Mohon tunggu...
Nafisa Niami
Nafisa Niami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Me

Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Moralitas Diperoleh Melalui Proses Belajar

27 Oktober 2021   23:44 Diperbarui: 28 Oktober 2021   00:05 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Manusia merupakan makhluk susila yaitu yang mampu berfikir dalam memahami kaidah-kaidah moral dan menjadikannya pedoman dalam bertutur kata, berperilaku dan bersikap. Kemampuan seperti ini bukan bawaan dari lahir melainkan dapat diperoleh melalui proses belajar. 

Anak akan mengalami perkembangan moral jika terdapat pengalaman-pengalaman yang berakitan dengan moral disekitarnya. Jika moralitas termasuk faktor penting dalam kehidupan manusia maka manusia sejak dini harus mendapatkan pengaruh yang positif untuk menstimulasi perkembangan moralnya.

Moral adalah suatu aturan atau etika yang dimiliki manusia dalam berperilaku. Perkembangan moral tentu harus dibentuk kepada seseorang ketika masih anak usia dini. 

Perkembangan moral merupakan proses perubahan penalaran, perasaan dan perilaku mengenai standar kebenaran (Santrock, 2001; Hoffman, 2001; Lapsley, 2010; Carmichael dkk., 2019; Duska & Whelan, 1975; dalam ensiklopedia PIAUD). Perkembangan moral berhubungan dengan ketentuan dan aturan-aturan tentang apa yang seharusnya dimiliki seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. 

John Dewey mengemukakan bahwa tahapan perkembangan moral seseorang melewati 3 fase, yaitu premoral, conventional dan autonomous. 

Anak usia dini berada pada fase pertama dan kedua. Nah sebagai pendidik, guru maupun orang tua agar memperhatikan kedua karakteristik tahapan perkembangan moral tersebut. Sedangkan menurut Jean Piaget, perkembangan moral seseorang melalui tahapan heteromous dan autonomous. 

Guru atau orang tua diharapkan memperhatikan ketika anak pada tahapan heteromous, karena pada tahapan ini anak masih sangat mudah terpengaruh dan sangat labil. Mereka perlu bimbingan, arahan, dan proses berlatih dan pembiasaan secara terus-menerus.

Perkembangan Moral Jean Piaget

Setelah Piaget melakukan observasi dan wawancara terhadap anak-anak berusia 4-12 tahun, dia memahami dan berfikir tentang aturan-aturan permainan yang dilakukan saat anak-anak bermain dan menanyakan hal-hal seperti mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan. 

Hasil penelitian tersebut kemudian menjadi dasar teori Piaget tentang perkembangan moral anak. Kemudian Piaget menemukan bahwa gagasan anak-anak tentang aturan, penilaian moral, dan hukuman cenderung berubah seiring bertambahnya usia.  

Dan menyimpulkan bahwa anak-anak memiliki 2 cara pemikiran yang berbeda tentang moralitas, yaitu moralitas heteronom (heteronomous morality/moral realism) dan juga moralitas otonom (autonomous morality/moral relativism).

Moralitas Heteronom

Tahapan ini berada pada anak usia 4-7 tahun, dimana anak memahami bahwa keadilan dan aturan adalah properti dunia yang tidak dapat dikontrol dan diubah oleh manusia dan akan selalu sama. Misalnya, memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan 1 gelas dengan sengaja. Anak menganggap moralitas sebagai tindakan untuk mematuhi aturan atau hukum yang berlaku. 

Anak pada tahap ini menerima bahwa semua aturan dibuat oleh beberapa figur otoritas (misalnya orang tua, pengasuh dan guru) untuk dipatuhi. Jika mereka melanggar aturan tersebut, maka akan mengakibatkan hukuman langsung dan berat. Piaget menyebutnya sebagai keadilan imanen (immanent justice). 

Fungsi dari setiap hukuman adalah membuat yang bersalah menderita karena beratnya hukuman harus dikaitkan dengan beratnya perbuatan salah (expiatory punishment).

Moralitas Otonom

Tahapan ini dikenal juga dengan moral relativism yang berada pada kisaran usia 9-10 tahun. Anak mulai menyadari bahwa keadilan, peraturan dan hukum merupakan produk yang dibuat manusia. Anak pada tahapan ini juga percaya bahwa untuk menilai perbuatan seseorang, mereka harus mempertimbangkan niat, bukan hanya pada konsekuensi perbuatan tersebut. 

Piaget percaya bahwa sekitar usia 9-10 tahun, pemahaman anak-anak tentang masalah moral mengalami reorganisasi yang mendasar. 

Sekarang mereka mulai mengatasi egosentrisme masa kanak-kanak tengah dan telah mengembangkan kemampuan untuk melihat aturan moral dari sudut pandang orang lain. Perubahan dan perluasan sudut pandang menjadi pertimbangan anak untuk beralih ke penilaian moral yang lebih mandiri. Akibatnya, gagasan anak-anak tentang hakikat aturan, tanggung jawab moral, hukuman dan keadilan berubah lebih seperti orang dewasa.

Anak pada tahapan ini mulai menyadari bahwa aturan bukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diubah. Aturan dan hukuman merupakan produk manusia yang dapat diubah. 

Sehingga pertimbangan anak tentang hukuman bukan lagi berorientasi pada konsekuensi sebuah perbuatan (melanggar hukum), namun juga mempertimbangkan niat/motif seseorang melakukan perbuatan tersebut. 

Anak-anak mulai menyadari bahwa jika mereka berperilaku dengan cara yang tampaknya salah, tetapi memiliki niat baik, belum tentu mereka akan dihukum. Jadi bagi mereka, tindakan bermaksud baik yang ternyata buruk lebih tidak patut disalahkan daripada tindakan jahat yang tidak merugikan.

Anak juga menjadi lebih pintar dalam berpikir tentang persoalan sosial, terutama tentang kemungkinan-kemungkinan dan kerjasama. Pemahaman sosial ini diyakini Piaget terjadi melalui hubungan dengan teman sebaya yang saling memberi dan menerima. 

Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, merencanakan sesuatu dengan merundingkannya, ketidaksetujuan diungkapkan, diperbincangkan dan pada akhirnya disepakati. Sedangkan hubungan antara orangtua dan anak, orangtua memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter.

Contoh konkrit dari kedua tahapan ini adalah bagaimana anak pada tahapan heteronom dan otonom menilai perbuatan memecahkan 1 gelas dengan disengaja dibandingkan dengan memecahkan 12 gelas tanpa disengaja. Anak-anak pada level heteronom akan menilai memecahkan 12 gelas lebih fatal tanpa mempertimbangkan niat pelaku.

Setelah mengetahui tahapan-tahapan moral sesuai usia anak, kita sebagai orang tua, pendidik, perlu memperhatikan masa perkembangannya. Memberikan contoh, stimulus, dan hal-hal positif yang berkaitan dengan moralitas, agar moralitas anak terbentuk dengan baik dan mengerti dalam bersikap dan berperilaku sesuai tempatnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun