Tiba-tiba ia merasa kepalanya berputar. ‘Ohh tidak, tidak boleh terjadi saat ini. Aku pasti bisa melawan penyakit ini’. Ternyata Bejo melihat tuannya limbung. Ia cepat-cepat membantunya duduk. Disodorkannya air putih padanya.
“Jangan kamu berpikir aku lemah. Penyakit ini bukan masalah. Negeri ini butuh aku, Bejo. Camkan itu!”
Bejo memilih untuk diam. Tidak menanggapi.
Esoknya di lapangan desa…
Upacara kemerdekaan a la gubernuran digelar di sana. Bejo melihat dengan miris. Tak terasa airmatanya mengalir. Ada rasa perih mengalir dalam dadanya. Cepat-cepat ia menghapus airmatanya. ‘Tuanku, seandainya Tuan mendengarkan kata saya. Janganlah bertindak seperti ini. Banyak orang mencemooh tindakanmu, Tuan.. Ahh.. Sayang sekali.. Sudahlah tuan, berhentilah..’. Bejo berdialog dengan dirinya sendiri, berharap tuannya yang sedang memeriksa barisan mendengarnya. Dan berhenti dari upacara konyol ini. Sementara itu Bejo melihat para pendukung setia tuannya duduk rapi di sofa empuk. Seringai mereka mengerikan bagi Bejo. Ia bergidik menyaksikan betapa mereka berusaha keras menjerumuskan tuan junjungannya dalam lubang hitam tak berujung. Tanpa disadari bulu kuduknya berdiri. Merinding. Padahal udara sedang panas-panasnya.
Hanya angin semilir yang mendengarkan ungkapan hati Bejo. Tampak di seberang lapangan, Sang Jenderal berkemeja putih dengan sedikit atribut berdiri tegap dengan posisi sempurna. Senyum mengambang di bibirnya. Senyumnya melebar melihat barisan pengikut upacaranya. Ia tersenyum, menyunggingkan sudut bibirnya dan berkata pada dirinya sendiri, ‘Tercapai sudah cita-citaku menjadi Gubernur di tanah yang kucintai’.
Cerita ini sepenuhnya hasil imajinasi kreatif.
Sidoarjo, Agustus 2014