Pengertian Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara bahasa ialah kata yang berasal dari kata bahasa Arab yaitu “qadara” yang mempunyai beberapa arti, di antaranya adalah kuasa, mampu, memuliakan atau mulia, ketentuan akan ukuran dan menyempitkan.
Menurut istilah, Qadariyah adalah kelompok yang menolak qadar atau ketetapan dari Tuhan, yakni kelompok yang tidak percaya dengan adanya ketetapan Tuhan terhadap segala urusan/perkara. Mereka menolak kepercayaan bahwa Allah SWT yang telah menetapkan segala urusan sebelum diciptakan. Manusia bebas dan merdeka menentukan nasib perjalanan hidupnya, bahagia atau sengsara, menjadi orang sesat atau mendapat hidayah-Nya, memilih surga atau pun neraka. Aliran Qadariyah ini berpegang pada kebebasan manusia memilih dalam tindakannya dan merdeka dalam berkehendak.(Burhanuddin, 2016:87-88)
Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa aliran Qadariyah digunakan untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dalam hal ini, Harun Nasution turut menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan pada aliran yang berpendapat bahwa qadar telah menentukan segala tingkah manusia yang baik maupun yang jahat. Sebutan tersebut telah melekat pada aliran yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan atau kemerdekaan dalam berkehendak.(Rozak & Anwar, 2016:87-88)
Latar Belakang Munculnya Qadariyah
Ada perbedaan pendapat mengenai latar belakang kemunculan aliran Qadariyah, di antaranya adalah :
Menurut Harun Nasution kemunculan Qadariyah erat kaitannya dengan masalah perbuatan manusia bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Berbeda dengan Jabariyah, aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu dan meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai qudrah (kekuatan) untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan.
Ibnu Taimiyah mengemukakan sejarah timbul paham Qadariyah ini muncul sebelum paham Jabariyah. Paham Qadariyah muncul pada periode terakhir sahabat, yaitu ketika timbul perdebatan tentang qadar atau ketetaan Tuhan.
Menurut Ibnu Nabatah, ia adalah seorang ahli penulis kitab “Syahral ‘Uyun” mengatakan bahwa orang yang mula-mula mengembangkan paham Qadariyah adalah seorang penduduk Irak. Pada mulanya, ia seorang Nasrani kemudian masuk Islam dan akhirnya menjadi Nasrani lagi. Dari orang inilah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasiqi menagmbil paham Qadariyah.
Senada dengan pendapat diatas, Abu Zahrah lebih cenderung tidak merinci dan tidak memastikan asal timbul dan berkembangnya paham Qadariyah. Menurut Abu Zahrah, para ahli sejarah pemikiran islam telah meneliti dan mengkaji lebih jauh mengenai siapakah sebenarnya yang pertama kali mengajarkan paham ini, di daerah mana timbul dan berkembang. Hanya saja pedoman umum yang dapat dijadikan pegangan adalah bahwa Bashrah dan Iraklah tempat timbulnya dan tempat berkembangnya paham Qadariyah.
Abu Zahrah, selanjutnya menyimpulkan bahwa kaum muslimin pada akhir masa Khulafa Ar-Rasyidin dan masa pemerintahan Muawiyah ramai membicarakan masalah qadha’ dan qadar. Sekelompok umat islam sangat berlebihan dalam meniadakan hak memilih bagi manusia, mereka adalah kaum Jabariyah. Sedangkan kaum Qadariyah juga sangat berlebihan dengan pendapatnya bahwa semua perbuatan manusia adalah murni keinginan manusia yang terlepas dari keinginan atau kehendak Tuhan.
Namun demikian, meski para ahli berbeda pendapat tentang latar belakang kemunculan aliran Qadariyah, para ahli sejarah hampir sepakat bahwa Ma’bad Al-Juhani adalah orang yang pertama kali dikalangan kaum muslimin menyampaikan paham yang menafikkan qadar dan kekuasaan ketuhanan, dan ini terjadi pada masa akhir periode sahabat.(Burhanuddin, 2016:89-90)
Menurut Ahmad Amin, ada salah seorang ahli teologi yang menyatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasiqi. Ma’bad Al-Juhani adalah seorang taba’i (pengikut) yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al-Bashri. Sementara Ghailan Al-Dimasiqi, ia adalah seorang orator (orang yang ahli berpidato/orang yang mempunyai kepandaian berpidato dalam jangka waktu yang lama) yang berasal dari Damaskus.
Ahmad Amin menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri. Pada tahun 657, Hasan Al-Bashri pergi ke Basrah dan tinggal disana sampai akhirnya hayatnya. Jadi sangat kemungkinan bahwa paham Qadariyah ini dimunculkan oleh Hasan Al-Basri.(Rozak&Anwar, 2016:88-89)
Pokok-Pokok Ajaran Qadariah
Menurut Ahmad Amin, pokok pokok ajaran Qadariyah adalah sebagai beirkut :
Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasiq dan masuk neraka.
Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia.
Allah tidak memiliki sifat-sifat azaly, seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan dzat-Nya sendiri.
Akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.
Tokoh dan Ajaran Qadariah
Ajaran ma’bad al-juhani
Perbuatan manusia diciptakan atas kehendaknya sendiri. Oleh karena itu ia langsung bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Ajaran ghailan al-dimasqi
Manusia menentukan perbuatannya dengan kemauannya sendiri dan mampu berbuat baik dan buruk tanpa campur tangan Tuhan.
Allah tidak memiliki sifat
Iman adalah hak semua orang. Mereka bebas dalam memilih percaya kepada siapapun dan bebas untuk percaya pada apapun.(Tim Reviewer, 2011:124-126)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H