Pada dasarnya, pengelolaan limbah medis COVID-19 memiliki cara-cara tertentu. Seperti yang tertera dalam Surat Edaran Menteri LHK No. SE.02/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius Limbah B3 dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) yang mengatur bahwa pengeloaan limbah infeksius penanganan COVID-19 melalui tiga tahapan, yaitu (1) penyimpanan limbah infeksius dalam kemasan tertutup (2) mengangkut atau memusnahkan dengan insinerator atau autoclave (3) residu hasil proses sebelumnya diberikan simbol “Beracun” dan label limbah B3 yang selanjutnya disimpan dalam penyimpanan sementara limbah B3 untuk diserahkan pada pengelola limbah B3.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa limbah medis COVID-19 termasuk dalam Limbah B3. Sesuai dengan Pasal 104 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau yang biasa disebut UU Lingkungan Hidup, tindakan pembuangan limbah medis sembarangan (tanpa mengikuti prosedur penanganan limbah medis B3) merupakan tindak pidana. Karena termasuk ke dalam lingkup hukum pidana, artinya tindakan pembuangan limbah medis COVID-19 merugikan kepentingan umum (Kansil, 1989).
Terdapat dua potensi bahaya dari limbah medis bekas penanganan COVID-19, yang dapat berupa masker bekas, sarung tangan bekas, perban bekas, tisu bekas, plastik bekas minuman dan makanan, kertas bekas makanan dan minuman, alat suntik bekas, set infus bekas, baju pelindung bekas, dan sisa makanan pasien (Oktari, 2020). Potensi tersebut meliputi potensi infeksi dan potensi pemanfaatan limbah medis ilegal (Nasir, 2020). Pertama, mengenai potensi infeksi, terdapat penelitian bahwa penyebab COVID-19 adalah virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang mampu bertahan dalam suhu dan kelembapan tertentu. Dibutuhkan waktu beberapa hari bagi virus tersebut untuk menonaktifkan penularannya terhadap manusia, tergantung pada bahan yang ditempelinya (Chin, 2020). Apabila limbah medis dibuang sembarangan, terlebih lagi di kawasan sekitar masyarakat, maka dikhawatirkan dapat menularkan penyakit bagi masyarakat sekitar. Jika seperti itu, timbullah permasalahan baru di tengah upaya memutus mata rantai penularan COVID-19.
Kedua, mengenai potensi pemanfaatan limbah ilegal. Terdapat suatu kasus di Purbalingga bahwa limbah medis berupa suntikan diolah kembali menjadi mainan anak-anak dan limbah medis berupa botol bekas vaksin diolah menjadi botol parfum (Anugrah, 2020). Kasus lain yaitu pengelolaan kembali masker bekas pakai menjadi masker baru di Bandung (Kompas, 2020). Hal ini tentu sangat berbahaya, mengingat limbah medis besar kemungkinan membawa virus, bakteri, atau zat berbahaya lainnya. Serta virus, bakteri, atau zat berbahaya lainnya itu tidak bisa dihilangkan dengan cara yang biasa saja, diperlukan cara-cara tertentu seperti yang telah diatur pemerintah.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa limbah medis merupakan limbah yang sangat berbahaya apabila tidak dikelola sesuai prosedur dan dibuang secara sembarangan. Hal tersebut dikhwatirkan akan mengganggu kesehatan masyarakat dan keseimbangan lingkungan. Ditambah lagi, pengelolaan limbah medis COVID-19 secara ilegal menimbulkan keresahan masyarakat.
Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Tindakan Pembuangan Limbah Medis Secara Sembarangan
Dalam masa seperti sekarang ini, masih banyak oknum rumah sakit yang dengan sengaja membuang limbah medis COVID-19 secara sembarangan. Seperti contoh di TPA Bakung Kota Bandar Lampung ditemukan limbah medis COVID-19. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandar Lampung menduga bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh Rumah Sakit Urip Sumoharjo (KompasTV, 2021). Untuk kasus seperti demikian, tidaklah adil apabila yang dijatuhi hukuman adalah pelaksananya atau orang yang disuruh untuk membuangnya di TPA. Maka dari itu, dapatkah rumah sakit sebagai korporasi dijatuhi hukuman pidana atas kasus ini?
Perlu diketahui bahwa rumah sakit sebagai sebuah salah satu fasyankes (Fasilitas Pelayanan Kesehatan) memiliki kewajiban untuk mengelola limbah-limbah berbahaya tersebut dan melarang membuangnya secara sembarangan. Untuk itu, setiap rumah sakit harus memiliki fasilitas pengelolaan limbah sendiri sesuai dengan KepMenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Terkait dengan pidana korporasi, KUHP yang berlaku sekrang memanglah belum mengatur mengenai pidana korporasi. Namun, tuntutan zaman menjadi pendorong untuk mengadopsi konsep pidana korporasi. Hal ini disebabkan terdapat tindakan pidana yang apabila hanya dijatuhkan pada pengurusnya dianggap tidak adil. Serta dapat mencegah oknum-oknum yang terlibat tapi tidak bertanggungjawab. Dengan diadopsinya pidana korporasi, diharapkan petinggi korporasi dapat terpacu untuk mengelola korporasinya agar berjalan sesuai dengan kewajibannya (Krismen, 2019).
Perlahan hukum positif di Indonesia pun mengatur mengenai pidana korporasi. Korporasi mulai menjadi subjek hukum pidana dimulai dengan ditetapkannya UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Nasution, t.thn.). Kemudian mulai bermunculan pengaturan tentang pertanggungjawaban korporasi di perundang-undangan lainnya, salah satunya yaitu UU Lingkungan Hidup.
Untuk dapat menjawab apakah rumah sakit dapat dijatuhi pidana, harus dipahami terlebih dahulu apa itu tindak pidana korporasi. Berdasarkan Pasal 3 PerMa No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi menyatakan bahwa “Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi.” Adapun teori-teori pidana korporasi, yaitu: