Di mana-mana kita bisa mengamati mental 'miskin' ini. Meraup segalanya untuk memperkaya diri. 'Kami khan miskin, perlu dong menikmati hidup, selagi punya kekuasaan'. Terbukti suap menyuap di mana saja, dalam bentuk apa saja, dan mengena pada siapa saja. Kembalian uang receh yang tidak diberikan dengan alasan tidak ada (dulu permen) di minimarket pun, adalah bentuk kecil raupan kemiskinan ini.
Tidak suka melihat orang lain sukses dengan cara melecehkan, menyabotase, mengejek, dan menyebarkan fitnah. Lebih buruk daripada iri hati. Senang sekali melihat orang lain sama menderitanya dengan dirinya. Plus sombong, arogan. Menilai orang lain tidak pantas lebih berhasil darinya. Gejala ini cukup sering muncul di media sosial. Tidak perlu dibahas siapa yang sering melakukannya. Bakalan panjang daftarnya. Bahkan Presiden Jokowi pun jadi sasaran. Hanya karena wajah beliau dinilai tidak bagus untuk wajah seorang presiden. Lha ini bikin saya bingung. Memangnya ada kriteria 'berwajah super tampan dengan indikator digandrungi para wanita' untuk bisa jadi Presiden?
Abundant Mentality
Kebalikan dari mental 'miskin' adalah mentalitas berkelimpahan (abundant mentality). Berkelimpahan bukan dalam hal materi, tetapi lebih pada sikap terhadap berbagai tawaran menggoda. Karakteristik dari mentalitas berkelimpahan antara lain berani hidup susah demi mempertahankan prinsip, peduli pada dampak tindakannya pada orang lain, tidak berusaha sekuat tenaga memperkaya diri dengan segala cara, malu bila bertindak selfish, dan bertujuan dalam bertindak.
Memandang jabatan sebagai amanah, malah mungkin 'penderitaan' karena harus mampu menolak upaya ilegal. Tetap 'miskin' sebelum menjabat, semasa menjabat dan selesai masa jabatan, merupakan prinsip mereka. Sehingga masyarakat merasa aman dan terlindungi. Apakah ada yang seperti itu saat ini?
Tidak berebutan makanan saat jamuan makan prasmanan karena beranggapan bahwa mereka mampu beli makanan itu. Entah kapan belinya. Tujuan mereka datang ke jamuan makan itu untuk menjalin silaturahmi dengan pengundang dan tamu lain, dan itu lebih penting dari membuat perut sekenyang-kenyangnya.
Berlaku tertib di jalan raya karena memperhatikan keselamatan pengguna lainnya. Bukan semata-mata karena 'takut ada polisi di tikungan tersembunyi'. Tindakannya bertujuan lebih besar daripada sekadar patuh pada peraturan. Bagi mereka, menunggu barang 2-3 menit tidak akan merugikan diri sendiri sehingga mereka tidak berusaha menyalip ugal-ugalan atau menyerobot lampu merah.
Mengembalikan barang temuan pada pemiliknya. Tidak berusaha mengambil isinya karena merasa sudah cukup. Masih banyak contoh lainnya yang mencerminkan mentalitas berkelimpahan ini. Mentalitas ini tidak terjadi tiba-tiba, tapi melalui proses.
Perubahan Dimulai dari Paradigma
Kita perlu berubah. Dimulai dari paradigma. Kita mampu dan berdaya. Mungkin memang saat ini perekonomian sedang sulit, tapi bukan berarti kesusahan ini akan berlangsung selamanya. Bermental berkelimpahan perlu dimiliki agar kita bisa mengajarkan pada generasi muda. Bagaimana kita bisa membuat para anak-anak muda suatu watak yang baik bila kita sendiri tidak berani bilang 'cukup' pada godaan-godaan?
Hingga kini, saya mengamati bahwa bangsa sebesar ini tidak punya value yang disepakati bersama. Ya, ada sih Pancasila, ada semboyan Bhinneka Tunggal Ika, ada juga ungkapan lain. Semuanya tidak 'bernyawa', sebatas hiasan di dinding saja. Formalitas. Tidak menjadi way of life para insan Indonesia ini. Mungkin saya yang kurang wawasan, pastilah begitu, tapi saya tidak menemukan kesamaan value (nilai). Apa ciri khas bangsa Indonesia? Jujur? Adil? Berjiwa sosial? Padahal pelajaran agama diberikan di sekolah, masuk dalam kurikulum. Atau jangan-jangan tidak ada hubungannya ya.