Sejumlah kalangan mengkritik rancangan revisi Undang- Undang Pilkada yang akan disahkan oleh DPR hari ini. Melihat hasil nilai revisi itu cacat hukum dan masih dapat digugat karena berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak boleh diubah sedikit pun. Menurut saya, UU Pilkada yang bertentangan dengan putusan MK harus batal secara hukum. Saya menilai perbedaan itu juga berpotensi menimbulkan konflik norma hukum dengan UUD 45.
Yohanes pun juga angkat bicara "Kalau secara hierarkis bertentangan, harus batal demi hukum. Itu bertentangan dengan teori pembentukan perundang-undangan. Jadi, (putusan MK) itu satu huruf pun jangan dikurangi.”
DPR seharusnya tidak melakukan pengubahan apa pun terhadap putusan MK. Ia menilai DPR masih punya banyak waktu untuk menggodok putusan MK agar revisi UU Pilkada yang dihasilkan dapat mencerminkan suara rakyat. Misalnya, dengan tetap mengakomodasi semua partai politik yang sah, meski tidak dapat kursi di parlemen.
Baleg DPR menyepakati akan mengikuti aturan Mahkamah Agung (MA) terkait aturan batas usia cagub-cawagub dan tetap menggunakan syarat partai politik dalam mengusung cagub. Artinya, kesepakatan Baleg DPR itu juga telah mengabaikan putusan MK. Pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah menilai keputusan Baleg itu sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. "Itu pembangkangan konstitusi, karena penolakan pembentuk UU dalam hal ini pemerintah dan DPR dalam menjalankan putusan mahkamah.”
Wakil rakyat itu tidak hanya membangkang tetapi juga melakukan perbuatan melawan hukum, semua produk hukum yang dilahirkan DPR RI bisa tidak sah apabila melanggar konstitusi. Tidak hanya pembangkangan terhadap konstitusi, kalau kita pakai perspektif undang-undang administrasi pemerintahan 30/2014, itu adalah bagian atau tindakan yang bisa kita kualifikasikan perbuatan melawan hukum
"Nah konsekuensinya apa? Ya perbuatan melawan hukum artinya semua produk-produk yang dihasilkan dengan tidak mengindahkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, termasuk Mahkamah Konstitusi, yaitu bisa tidak sah.
Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama DPD dan pemerintah menyetujui revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada dalam waktu singkat, yakni hanya tujuh jam. Selanjutnya, hal itu akan dibawa ke paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Paripurna tersebut dijadwalkan akan berlangsung hari ini.
Kilatnya pembahasan revisi UU Pilkada juga menuai kritik dari SETARA Institute. Menurut SETARA Institute, revisi tujuh jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil. Sebab, rumusan syarat pencalonan gubernur, bupati, hingga walikota, ditafsir sesuai selera para anggota Baleg DPR.
"Penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK, ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD. Akal- akalan tafsir juga diberlakukan terkait tafsir konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan.”
Seperti diketahui, rapat pembahasan revisi UU Pilkada dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Baidowi atau Awiek di gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu. Pengambilan keputusan tingkat I itu diambil setelah Baleg DPR melakukan rapat maraton sejak pagi.
Rapat sejak pagi itu turut dihadiri Menkumham Supratman Andi Agtas, dan Mendagri Tito Karnavian. Hadir pula jajaran pejabat utama Kemenkumham dan Kemendagri dalam rapat. Rapat dimulai dengan pembahasan jumlah daftar inventarisir masalah atau DIM lalu disepekati. Kemudian rapat membahas pasal-pasal masalah yang dimasukkan dalam RUU Pilkada.
"Apakah hasil pembahasan RUU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dapat diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang- undangan?"
"Setuju," kata anggota Baleg DPR disambut ketuk para. oleh Awiek.
Delapan fraksi di DPR menyepakati RUU Pilkada untuk dibawa ke rapat paripurna. Kedelapan fraksi tersebut, yakni Gerindra, Demokrat, Golkar, PKS, NasDem, PAN, PPP, dan PKB. Sementara itu, hanya Fraksi PDIP yang menyatakan menolak RUU Pilkada.
