Mohon tunggu...
Nafi Ibdiyana
Nafi Ibdiyana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pariwisata

Seorang mahasiswa jurusan pariwisata, suka baca, ngerjain soal matematika, dan nulis daily journal. Tertarik dengan dunia kepenulisan dan lagi belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Memahami Sejarah Surakarta di Rumah Budaya Kratonan Solo

25 Juni 2023   23:52 Diperbarui: 26 Juni 2023   20:28 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Setahu apapun kamu tentang sesuatu, akan selalu ada hal yang tidak kamu tahu"

Di bawah terik sinar mentari yang menyengat, menusuk, dan membakar kulit, dua orang mahasiswi nekat berkendara memacu motor beat hijau stabilo berplat R itu melintasi jalan raya Jogja-Solo tepat di tengah hari. Ide gila itu selalu muncul begitu saja tanpa rencana yang matang sebelumnya. Hanya berawal dari, "Enaknya abis kelas nanti ke mana, ya, Nis?", kami berdua sudah setengah jalan menuju Solo dari UGM.

Ya, demikianlah. Nafi dan Nisa. Kami berdua dikenal sebagai duo yang selalu impulsif bepergian ke suatu tempat tanpa perencanaan. Kami berdua bisa ada di Demangan untuk sarapan, di Solo untuk makan siang, dan di Bantul untuk menyantap nasi cumi bakar saat senja tiba.

Dalam perjalanan ke Solo kali ini, aku memasrahkan pilihan destinasi kepada Nisa dengan memberikan S&K berupa keterbatasan waktu dan dana yang kami miliki. Sebelum berangkat, Nisa memberikan list destinasi yang memungkinkan untuk dikunjungi.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Pilihan kami jatuh pada Rumah Budaya Kratonan. Jujur saja, saat pertama kali mendengar destinasi ini, aku membayangkan bahwa tempat ini adalah cagar budaya yang menyimpan benda-benda kebudayaan khas Surakarta di dalamnya. Nisa kemudian menjelaskan bahwa tempat ini merupakan sebuah museum bermuatan sejarah tentang Solo yang sempat melintas di FYP (For Your Page) Tiktok miliknya. Meskipun sedikit skeptis dengan tempat-tempat yang viral di Tiktok, aku tetap setuju dan memacu laju beat ini ke sana.

Perjalanan dari UGM ke Rumah Budaya Kratonan memakan waktu kurang lebih dua jam dengan kecepatan rata-rata 50 km/jam. Secara geografis, Rumah Budaya Kratonan berlokasi di Jl. Manduro No.6, Kratonan, Kec. Serengan, Kota Surakarta. Begitu memasuki halaman tempat ini, kami disambut dengan batu bertuliskan "Rumah Budaya Kratonan" yang dialiri air dan dihinggapi oleh tanaman rambat yang menjuntai ke bawah. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Di sisi kanan batu, terdapat resto yang didesain ala joglo khas Jawa dengan kursi-kursi pendek di dalamnya. Di sebelah kiri batu, tepat di samping pot tanaman yang berjajar rapi di tanah, terdapat sedikit space yang difungsikan sebagai tempat parkir kendaraan roda dua. Tepat di belakang tempat parkir, terdapat pendopo rumah Jawa yang mengarah masuk ke sebuah ruangan, museumnya.

Menginjakkan kaki ke ruangan pertama, kami disambut oleh penjaga resepsionis yang mengarahkan kami untuk menemui seorang wanita berusia 50-an yang tengah duduk di kanan ruangan. Rupanya wanita tersebut adalah penjual tiket. Kami menyapa beliau.

"Selamat siang, Bu. Mau tiket untuk dua orang"

"Pelajar?"

"Nggih, Bu" (Iya, Bu)

"Ada KTM?"

"Waduh" aku selalu mengeluh tiap kali ada yang menanyakan KTM fisikku. Bukannya apa, hanya saja sejak 2020 UGM tidak lagi merilis KTM berbentuk fisik dan hanya memberikan E-KTM saja. Ini membuatku sedikit kesal karena aku harus merelakan beberapa promo dan diskon yang mensyaratkan konsumen menunjukkan KTM fisiknya.

"Adanya E-KTM, Bu"

"Dari univ mana?"

"UGM" 

"Oh. Ya sudah nggak apa-apa. Dua tiket totalnya Rp20.000 ya. Tetap harga pelajar"

"Kalau umum berapa, Bu?"
"Rp25.000" jawab Ibu tersebut sembari menyerahkan kertas tiket. Ibu itu melanjutkan, "Tapi ditunggu dulu, ya, Mbak. Nanti baru bisa masuk jam 15.00"

"Tutupnya jam berapa, ya, Bu?"

"Kita jam 16.00 sudah tutup, Mbak. Kalau restonya masih buka sampai jam 20.00. Untuk museum sendiri bisa buka sampai malam kalau ada reservasi rombongan atau janji sebelumnya"

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Jam smartphoneku masih menunjukkan waktu 14.38. Sembari menunggu, kami memutuskan untuk menikmati es teh manis di angkringan sekitar Jalan Manduro dan mengambil beberapa foto di bawah pohon kersen yang ada di depan Rumah Budaya Kratonan. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Tepat pukul 15.00, kami berdua masuk ke ruang tempat kami membeli tiket tadi. Selain aku dan Nisa, terdapat kurang lebih 12 orang yang juga ada bersama kami di ruangan tersebut. Seorang bapak-bapak usia 40-an menghampiri rombongan kami dan mulai memperkenalkan diri sebagai guide yang akan mendampingi kami dalam tur museum sejarah Rumah Budaya Kratonan. 

Dari penjelasan pertama Bapak Guide, aku mendapatkan informasi bahwa Rumah Budaya Kratonan ini awalnya adalah rumah pribadi milik Moeljadi Djojomartono, Menteri Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Djuanda dan Kabinet Dwikora III. Rumah ini kemudian dibeli oleh politikus Akbar Tandjung bersama Sang Istri, Krisnina Maharani Tandjung dan direvitalisasi pada 2015. Pemerintah Kota Surakarta menetapkan tempat ini menjadi ruang terbuka publik pada 11 Maret 2016 yang kemudian diresmikan menjadi destinasi wisata pada tahun 2018. 

Secara keseluruhan, Rumah Budaya Kratonan memiliki luas 1700 m2 dan terdiri dari 6 ruangan. Jumlah pengunjung yang dapat memasuki museum dibatasi sebanyak 10-15 orang per jamnya dan wajib didampingi oleh pemandu. Ruang pertama yang kami masuki adalah ruang pendopo. Di ruangan ini kami disuguhkan dengan instalasi kronologi sejarah dunia dan sejarah nasional yang ditampilkan runut berdasarkan timeline-nya dan dicetak dalam banner setinggi 2 meter yang mengelilingi ruangan. Selain penjelasan dari pemandu, setiap ruangan dilengkapi dengan pengeras suara yang juga menceritakan storyline sejarah yang ditampilkan. Jadi di sini pemandu bertugas untuk melengkapi penjelasan yang telah disampaikan di pengeras suara serta menanggapi pertanyaan pengunjung. Di ruangan ini pengunjung diberikan waktu selama kurang lebih 10 menit untuk membaca, berfoto, maupun sekadar mengitari ruangan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Puas mengitari ruangan pertama, rombongan kami dipersilahkan memasuki ruangan kedua, yaitu ruang pringgitan dan ndalem. Di ruangan ini terdapat display sejarah Kraton Surakarta yang ditampilkan dalam lemari-lemari antik. Di lemari tersebut, disediakan View Master Classic Viewers atau mainan kamera jadul berwarna merah yang dilengkapi dengan kaset kertas. Aku meminta izin kepada guide untuk mengoperasikan kamera tersebut. Ketika kudekatkan mataku ke lubang khusus mata di kamera tersebut, aku melihat rangkaian slide kisah sejarah Surakarta yang dikemas dalam kaset atau reels kamera tersebut. Di samping kamera terdapat tuas yang berfungsi untuk memutar kaset dan memindah slide yang ada di dalamnya. Ada kurang lebih 8 slide dengan kisah yang runut dalam kamera tersebut. Aku mengapresiasi kreativitas pengelola museum karena berhasil membawa pengunjung kembali ke kenangan masa kecilnya saat memainkan mainan kamera merah ini, tapi dengan tetap memperhatikan substansi sejarah yang ingin disampaikan. Memang, interpretasi menjadi bagian krusial dari pengelolaan dan penyajian karya di museum.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Memasuki ruangan ketiga, rombongan kami dibagi menjadi dua kelompok. Bapak Guide menyampaikan bahwa kapasitas maksimum ruangan ketiga hanya 7 orang. Hal ini disebabkan karena ruangan ini hanya berukuran 2 x 9 meter. Ruangan ketiga adalah Ruang Senthong atau ruang cermin yang akan membawa pengunjung menjelajahi ruang gemerlap penuh imajinasi tentang cerita Multatuli sang pendobrak antikolonialisme. Ruangan ini dikelilingi oleh cermin datar hingga ke langit-langit ruangan, disetting dengan pencahayaan minim cenderung gelap serta dihiasi dengan instalasi seni lampu yang meninggalkan kesan artistik. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Ruangan berikutnya yang kami masuki adalah Ruang Merah. Sesuai dengan namanya, dinding ruangan ini didominasi oleh warna merah dengan display sejarah yang dicetak dalam bentuk bujur sangkar dan ditempel di dinding. Ruang ini menceritakan kisah seputar era politik etis dan kesadaran nasional serta peran dari Mangkunegaran VIII dan Pakubuwono XII. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Ruang Terakhir. Dokumentasi Pribadi
Ruang Terakhir. Dokumentasi Pribadi

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Ruangan terakhir yang kami masuki adalah Ruang Gadri atau Pekiwon Mburi yang merupakan satu ruangan, tapi disekat menjadi dua. Section pertama menceritakan sejarah revolusi kemerdekaan tahun 1942-1946, sementara section kedua menampilkan perkembangan Kota Surakarta dari zaman dahulu hingga sekarang yang ditampilkan dalam bentuk video di sebuah smart tv. Di ruangan terakhir section pertama, Bapak Guide menjelaskan sesuatu yang cukup mengejutkan untukku karena informasi itu baru pertama kali kudengar dan kuketahui.

"Surakarta sempat menjadi daerah istimewa bersamaan dengan Yogyakarta. Namun, status daerah istimewa ini hanya bertahan satu tahun dan kemudian dicabut pada tahun 1946" ucap guide tersebut.

Aku tertegun mendengarnya. Jadi status daerah istimewa sebetulnya tidak hanya dimiliki oleh Yogyakarta saja? Impressive sekali. Saat itu aku ingin bertanya lebih lanjut pada Bapak Guide terkait penetapan daerah istimewa ini, tapi beliau masih sibuk menjelaskan perkembangan Surakarta di era modern. Aku menunggu hingga beliau selesai menjelaskan sekaligus menunggu rombongan meninggalkan ruangan satu per satu.

Saat sekumpulan massa sudah berkurang, menyisakan aku dan Nisa seorang, aku menghampiri Bapak Guide. Aku meminta izin, "Pak, boleh tanya lebih lanjut tentang sejarah Solo yang pernah ditetapkan jadi daerah istimewa?". Beliau mempersilakan.

"Tadi kan njenengan sempat menjelaskan kalau Solo pernah jadi daerah istimewa, ya, Pak? Nah itu kejadiannya di tahun berapa dan kok bisa?" tanyaku dengan tatapan penasaran.

"Jadi begini, Mbak. Ketika dua kerajaan di Solo menerima informasi bahwa Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945, Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mengirimkan telegram kepada Soekarno-Hatta yang berisikan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia serta pernyataan kesiapan mereka menjadi bagian dari NKRI. Ucapan dan pernyataan ini dikirimkan pada 18-19 Agustus 1945, satu hingga dua hari pasca kemerdekaan. Lalu pada 19 Agustus 1945, Presiden mengeluarkan Piagam Penetapan Presiden dan UU No. 1 Tahun 1945 yang menjadi dasar awal keistimewaan daerah Surakarta dan Yogyakarta. Selanjutnya pada 1 September 1945, empat hari sebelum Yogyakarta ditetapkan menjadi daerah istimewa, SISKS Pakubuwana XII dan KGPAA Mangkunagara VIII, secara terpisah mengeluarkan dekret resmi kerajaan yang menyatakan bahwa daerah yang mereka kuasai telah ditetapkan menjadi daerah istimewa. Lima hari kemudian, tepatnya pada 6 September 1945, kedua monarki tersebut mendapat Piagam Penetapan dari Presiden Indonesia. Tapi cuma bertahan selama setahun, Mbak"

"Kenapa begitu, Pak? Kenapa daerah istimewa di Solo cuma setahun, sementara Jogja masih bertahan jadi daerah istimewa sampai sekarang?"

