SANG JENDERAL DI NEGERI IMPIAN
Â
Sang Jenderal tersenyum puas memandangi kemeja putih yang akan dikenakannya esok hari. Tergantung rapi, licin dan aroma harum maskulin tercium semerbak. Tanpa terasa kemeja ini sudah menemaninya menanam impian hampir selama 15 tahun. Tentu saja, ini bukan kemeja pertamanya, tapi sudah berganti ke sekian kalinya. Model yang sama. Dengan asesoris dan atribut kantong, kancing, dan potongan jahit pada garis melintang.
Â
Entah mengapa, Sang Jenderal merasa sangat bersemangat dan gagah ketika mengenakannya. Seolah-olah seluruh jiwa raganya terserap dalam tiap rajutan benang kemeja itu. Hidupnya terasa berarti dan penuh makna dalam balutan kemeja a la pemimpin utamanya dulu.
Â
Lamunannya merambah ke suatu peristiwa di masa lampau. Saat ia masih mengenakan kemeja berbahan dasar sedikit berbeda, potongan jahitan yang melintang di pundak, namun berbeda motif dan warna. Simbol-simbol kebesaran dan prestasi turut melengkapi motif kemejanya. Rasa bangga melingkupi diri. Berbaur dengan rasa cinta pada negeri. Keduanya selalu muncul ketika baju itu melekat pada tubuh. Hingga kini aroma medali di pundak masih terasa nyata.
Â
Sebagaimana hujan datang tak dinyana, bencana pun nekad menghampirinya. Seseorang dengan berani telah merebut kebanggaan itu darinya! Tanpa daya Sang Jenderal terpaksa menyerah. Tegap berdiri diam menantang. Satu per satu medali –bukti keberaniannya menantang maut- direnggut dari pundak ksatrianya. Bahkan ia dipaksa untuk mengenakan kemeja tanpa motif abstrak lagi. Kemejanya kini polos tanpa nada. Tanpa warna. Persis seperti dirinya saat ini. ‘Siapakah aku?’ Lenguhnya dalam diam. ‘Aku tanpa motif, tanpa andil, tanpa eksistensi’. Sang Jenderal mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Â
Kemeja putih yang sudah disetrika licin bak papan seluncur masih tergantung di tempatnya. Namun laki-laki berbadan tegap di usianya yang tak lagi muda mulai resah. ‘Akankah aku tetap di sini, dalam hampa andil dalam negeri, yang sudah kubela dengan nyawa, hingga akhirnya nanti?’
Â
Ia mendengus. ‘Tidak akan terjadi!’ Tekadnya.
Â
‘Aku tidak ditakdirkan berbaju putih polos tanpa atribut! Aku dilahirkan, dididik dan dibesarkan untuk merebut kembali atribut kemeja ini! Dan aku bukan orang yang mudah dikalahkan!’
Â
Tampak Sang Jenderal mengepalkan tangan. Braakkk!!! Tanpa sadar lengan kursi jati berusia 100 tahun menjadi sasaran kejengkelannya.
Â
Â
Â
Tiba-tiba… Drreeerrr!!