Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak Kesepian? Muncul Tokoh Super

24 Juli 2015   19:22 Diperbarui: 24 Juli 2015   20:19 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi para orangtua yang sering mendampingi anak-anaknya menonton film laga, pasti mengetahui sejumlah tokoh yang memiliki kekuatan super. Tokoh superhero ini biasanya digambarkan sebagai sosok manusia (kadang malah makhluk asing) berkekuatan di atas rata-rata. Mereka mampu mengangkat mobil, menghancurkan bangunan dengan sinar matanya, hingga berperang di luar galaksi. Tema utama film-film tersebut adalah misi penyelamatan bumi dari kehancuran atau penguasaan tokoh yang jahat. Sederetan tokoh superhero cukup awet dalam ingatan antara lain Capt. America, Superman, Batman, Spiderman, Hulk, Fantastic Four, Hercules, X-Men, dan sebagainya. Belum lagi tokoh super yang muncul dalam film serial di televisi.

Bila kita amati lebih lanjut, hampir semua film laga itu memiliki ciri khas yang bisa berdampak cukup buruk pada anak-anak, terutama bila anak-anak mengidolakan mereka atau menonton berulang-ulang sehingga pesan dari film itu masuk dalam program pikiran bawah sadarnya. Apa saja ciri khas yang perlu kita waspadai? Berikut ini ada beberapa ciri yang bisa saya temukan :

  1. Kemunculan kekuatan super pada tokoh superhero. Biasanya para tokoh itu digambarkan sebagai orang yang biasa saja, kemudian terjadi sesuatu pada mereka. Akibatnya mereka menjadi orang yang sendirian, tidak populer, tidak dipahami orang lain, kesepian, merasa dunia tidak berlaku adil, dan sebagainya. Setelah mereka memiliki kekuatan super, kondisi berbalik. Mereka menjadi orang yang paling populer, disukai banyak orang, dan banyak orang tergantung padanya (sangat membutuhkan dirinya).
  2. Bila tokoh super memiliki tokoh pendamping. Pada beberapa film, tokoh super muncul karena adanya tokoh inferior yang perlu dibela/dilindungi. Tokoh inferior ini umumnya digambarkan sebagai anak kecil yang kesepian, berasal dari keluarga berantakan, dibesarkan oleh orangtua tunggal, kurang perhatian, kurang kasih sayang, kurang komunikasi dengan orangtuanya, dikucilkan di lingkungan sosial, tidak punya banyak teman, tidak dipahami orang lain, dan masih sederet karakteristik lainnya. Lalu entah bagaimana, si tokoh inferior ini mengalami suatu peristiwa luar biasa, dan muncullah tokoh superhero yang mampu membelanya. Tokoh super menjadi penyelamatnya. Berdua mereka membasmi kejahatan, dan hasilnya kepribadian tokoh inferior berubah menjadi pemberani, menemukan potensi diri, dan populer. Orang-orang yang tadinya mengejek berbalik menjadi hormat dan minta maaf padanya.
  3. Mengatasi persoalan sendirian. Para tokoh superhero seringkali diceritakan mampu mengatasi berbagai masalah seorang diri. Bahkan polisi pun tidak mampu. Mereka berperang sendirian. Kalau pun berkelompok, seperti Fantastic Four, anggota kelompoknya para superhero. Tidak ada mereka, maka hanguslah bumi ini. Misi penyelamatan bumi dari kehancuran merupakan tema favorit yang membuat mereka "terbeban" untuk tugas mulia itu. Sendirian.
  4. Reward untuk jerih payah menyelamatkan dunia selalu berupa makhluk cantik berjenis kelamin wanita. Ini ciri khas lebih umum lagi (bingung yaa.. khas kok umum..). Hampir pada setiap film laga, hasil jerih payah tokoh superhero itu adalah wanita. Digambarkan seorang wanita yang mengagumi lalu keduanya saling menyukai. Reward lain yang tidak kentara adalah mereka bebas melakukan apa saja atau pergi ke mana saja yang mereka sukai.
  5. Dalam proses membasmi penjahat, banyak kehancuran yang dihasilkan. Mulai dari gedung-gedung ambruk, mobil terbakar, orang-orang berlarian ketakutan, langit juga porak poranda. Penjahatnya satu orang, tapi kerusakannya senegara banyaknya.

Dampak dan Realita

Mari kita tinjau satu per satu ciri khas dan dampaknya pada anak-anak, khususnya anak-anak yang mempunyai kondisi mirip dengan tokoh superhero maupun tokoh inferior.

Pertama, bila anak menganggap para tokoh superhero sebagai representasi (perwakilan/gambaran) keadaan dirinya, anak akan mengidentifikasi nilai-nilai tokoh lalu berperilaku sama seperti tokoh tersebut. Saya tidak bicara tentang anak yang mencoba terjun dengan memakai kostum superman. Bukan itu. Tapi identifikasi nilai dalam diri anak. Ia akan mengambil nilai dan standard perilaku tokoh. Anak merasa "suatu saat nanti dunia akan membutuhkan dan semuanya akan tunduk padaku". Ini adalah sikap pasif. Mereka menunggu keajaiban datang. Tidak bersikap aktif mencari solusi suatu masalah.

Alih-alih mencari solusi, mereka biasanya melarikan diri dalam dunianya sendiri. Realitanya tidak akan ada penolong superhero yang datang kalau mereka tidak bersikap aktif mencari. Sebenarnya akar masalah dari para tokoh superhero adalah kurang terpenuhinya kebutuhan akan penghargaan. Inilah yang harus dipahami anak sehingga mereka bisa mencari solusi yang tepat dan akurat. Siapa yang bertugas memberikan pemahaman pada anak? Tokoh terdekat pastinya. Bisa guru, bisa juga orangtuanya sendiri, bisa juga keluarga lainnya.

Kedua, bila anak memposisikan dirinya sebagai tokoh inferior. Ia menganggap dirinya tidak berdaya dan tidak punya kekuatan untuk mengatasi berbagai gangguan yang datang. Ia berharap ada sosok penyelamat datang, membereskan masalahnya dan ia bisa berbahagia. Kenyataannya tidak seperti itu. Perasaan sebagai korban keadaan merupakan akar dari masalah lain. Anak-anak perlu belajar paradigma yang benar bahwa apapun pengalaman hidupnya, mereka bukan korban. Bukan objek suatu peristiwa. Tapi mereka adalah subjek kehidupan mereka sendiri.

Anak-anak yang dibesarkan dengan mengasihani diri sendiri, dengan persepsi bahwa "tidak ada yang dapat aku lakukan", akan tumbuh menjadi individu bermasalah. Mereka menjadi orang yang tidak berani berkomitmen dan bertanggungjawab. Play as a victim menjadi cara hidupnya.

Ketiga, anak-anak perlu belajar bekerjasama dengan orang lain, bukan beranggapan bahwa seluruh masalah di dunia ini dapat ia selesaikan sendirian. Merasa mampu menyelesaikan suatu persoalan itu sikap yang baik. Namun kerjasama dengan orang lain itu penting. Semua persoalan yang ada, baik dalam keluarga, pertemanan, dan pekerjaan, memerlukan bantuan orang lain. One man show bukanlah sikap yang dapat diterima di lingkungan manapun. Bahkan Superman pun butuh penjahit untuk bajunya..ya khan?

Keempat, reward wanita cantik bukan contoh yang baik. Anak laki-laki akan cenderung beranggapan bahwa wanita itu sebagai properti. Layak untuk diberikan kepadanya sebagai hadiah. Sikap ini mengakibatkan kurangnya penghargaan terhadap perempuan. Motivasi untuk berbuat baik adalah hadiah berupa perempuan. Apakah Anda yakin dan memang ingin anak-anak punya paradigma seperti ini? Saya tidak.

Kelima, kerusakan yang dihasilkan tidak sebanding dengan hasilnya. Anak-anak akan belajar bahwa "tidak masalah merusakkan barang orang lain kalau untuk tujuan kebaikan". Implikasinya tidak masalah menimbulkan perang untuk mengatakan 'tidak' pada perang. Akan jauh lebih baik kalau anak belajar bahwa cara terbaik untuk menyelesaikan masalah adalah dengan menimbulkan kerusakan sesedikit mungkin. Ya, mungkin teknik heboh semacam itu bertujuan untuk kesan dashyat, namun tetap saja bisa dimaknai berbeda oleh anak. 'Toh nanti dimaafkan kok'.. Jarang sekali di akhir cerita, tokoh super itu diminta untuk tanggungjawab terhadap kerusakan yang dia timbulkan. Seolah-olah dimaklumi karena jasanya. Apakah benar seperti itu?

Paradigma seperti ini tidak akan muncul ke permukaan segera setelah mereka menonton film itu, namun akan tampak dalam cara mereka mengambil keputusan dan bersikap terhadap masalah.. Kapan? Entah. Tiap anak berbeda-beda. Orangtua bisa mengantisipasi dengan cara :

  • Mendampingi anak ketika menonton film. Bukan hanya duduk berdampingan, tapi mengajaknya berbincang tentang film itu. Ya.. tentu bukan saat nonton, karena anak akan terganggu dan situasi berubah menjadi pertengkaran.
  • Mengajak anak berkomunikasi tentang dirinya sesering mungkin. Banyak hal positif yang akan diperoleh orangtua. Percayalah!
  • Mengalihkan atau membatasi jenis film yang ditonton anak. Biarkan anak menangis, protes, dan sebagainya. Mereka hanya tahu cara itu untuk mengatakan tidak setuju, tapi yang mereka tidak tahu adalah efek negatif dari film itu terhadap dirinya.

Makin ke sini makin banyak tantangan sebagai orangtua. Benar khan? Namun saya yakin dengan keinginan untuk terus belajar menjadi orangtua, Anda akan menjalani proses pendidikan anak dengan hati gembira.

Semoga artikel ini bermanfaat.

Ilustrasi: eventkeeper

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun