Abu Zahrah, selanjutnya menyimpulkan bahwa kaum muslimin pada akhir masa Khulafa Ar-Rasyidin dan masa pemerintahan Muawiyah ramai membicarakan masalah qadha’ dan qadar. Sekelompok umat islam sangat berlebihan dalam meniadakan hak memilih bagi manusia, mereka adalah kaum Jabariyah. Sedangkan kaum Qadariyah juga sangat berlebihan dengan pendapatnya bahwa semua perbuatan manusia adalah murni keinginan manusia yang terlepas dari keinginan atau kehendak Tuhan.
Namun demikian, meski para ahli berbeda pendapat tentang latar belakang kemunculan aliran Qadariyah, para ahli sejarah hampir sepakat bahwa Ma’bad Al-Juhani adalah orang yang pertama kali dikalangan kaum muslimin menyampaikan paham yang menafikkan qadar dan kekuasaan ketuhanan, dan ini terjadi pada masa akhir periode sahabat.(Burhanuddin, 2016:89-90)
Menurut Ahmad Amin, ada salah seorang ahli teologi yang menyatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasiqi. Ma’bad Al-Juhani adalah seorang taba’i (pengikut) yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al-Bashri. Sementara Ghailan Al-Dimasiqi, ia adalah seorang orator (orang yang ahli berpidato/orang yang mempunyai kepandaian berpidato dalam jangka waktu yang lama) yang berasal dari Damaskus.
Ahmad Amin menyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri. Pada tahun 657, Hasan Al-Bashri pergi ke Basrah dan tinggal disana sampai akhirnya hayatnya. Jadi sangat kemungkinan bahwa paham Qadariyah ini dimunculkan oleh Hasan Al-Basri.(Rozak&Anwar, 2016:88-89)
Pokok-Pokok Ajaran Qadariah
Menurut Ahmad Amin, pokok pokok ajaran Qadariyah adalah sebagai beirkut :
Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tapi fasiq dan masuk neraka.
Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia.
Allah tidak memiliki sifat-sifat azaly, seperti ilmu, kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan dzat-Nya sendiri.
Akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.
Tokoh dan Ajaran Qadariah