Unggahan gambar garuda berlatar biru dengan tulisan 'Peringatan Darurat' ramai di media sosial seusai pembahasan revisi undang-undang oleh DPR. Tak hanya itu, sejumlah komponen masyarakat juga akan menggelar aksi demonstrasi untuk mengawal putusan MK terkait Pilkada hari ini.
Aksi ini diketahui akan dilakukan oleh Partai Buruh, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), mahasiswa, aktivis '98 hingga guru besar. Adapun, Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan menggelar aksi besar-besaran di depan Gedung DPR/MPR RI. Demo di DPR dijadwalkan akan dimulai pukul 09.00 WIB. Selain Partai Buruh, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) juga akan menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI. Rencana aksi disampaikan BEM UI lewat akun Instagram-nya, Rabu (21/8/2024). Mereka akan mulai beraksi pada pukul 09.00 WIB.
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi (Awiek) merespons gerakan 'Peringatan Darurat' di media sosial usai revisi UU Pilkada dibawa ke paripurna. Awiek mengatakan menghormati setiap pendapat yang masuk.
"Ya itu pendapat silakan saja kami menghormati pendapat itu, bermain di ruang media sosial silakan. Kemudian mau diskusi juga silakan, berdialog di media konvensional seperti ini juga silakan," ujar Awiek di kompleks parlemen. Awiek mengatakan publik bisa menggugat undang-undang jika sudah disahkan ke Mahkamah Konstitusi. la menyebut tak ada yang dihalang- halangi.
"Nanti ketika produk undang-undang itu sudah diundangkan mau digugat ke Mahkamah Konstitusi silakan tidak ada yang menghalang-halangi. Di sinilah apa, kebebasan berekspresi dijamin oleh UU.”
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, mengatakan aksi demo yang dilakukan masyarakat semestinya mengingatkan pemerintah, DPR maupun partai-partai politik untuk tidak mengangkangi konstitusi dengan cara-cara munafik. "Rakyat sudah muak"
Dari pandangan saya menilai elemen-elemen pro-demokrasi bergerak menentang kekuasaan yang ugal-ugalan yang selama ini mengakali konstitusi. Aksi turun ke jalan tersebut menunjukkan situasi dan kondisi di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. "Kita tahu ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan nomor 90 tahun 2023 banyak kritik dari berbagai elemen. Bahwa konstitusi digunakan untuk kepentingan kekuasaan.
Bertolak dari pemahaman di atas, dapat dikatakan bahwa secara substansial konstitusi Indonesia belum menyelesaikan beberapa hal. Dan disitulah lahir problem konsep bagi negara hukum Indonesia dalam kaitannya dengan bengunan konstitusi.
Pertama Indonesia dalam bidang eksekutif mengatur sistem presdiensial. Namun apabila dicermati dalam konstitusi yang ada saat ini, sistem presidensial yang ada di Indonesia sangat kabur. Hal ini tercermin dari beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Presiden yang tidak sesuaidengan sistem presidensial. Dalam hal ini termasuk peran presiden dalam legislasi yang ternyata tidak mengikuti model bicameral yang selama ini dicita-citakan.
Sehingga dalam praktiknya dengan melihat kewenangan yang diberikan kepada presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan yang seharusnya otoritas kewenangannya lebih tinggi karena dijamin oleh sistem pemerintahan presidensial, senyatanya presiden harus kerja lebih ekstra untuk menghadapi gejolak politik di tubuh parlemen.
Presiden dalam menjalankan kewenangannya tersandra oleh politikus-politikus di Parlemen. Selain itu, perpaduan sistem presidensial dengan sistem multiparti juga menjadi juga menjadi alasan terpuruknya siste presidensial di Indonesia.
Scott Mainwaring dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kombinasi antara presidensialisme dan sistem multipartai yang terpecah belah tampak bertentangan dengan demokrasi yang stabil. Hal ini disebabkan karena kombinasi ini mudah menimbulkan berbagai kesulitan dalam hubungan antara presiden dan kongres.
Kedua, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tidak memiliki kedudukan yang seimbang dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPD sebagai perwakilan daerah dalam legislasi nasional hanya didesain setengah-setengah hal ini terlihat dari pengebirian kewenangan DPD yang tidak dapat ikut dalam mengesahkan suatu peraturan perundang-undangan meskipun rancanganan undang-undang tersebut merupakan kepentingan daerah. Melalui konsep yang setengah-setengah ini check and balances terhadap DPR tidak berjalan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H