Mohon tunggu...
Nafi Ibdiyana
Nafi Ibdiyana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pariwisata

Seorang mahasiswa jurusan pariwisata, suka baca, ngerjain soal matematika, dan nulis daily journal. Tertarik dengan dunia kepenulisan dan lagi belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Memahami Sejarah Surakarta di Rumah Budaya Kratonan Solo

25 Juni 2023   23:52 Diperbarui: 26 Juni 2023   20:28 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau boleh berbicara dari segi figur pemimpin, Yogyakarta punya Hamengkubuwono IX yang totally adalah seorang negarawan, pemimpin, pemikir, dan akademisi, sementara Pakubuwono XII saat itu kalau boleh dikatakan bukan akademisi, bukan figur yang punya pengaruh kuat seperti Hamengkubuwono IX. Bahkan kalau boleh beropini, Pakubuwono juga bukan pemimpin yang baik di kala itu"

"Katanya ada konflik internal juga ya waktu itu?"

"Iya. Kalau kamu cari di internet, kata kuncinya adalah revolusi sosial Surakarta. Di sana nanti kamu akan nemu pergolakan apa aja yang terjadi di Solo setelah kemerdekaan Indonesia yang merembet ke dicabutnya status Daerah Istimewa Surakarta. Singkatnya saat itu muncul dua penolakan kuat, yang satu dari Gerakan Anti-Swapraja yang ingin dihapuskannya Praja Surakarta karena dianggap hanya memfasilitasi dan mengakomodasi kepentingan kalangan atas dan yang satunya dari Barisan Banteng yang menentang adanya daerah istimewa karena khawatir ini akan menghidupkan feodalisme"

Berbekal kata kunci yang diberikan oleh Akbar, aku mencoba mengelaborasi informasi yang kudapat dan memperdalamnya. Dari kata kunci itu, aku mendapati fakta bahwa revolusi sosial di Surakarta terjadi akibat kompleksitas antara kebencian rakyat atas kepemimpinan monarki dan kepentingan politik yang ingin menggoyahkan pemimpin nasional. Revolusi sosial yang terjadi dimaksudkan untuk membebaskan masyarakat dari imperialisme dan kolonialisme serta menghapuskan feodalisme. Revolusi ini tergolong ekstrim karena mencakup terjadinya penyerbuan di Kraton Surakarta, penculikan, penekanan, serta ancaman kepada pihak keraton agar menghapuskan pemerintahan Swapraja dan bersedia menggabungkan diri pada pemerintahan Republik Indonesia. Akibat terdesak, pada 30 April 1946, Paku Buwono XII mengeluarkan pengumuman yang berisi kerelaannya menghilangkan pemerintahan Swapraja Surakarta dan menyerahkan urusan pemerintahan kepada Pemerintah Pusat. Namun, aksi yang sama tidak dilakukan oleh Mangkunegara. Mangkunegara malah merilis kebijakan yang menegaskan bahwa wilayahnya akan menjadi Daerah Istimewa Mangkunegaran yang legalitasnya akan segera ditetapkan dalam Undang-Undang. Penolakan dan kecaman terjadi di sana-sini. Barisan Banteng menculik beberapa pejabat Mangkunegara, di antaranya adalah Patih Sosrodiningrat, Mr. Notonegoro, Mr. Jaksonagoro dan Mr. Suwidji serta KRA. Yudonagoro. Posisi Mangkunegara semakin lemah setelah Wonogiri dan Tawangmangu menyatakan lepas hubungan dengan Mangkunegara dan menuntut pemilihan umum secara demokratis. Pada tanggal 23 Mei 1946 keadaan menjadi semakin gawat setelah 4 kabupaten memutuskan hubungan dengan Mangkunegara. Puncaknya terjadi ketika Sutan Syahrir diculik pada tanggal 27 Juni 1946 yang memunculkan kemarahan Soekarno. Menghadapi situasi yang semakin rumit, Pemerintah Pusat mengambil alih keadaan dengan mengusulkan agar jalannya Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta diambil alih Pemerintah Pusat untuk sementara. Namun, pada akhirnya Pemerintah RI membubarkan Daerah Istimewa Surakarta dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran. 

Secara keseluruhan, aku menilai bahwa kunjunganku dan Nisa secara tiba-tiba ke Rumah Budaya Kratonan ini worth it. Hanya berbekal tekad yang kuat dan Rp10.000,00, kami bisa mendapatkan informasi-informasi baru terkait sejarah Surakarta, Daerah Istimewa Surakarta, revolusi sosial yang pernah terjadi, timeline perjuangan bangsa Indonesia, perjuangan Multatuli, serta perkembangan Surakarta dulu dan sekarang yang seluruhnya disajikan dalam perpaduan teknologi terkini maupun konvensional. Perpaduan penyajian informasi ini tentu saja menjadi strategi yang tepat untuk memastikan pengunjung dari rentang usia berapapun dapat menikmati display Rumah Budaya Kratonan sehingga pangsa pasarnya menjadi semakin luas. Selain museum, tempat ini juga dilengkapi dengan perpustakaan gratis, ruang terbuka hijau, dan resto yang membuat pengunjung semakin betah menghabiskan waktu luang mereka di sini. 

Aku senang mengunjungi tempat-tempat baru tanpa mencari tahu secara rinci atraksi apa yang ditawarkan oleh destinasi tersebut. Aku akan datang tanpa berekspektasi apa-apa dan aku menikmati perasaan terkejut, kagum, dan rasa senang dalam setiap langkahku mengeksplorasi tempat itu. Kalaupun tempat itu pada akhirnya mengecewakan, aku tidak akan terlalu kecewa karena memang sedari awal aku tidak menaruh ekspektasi apapun. Singkatnya, aku akan datang bagaikan gelas kosong yang siap diisi oleh pengalaman apapun yang akan kudapat nantinya. Karena aku selalu berprinsip, setahu apapun aku tentang sesuatu, akan selalu ada celah, hal-hal yang belum pernah kuketahui dalam hidupku dan aku menikmati setiap detik yang berlalu saat ketidaktahuanku itu berubah menjadi rasa penasaran untuk mengulik informasi-informasi baru secara mendalam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun