanya tidak 'bernyawa', sebatas hiasan di dinding saja. Formalitas. Tidak menjadi way of life para insan Indonesia ini. Mungkin saya yang kurang wawasan, pastilah begitu, tapi saya tidak menemukan kesamaan value (nilai). Apa ciri khas bangsa Indonesia? Jujur? Adil? Berjiwa sosial? Padahal pelajaran agama diberikan di sekolah, masuk dalam kurikulum. Atau jangan-jangan tidak ada hubungannya ya.

Perubahan paradigma dimulai dengan diri sendiri. Menjadi manusia bermartabat. Berkecukupan (meskipun ada tagihan yang belum dibayar), bertujuan dalam bertindak (untuk kesejahteraan umat), dan punya dignity. Karakteristik penting lainnya sportivitas. Berani mengakui kesalahan, berani bertanggungjawab, dan berani bilang 'tidak' pada upaya suap. Kalau itu terjadi, alangkah indahnya dunia.

Kapan ya?

#Edisi Memperingati Sumpah Pemuda

Sumber Ide Mentalitas Berkelimpahan: Buku-buku Kepemimpinan dari John Maxwell dan Stephen Covey.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun