Dia mengajak untuk membangun kembali "Suriah Baru" dengan bentuk pemerintahan yang lebih demokratis dan inklusif. Meskipun demikian, banyak pihak yang skeptis tentang apa yang dijanjikan al-Julani dan perubahan citranya yang lebih moderat, mengingat rekam jejaknya sebagai mantan anggota organisasi teroris internasional Al-Qaeda.
Terlepas dari kondisi internal Suriah, ada kendala yang menanti terhadap proses pemulangan tersebut. Kekhawatiran tentang ketidakjelasan mekanisme kembalinya warga Suriah akan mengganggu masa transisi pemerintahan yang sedang dibangun.
Di saat yang bersamaan, belasan negara Eropa menangguhkan proses klaim suaka warga Suriah dan mendorong deportasi  ke negara asal mereka. Di sisi lain, sebagian warga Suriah enggan untuk kembali karena tidak adanya fasilitas dasar, seperti akses kesehatan dan pendidikan.
Peralihan pemerintahan tidak serta-merta menyelesaikan masalah yang ada, terlebih lagi sanksi internasional yang masih berlaku dan nilai mata uang yang anjlok.
Situasi ini menempatkan pembuat kebijakan dalam posisi persimpangan yang membingungkan. Kebijakan yang dikeluarkan secara terburu-buru akan berpotensi menjadi senjata makan tuan dan menimbulkan krisis yang lebih luas.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta kesabaran negara-negara Eropa untuk tidak menunda permohonan suaka di tengah ketidakstabilan pasca-jatuhnya Assad. Kepala Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi, menyerukan "kesabaran dan kewaspadaan" dalam proses pemulangan.
Grandi juga mengharapkan adanya perkembangan positif di lapangan, yang mendukung pemulangan secara sukarela, aman, dan berkelanjutan dapat terjadi. Dengan begitu, pengungsi dapat membuat keputusan secara tepat.
Perlindungan atas keamanan pengungsi ketika proses pemulangan sudah semestinya menjadi hak yang harus dipenuhi meskipun tidak secara definitif diatur dalam konvensi mana pun.
Namun, prinsip perlindungan dan proses pemulangan terkandung dalam Konvensi Terkait Status Pengungsi 1951 dan Protokol 1967.
Diterangkan dalam pasal 33 Konvensi Terkait Status Pengungsi 1951 tentang larangan pengusiran atau pengembalian yang biasa dikenal dengan prinsip non-refoulement. Prinsip ini menjelaskan bahwa tidak ada satu pun negara pihak yang boleh mengusir atau mengembalikan pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah di mana kehidupan dan kebebasan mereka terancam.