Nama        : Nafiza Putri
NPM Â Â Â Â Â Â Â Â : 1910104010080 Universitas Syiah Kuala (USK)
Sumber       : Buku Tokoh- Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20 oleh Herry Mohammad
KIAI Haji Ahmad Dahlan (lahir di Kauman, Yogyakarta, tahun 1868), adalah putra dari K.H. Abu Bakar bin kiai Sulaiman,seorang khatib tetap di Masjid Agung  Yogyakarta.  Ketika lahir abu bakar memberi nama anaknya dengan Muhammad Darwis. Dengan bekal bahasa arab dan ilmu-ilmu  agama yang diperolehnya di Yogyakarta pada tahun 1888, Darwis menunaikan ibadah haji, sekaligus bermukim di mekah guna menuntut ilmu selama 4 tahun.
Di bumi mekkah inilah darwis memperdalam ilmu-ilmu keislamannya seperti, ilmu qiraat, fikih, tasawuf, ilmu mantik, ilmu falak, akidah, dan tafsir. Pada tahun 1902, darwis kembali ke kampung halamannya. Kali ini ia tampil dengan nama baru yaitu Ahmad Dahlan.
Di tanah air, dahlan hanya setahun kemudian pada tahun 1903 ia kembali ke mekah untuk  masa 3 tahun, khusus mempelajari dan mendalami ilmu -- ilmu agama yang sudah  ia dapatkan sebelumnya. Ia juga tercatat sebagai murid dari Syech Ahmad Khatib Minangkabau. Pada periode kedua kehadirannya ini Ahmad Dahlan  juga mempelajari pembaruan islam yang gencar gencarnya  dilakukan oleh tokoh seperti Jamaludin  al-Afgani, Ibnu Taimiyah, Muhammad abduh dan juga Muhammad  Rasyid Ridha yang dikenal dengan tafsir Al-Manarnya itu.
Dari tafsir Al-Manar inilah, gagasan -- gagasan pembaru memunculkan inisiatif untuk ditumbuh kembangkan di bumi Indonesia. Pada tahun 1906 Ahmad Dahlan kembali ke Yogyakarta, dan ia menjadi guru agama di kampung halamannya, Kauman.
Sebagai anak dari K.H. Abu Bakar yang menjadi khatib tetap Masjid Yogyakarta, Ahmad Dahlan juga mendapat jatah yang sama di berikan oleh pihak Keraton Yogyakarta. Ia di percaya sebagai khatib tetap Masjid Agung. Pamor nya segera terlihat karena kepiawaiannya berdakwah, berwawasan luas, dan jujur. Itu sebabnya pihak Keraton Yogyakarta memberinya gelar Khatib Amin yang punya arti sebagai khatib yang dipercaya.
Meski menjadi khatib di lingkungan Masjid Keraton, bukan berarti jiwa pembaharunya berhenti. Ia terus menerus memikirkan lingkungan yang dinilainya masih  perlu banyak perbaikan di sana-sini. Salah satunya adalah tentang arah kiblat di masjid -- masjid Yogyakarta (termasuk Masjid Keraton) yang dinilainya tidak tepat. Oleh karen itu perlu diubah arahnya. Tapi karena masjid Keraton adalah yang menjadi barometer, maka arah kiblat di masjid ini yang pertama mesti di lakukan perubahan arah kiblatnya.
Tapi, Ahmad Dahlan tak mau mengubahnya secara dadakan. Sebagai pembaharu, ia lebih menekankan adanya dialog untuk meyakinkan sasaran dakwahnya, atau oraang -- orang yang tidak sepaham dengannya. Ia yakin betul bahwa dengan cara dialog masing-masing pihak akan mendapat informasi atau pengetahuan baru. Dialog dalam pandangan ahmad dahlan adalah sarana untuk mencapai kebenaran.
Itulah yang dilakukan oleh ahmad dahlan. Maka pada 1898, ia mengundang pra ulama dari Yogyakarta dan sekitarnya untuk mendiskusikan masalah arah kiblat shalat. Terjadi diskusi yang cukup seru, karena adanya pro dan kontra. Diskusi tentang arah kiblat itu cukup menguat kearah ide ahamad. Meski akhir dari dialog tersebut tidak membuahkan kesepakatan apa-apa, tapi atmosfirnya cukup bagus, dinamis dan ada pencerahan.