"Dalam setahun itu, Solo sedang menghadapi banyak masalah politik dan masalah internal. Muncul penolakan terkait penetapan daerah istimewa ini oleh masyarakat karena dikhawatirkan kekuasaan seperti ini akan merugikan rakyat dan menguntungkan elit-elit penguasa semata. Saat itu wilayah Kasunanan yang jadi bagian dari daerah istimewa meliputi, Surakarta, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, dan Sragen. Sementara itu, wilayah Mangkunegarannya meliputi, Karanganyar, Wonogiri, dan Kabupaten/Kota Mangkunegaran. Namun, akibat banyaknya penolakan dan tidak adanya kesepakatan antara Kasunanan dan Mangkunegaran dalam kursi pemerintahan, status daerah istimewa Surakarta ini kemudian dibekukan lewat Surat Penetapan Presiden Nomor 16/SD Tahun 1946 yang dirilis pada 15 Juli 1946. Pembekuan itu kemudian dilegalisasi dengan UU Nomor 10 Tahun 1950 yang juga beriringan dengan dicabutnya hak otonomi pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran"

Aku ingin bertanya lebih lanjut terkait konflik internal yang terjadi di Solo dalam kurun waktu setahun tersebut, tapi sayangnya kami kehabisan waktu. Jam smartphone-ku sudah menunjukkan pukul 16.15 yang artinya kami sudah overtime selama 15 menit. Tak ingin memperpanjang waktu Bapak Guide ini dan membuatnya overwork, kami memutuskan untuk menyudahi diskusi ini. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada beliau.

Penasaran dengan masalah daerah istimewa dan konflik internal yang pernah terjadi di Solo, aku memutuskan untuk menghubungi teman kelasku, Akbar, yang pernah menduduki nyamannya bangku kuliah prodi Sejarah di Universitas Diponegoro. 

"Lord, koe paham sejarah Solo sing pernah dadi daerah istimewa, to?" (Lord, kamu paham sejarah Solo yang pernah jadi daerah istimewa, kan?) Aku terbiasa memanggil Akbar dengan sebutan Lord yang artinya Dewa karena kecerdasan yang dimilikinya sudah melebihi manusia pada umumnya.

"Lumayan. Piye piye?" (Lumayan. Gimana gimana?)

"Aku bingung kenapa Solo gak lanjut jadi daerah istimewa padahal Jogja sampai sekarang masih dapat keistimewaan itu?

"Kalau boleh berbicara dari segi figur pemimpin, Yogyakarta punya Hamengkubuwono IX yang totally adalah seorang negarawan, pemimpin, pemikir, dan akademisi, sementara Pakubuwono XII saat itu kalau boleh dikatakan bukan akademisi, bukan figur yang punya pengaruh kuat seperti Hamengkubuwono IX. Bahkan kalau boleh beropini, Pakubuwono juga bukan pemimpin yang baik di kala itu"

"Katanya ada konflik internal juga ya waktu itu?"

"Iya. Kalau kamu cari di internet, kata kuncinya adalah revolusi sosial Surakarta. Di sana nanti kamu akan nemu pergolakan apa aja yang terjadi di Solo setelah kemerdekaan Indonesia yang merembet ke dicabutnya status Daerah Istimewa Surakarta. Singkatnya saat itu muncul dua penolakan kuat, yang satu dari Gerakan Anti-Swapraja yang ingin dihapuskannya Praja Surakarta karena dianggap hanya memfasilitasi dan mengakomodasi kepentingan kalangan atas dan yang satunya dari Barisan Banteng yang menentang adanya daerah istimewa karena khawatir ini akan menghidupkan feodalisme"

Berbekal kata kunci yang diberikan oleh Akbar, aku mencoba mengelaborasi informasi yang kudapat dan memperdalamnya. Dari kata kunci itu, aku mendapati fakta bahwa revolusi sosial di Surakarta terjadi akibat kompleksitas antara kebencian rakyat atas kepemimpinan monarki dan kepentingan politik yang ingin menggoyahkan pemimpin nasional. Revolusi sosial yang terjadi dimaksudkan untuk membebaskan masyarakat dari imperialisme dan kolonialisme serta menghapuskan feodalisme. Revolusi ini tergolong ekstrim karena mencakup terjadinya penyerbuan di Kraton Surakarta, penculikan, penekanan, serta ancaman kepada pihak keraton agar menghapuskan pemerintahan Swapraja dan bersedia menggabungkan diri pada pemerintahan Republik Indonesia. Akibat terdesak, pada 30 April 1946, Paku Buwono XII mengeluarkan pengumuman yang berisi kerelaannya menghilangkan pemerintahan Swapraja Surakarta dan menyerahkan urusan pemerintahan kepada Pemerintah Pusat. Namun, aksi yang sama tidak dilakukan oleh Mangkunegara. Mangkunegara malah merilis kebijakan yang menegaskan bahwa wilayahnya akan menjadi Daerah Istimewa Mangkunegaran yang legalitasnya akan segera ditetapkan dalam Undang-Undang. Penolakan dan kecaman terjadi di sana-sini. Barisan Banteng menculik beberapa pejabat Mangkunegara, di antaranya adalah Patih Sosrodiningrat, Mr. Notonegoro, Mr. Jaksonagoro dan Mr. Suwidji serta KRA. Yudonagoro. Posisi Mangkunegara semakin lemah setelah Wonogiri dan Tawangmangu menyatakan lepas hubungan dengan Mangkunegara dan menuntut pemilihan umum secara demokratis. Pada tanggal 23 Mei 1946 keadaan menjadi semakin gawat setelah 4 kabupaten memutuskan hubungan dengan Mangkunegara. Puncaknya terjadi ketika Sutan Syahrir diculik pada tanggal 27 Juni 1946 yang memunculkan kemarahan Soekarno. Menghadapi situasi yang semakin rumit, Pemerintah Pusat mengambil alih keadaan dengan mengusulkan agar jalannya Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta diambil alih Pemerintah Pusat untuk sementara. Namun, pada akhirnya Pemerintah RI membubarkan Daerah Istimewa Surakarta dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran. 

Secara keseluruhan, aku menilai bahwa kunjunganku dan Nisa secara tiba-tiba ke Rumah Budaya Kratonan ini worth it. Hanya berbekal tekad yang kuat dan Rp10.000,00, kami bisa mendapatkan informasi-informasi baru terkait sejarah Surakarta, Daerah Istimewa Surakarta, revolusi sosial yang pernah terjadi, timeline perjuangan bangsa Indonesia, perjuangan Multatuli, serta perkembangan Surakarta dulu dan sekarang yang seluruhnya disajikan dalam perpaduan teknologi terkini maupun konvensional. Perpaduan penyajian informasi ini tentu saja menjadi strategi yang tepat untuk memastikan pengunjung dari rentang usia berapapun dapat menikmati display Rumah Budaya Kratonan sehingga pangsa pasarnya menjadi semakin luas. Selain museum, tempat ini juga dilengkapi dengan perpustakaan gratis, ruang terbuka hijau, dan resto yang membuat pengunjung semakin betah menghabiskan waktu luang mereka di sini. 

Aku senang mengunjungi tempat-tempat baru tanpa mencari tahu secara rinci atraksi apa yang ditawarkan oleh destinasi tersebut. Aku akan datang tanpa berekspektasi apa-apa dan aku menikmati perasaan terkejut, kagum, dan rasa senang dalam setiap langkahku mengeksplorasi tempat itu. Kalaupun tempat itu pada akhirnya mengecewakan, aku tidak akan terlalu kecewa karena memang sedari awal aku tidak menaruh ekspektasi apapun. Singkatnya, aku akan datang bagaikan gelas kosong yang siap diisi oleh pengalaman apapun yang akan kudapat nantinya. Karena aku selalu berprinsip, setahu apapun aku tentang sesuatu, akan selalu ada celah, hal-hal yang belum pernah kuketahui dalam hidupku dan aku menikmati setiap detik yang berlalu saat ketidaktahuanku itu berubah menjadi rasa penasaran untuk mengulik informasi-informasi baru secara mendalam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun