Mohon tunggu...
Naftalia Kusumawardhani
Naftalia Kusumawardhani Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis (Remaja dan Dewasa)

Psikolog Klinis dengan kekhususan penanganan kasus-kasus neurosa pada remaja, dewasa, dan keluarga. Praktek di RS Mitra Keluarga Waru. Senang menulis sejak masih SMP dulu hingga saat ini, dan sedang mencoba menjadi penulis artikel dan buku.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Negeri Impian Sang Jenderal

20 Agustus 2014   03:40 Diperbarui: 16 September 2015   09:00 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14089659801322497492

 

Tapi Bejo tidak melihat siapapun di sana. Sedari tadi hanya mereka berdua dalam ruangan itu. Sejauh yang ia lihat hanyalah deretan kliping koran yang berjajar di dinding putih. Deretan kliping koran dengan variasi berita : pejabat X tertangkap korupsi, masyarakat berebutan minyak gas di suatu tempat, ibu menangis kehilangan bayinya karena banjir, wakil gubernur diperiksa pengadilan karena kasus penggelapan uang, dan masih banyak berita lainnya.

 

“Tuan, hamba tidak melihat siapapun. Hanya ada ini,” Bejo menunjuk deretan berita tersebut.

 

“Ahhh, Bejo.. Kamu sungguh tidak paham ya? Bagiku, itu sudah cukup. Apalagi yang kamu perlukan untuk mengetahui panggilan dari rakyatmu? Saya ditakdirkan untuk menjadi pemimpin. Pemimpin harus peka terhadap rakyatnya”. Berapi-api Jenderal berusia lanjut tapi masih tampak sigap itu menyuarakan pendapatnya.

 

Teringat pada niat awalnya, Bejo kembali bersuara.

 

“Tuan, saya sudah menjadi pelayan Tuan sejak 10 tahun yang lalu. Saya sudah menyaksikan bagaimana perjuangan Tuan untuk tanah ini. Tapi Tuan, bangsa ini sudah berubah. Mereka haus akan pemimpin yang bisa memahami mereka, pernah bersentuhan dengan mereka. Teman-teman saya merasa nyaman dengan kehadiran pemimpin baru itu, pak Wage. Kemarin pak Wage ikut belanja di pasar kampung, Tuan. Ada wartawan yang meliput. Wartawan asing juga. Kalau minggu lalu pak Wage blusukan ke perkampungan pinggir kali, lalu dilanjutkan makan siang bersama warga. Pak Wage bilang….”

 

“DIAAAMMMMM!!! DIAAAMMM!!”

 

“Aku tidak mau dengar nama itu dalam rumah ini! Titik. Kamu bodoh, Bejo. BODOH! Orang kampung seperti itu kamu anggap layak memimpin orang seperti kamu. Mana bisa orang yang levelnya sama sepertimu menjadi pemimpinmu?” Kemarahan Sang Jenderal memuncak. Urat lehernya menegang.

 

Ia mengarahkan telunjuknya tepat ke dahi Bejo.

 

“Kamu tidak pantas dipimpin orang kampung yang derajatnya sama sepertimu!”

 

Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata, “Kamu harus dipimpin orang yang derajatnya lebih tinggi. Aku sudah dilatih untuk duduk dalam pemerintahan. Aku dilahirkan untuk menjadi pemimpinmu. Karena tanpaku, kamu akan selamanya menjadi budak bangsa lain. Kamu tidak punya keberanian! Orang kampung itu hanya berpura-pura berpihak pada rakyat, Bejo. Tidakkah kamu bisa melihatnya?”

 

Sang Jenderal merasakan darahnya mendidih. Dikalahkan dalam pemilihan oleh pecundang kampung! Tidak pernah terbayangkan dalam mimpinya sekalipun. Ia geram. Kedua tangannya mengepal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun