Mohon tunggu...
Muhammad Nafi
Muhammad Nafi Mohon Tunggu... Administrasi - Biodata Penulis

Muhammad Nafi, Mahasiswa program doktoral (S3) jurusan Ilmu Syariah di UIN Antasari.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Re-Thinking Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat dan Kaitannya Dengan Upaya Pemberdayaan Ekonomi

24 April 2022   14:15 Diperbarui: 24 April 2022   14:16 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Muhammad Nafi
Penerima Beasiswa Riset Baznas 2019

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang kewajibannya tidak lagi diperdebatkan bagi muslim yang telah memenuhi syarat. Zakat sendiri secara istilah diartikan sebagai tumbuh berkembang, bertambah dan makna sejenisnya. (al-Qardhawi 2011, h. 742-743) (Sabiq 1978, h. 5) (az-Zuhaily 2008, h. 82) Secara istilah diartikan sebagai sebuah tindakan mengeluarkan harta dari harta yang telah mencukupi syarat yang diserahkan kepada orang-orang tertentu yang disebut mustahik. (az-Zuhaily 2008, h. 83).

Zakat merupakan sumber dana yang potensial, namun sumber dana potensial tersebut tidak akan dapat tercapai apabila pengelolaannya hanya diserahkan kepada muzakki saja. Menurut Masdar F. Mas'udi (Mas'udi 1991, h. 48) zakat sebagai kewajiban yang memiliki dampak sosial ekonomi yang luas harus dikelola dan di awasi oleh pemerintah agar pelaksanaannya mencapai sasaran yang dikehendaki syariat.

Pada masyarakat muslim Banjar, menurut penelitian yang dilakukan oleh Budi Rahmat Hakim (Hakim 2017) menunjukkan bahwa penunaian zakat pada masyarakat Banjar sementara ini baru bersifat pemenuhan kewajiban ibadah atau doktrin agama dibandingkan daripada menghasilkan kesejahteraan bagi mustahik. Selain itu bahwa zakat memiliki dimensi ibadah mahdah dan sosial tidak dapat tercapai dengan baik tanpa campur tangan pemerintah. Namun di masyarakat terjadi perbedaan dan cara pandang yang berbeda dalam menyikapi tentang campur tangan pemerintah tersebut. Kontradiktifnya adalah karena masyarakat menganggap bahwa zakat adalah urusan privat ibadah kepada Allah, sehingga harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Islam. Sedangkan negara -- menurut mereka -- hanya mengatur dengan regulasi sentralistik (lihat Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat) namun dalam implementasinya berpotensi bahwa zakat yang mereka tunaikan tidak tepat sasaran. Pendapat lain adalah bahwa negara melalui Baznas wilayah setempat (termasuk UPZ-nya) tidak memiliki data atau setidaknya tidak mengenal mustahik yang ada di wilayah muzakki. Pandangan selanjutnya adalah bahwa sebagian masyarakat tidak mematuhi regulasi yang telah dibentuk oleh negara, karena ada anggapan bahwa negara Indonesia bukan negara Islam, sehingga tidak perlu ditaati semua regulasi yang dibuatnya. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak memiliki sanksi perdata maupun pidana. Sebagiannya lagi memiliki anggapan bahwa zakat sudah digantikan dengan pajak yang telah dibayarkan setiap tahunnya kepada negara. Ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa negara menentukan objek zakat yang tidak sesuai dengan hukum Islam klasik, seperti zakat profesi, zakat saham, zakat perusahaan dan lain-lain yang dianggap sebagai pembaruan yang tidak tepat (bid'ah). (Hafidhudin 2001) Ketidakpercayaan terhadap pengelola zakat yang dibentuk pemerintah juga menjadi salah satu alasan kurangnya peran masyarakat dalam menyalurkan zakatnya ke lembaga zakat resmi yang ditunjuk oleh pemerintah.

Anggapan-anggapan yang beredar di masyarakat tersebut setidaknya memiliki efek yang kurang baik terhadap tujuan dan pilosofi zakat itu sendiri. Pengentasan kemiskinan, menjadikan mustahik menjadi muzakki tidak lagi menjadi tujuan, yang terpenting bagi mereka adalah sah secara hukum Islam (fikih). Sedangkan tujuan dan pilosofi zakat itu mereka lupakan.

Kita ingat bahwa sejak akhir tahun 2020, dunia dilanda pandemic COVID-19, yang membuat negara-negara di dunia kelimpungan dalam menghadapinya. Efek paling tragisnya dalam sebuah negara tersebut -- setidaknya setelah kematian -- adalah kemerosotan ekonomi di negara terdampak, sehingga menyebabkan banyak masyarakat kehilangan pekerjaan, menurunnya pendapatan mereka secara drastis. Hal ini mau tidak mau harus ditangani dengan baik oleh negara. Indonesia apabila tidak diakui sebagai negara Islam atau setidaknya dr al-Islm, setidaknya diakui sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Dalam konstitusi, Indonesia menjamin kebebasan penduduknya untuk menjalankan agamanya. Hal ini tidak dapat dipungkiri dan dibantah bukan? Meskipun diberikan kebebasan, namun negara harus tetap campur tangan dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat beragama. Apabila tidak, maka akan terjadi kekacauan dalam negara tersebut. Mari kita flashback sejenak, manakala di Ambon pernah terjadi hukum rajam yang dilakukan oleh umat muslim di sana. Apabila hal tersebut dilakukan maka akan negara dianggap tidak bisa menjaga ketertiban dan keamanan di negaranya. Selanjutnya mari kita hubungkan dengan pengelolaan zakat di Indonesia. Potensi zakat di Indonesia ini sangat besar, yang apabila dikelola dengan benar dan baik potensi tersebut akan terbuang sia-sia dan kurang berdaya guna. Mengelola zakat dengan professional hanya dapat dilakukan dengan membentuk lembaga zakat resmi yang dibentuk oleh negara. Dengan demikian lembaga tersebut memiliki tanggung jawab hukum juga moral kepada negara dan masyarakat. Mengurangi penyaluran zakat yang bersifat kuratif konsumtif menuju penyaluran zakat yang bersifat produktif untuk menjadikan mustahik menjadi muzakki dalam rentang waktu ke depan.

Dalam surah at-Taubah ayat 103, disebutkan:

  . . .

Terjemahnya: Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar, Maha Mengetahui.

Makna 'khudz" adalah ambillah olehmu wahai Nabi Muhammad. Dalam konteks ini dalam ushul fikih disebutkan kaidah al-ashlu f al-amr li al-wujb (asal dari ketentuan fiil 'amr (perintah) dalam nash untuk menunjukkan bahwa perintah tersebut wajib). Kalau zaman dahulu, Nabi yang diperintahkan untuk mengambil zakat dari masyarakat yang telah memenuhi syarat untuk berzakat, di era setelah Nabi Muhammad saw., wafat dilanjutkan oleh pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq, yang begitu kerasnya dalam pengelolaan zakat tersebut. Bahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa beliau mengatakan akan memerangi orang-orang yang pada zaman Nabi mengeluarkan zakat namun pada zamannya tidak berkenan mengeluarkan zakat.  Kata beliau (Abu Bakar as-Shidiq): Akan kuperangi orang-orang yang membedakan antara kewajiban zakat dan sholat. (al-Albani 2003) Hal ini menjadi bukti bahwa negara berhak untuk ikut mengatur dalam pengelolaan zakat. Meskipun ada yang menyanggah bahwa negara Indonesia bukan negara Islam, sehingga tidak berlaku hukum demikian. Namun bagi saya dan pembaca yang sepakat dengan saya, bahwa Indonesia meskipun bukan negara Islam, juga bukan negara sekuler. Dalam kenyataannya Indonesia memberikan kebebasan penduduknya dalam menjalankan ajaran agamanya, tentu dengan batas-batas yang tidak melanggar ketentuan negara dan agama lainnya. Bahkan di Bugyah al-Musytarsidin (al-Hadrami 2009) disebutkan bahwa Indonesia dikategorikan sebagai dr al-Islm. Oleh itu setidaknya persoalan yang mempertanyakan bahwa apakah pemerintah Indonesia berhak menjadi amil zakat, harusnya dijawab dengan tegas ya, Indonesia berhak untuk mengelola zakat di Indonesia. 

Dalam teori tujuan negara disebutkan bahwa tujuan negara adalah 1) memelihara ketertiban, 2) memajukan kesejahteraan, 3) mempertinggi moralitas. (Lipman 2012). Dengan demikian salah satu tujuan negara Indonesia dalam bidang ekonomi adalah memajukan kesejahteraan. Dengan segala intrumen yang ada termasuk zakat di dalamnya. Dalam teori welfare state, yang juga dianut oleh Indonesia, teori ini menyatakan bahwa negara bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum, sedangkan negara adalah alat yang dibentuk oleh rakyat untuk mencapai tujuan bersama yakni kemakmuran dan keadilan sosial. (Raharjo 2008) (Friedman 1986). Dalam kajian Islam, teori negara kesejahteraan ini digagas oleh Fazlurrahman dan Muhammad Asad (Amiruddin 2000), yang menyebutkan bahwa tujuan negara Islam adalah mempertahankan keselamatan dan integritas negara, memelihara terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta membangun negara tersebut segingga setiap warga negaranya manyadari kemampuannya dan bersedia menyumbang demi kesejahteraan seluruh warga negara. Hukum dibuat oleh negara untuk ketertiban, keadilan dan kejeahteraan sosial, sehingga benarlah teori yang dicetuskan oleh Roscoe Pound dengan law is a tool of social engineering. (Pound 1982).

Selanjutnya menjawab bahwa zakat adalah urusan privat ibadah yang tidak boleh di atur oleh negara. Setidaknya apabila menyalin pendapat Abu Bakar as-Shidiq yang keras dan akan memerangi orang-orang yang membedakan antara kewajiban zakat dan sholat. Penulis teringat bahwa konsep ta'zir yang dilakukan oleh negara/sulthon/khalifah terhadap masyarakatnya yang meninggalkan sholat. Bukankah yang berhak untuk mentakzir/menghukum agar jera, adalah pemerintah yang sah pada saat itu? Sekarang mari kita ambil bahwa zakat adalah kewajiban mahdah kepada Allah seumpama zakat juga, maka bukankah negara berhal untuk memberikan takzirnya. Bahkan dalam satu kasus dalam kitab fikih tersebut bahwa apabila telah di takzir sebanyak 3 (tiga) kali dan seseorang tersebut menyatakan bahwa sholat tersebut tidak wajib, maka negara berhak untuk memancungnya/memenggal leher dengan pedang. Setidaknya fikih/hukum Islam yang kita fahami demikian. Nah, bagaimana selanjutnya dengan zakat? Bukankah Abu Bakar ash-Shidiq telah memberikan contoh juga tentang bagaimana menghadapi orang-orang yang enggan membayar zakat dengan ancaman (regulasi/hukum) yang dibuatnya.

Persoalan selanjutnya adalah lembaga resmi pemerintah yang dibentuk negara tersebut dianggap tidak mengetahui data mustahik atau tidak professional dalam pengelolaan zakat. Hal tersebut telah dijawab dengan kinerja lembaga amil zakat resmi yang saat ini dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Apabila muzakki menemukan bahwa ada mustahik zakat di wilayahnya sedangkan muzakki tersebut harus berzakat kepada lembaga amil zakat resmi (Baznas atau LAZ), maka sebaiknya muzakki tersebut memberikan informasi kepada lembaga amil zakat tersebut agar nantinya dapat dicatat dan didaftarkan sebagai mustahik yang akan diberikan hak-haknya. Pembentukan UPZ (Unit Pengumpul Zakat, selanjutnya akan disebut UPZ) di daerah-daerah terpencil memberikan kemudahan bagi muzakki untuk menyalurkan zakatnya kepada UPZ tersebut. Ada kebiasaan dan adat yang berlaku di masyarakat tentang zakat kepada tuan guru, dengan konsep bahillah (istilah fikih yang berarti menipu/trik untuk mengakali hukum). Ini banyak terjadi tidak hanya di masyarakat Banjar, (Abidin 2012) tetapi juga di masyarakat daerah lain seperti Sumatera dan Jawa. Kebiasaan ini pula yang menyebabkan potensi zakat secara luas tidak terpenuhi selain penyalurannya yang bersifat kuratif. Menyerahkan zakat kepada "amil-amil" masjid atau langar atau musholla, yang setidaknya secara hukum fikih tidak sah disebut amil karena tidak ditunjuk oleh negara. Sedangkan negara direpresentasikan dengan pemerintah, kemudian pemerintah menunjuk Baznas/LAZ, yang kemudian menunjuk UPZ-UPZ di daerah. Kajian fikih kembali meneguhkan peran negara dalam pengelolaan zakat. Apabila terdapat kekurangan dapat dilakukan kritik, tetapi bukan dengan menolaknya. Ada kaidah fikih yang menyatakan:

Dalam terjemah bebasnya begini, bahwa apabila ada sesuatu hal yang inginkan dan didapati ketidaksempurnaan maka jangan tinggalkan hal tersebut. Dengan demikian apabila ada kekurangan di dalam regulasi pemerintah tentang pengelolaan zakat (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011) dan regulasi-regulasi di bawahnya hendaknya jangan menolaknya semua dan tidak patuh terhadap regulasi yang ada. Saat ini telah dilakukan Forum Group Diskusi oleh FOZ (Forum Organisasi Zakat) tentang naskah akademis untuk memperbarui UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tersebut. Mestinya momen-momen ini dapat dimaksimalkan oleh para pengkritik regulasi zakat untuk ikut menyumbangkan fikirannya untuk menjadikan zakat sebagai salah satu instrument pengentasan kemiskinan.

Apabila dianggap ada pembaruan yang tidak sesuai dengan hukum Islam, maka ada kesempatan untuk berdebat dan berargumen di FGD tersebut. Hal-hal yang mungkin dapat disadari bahwa pengelolaan zakat yang baik dapat membawa dampak positif bagi negara. Sejarah membuktikan bahwa dengan pengelolaan zakat yang baik pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dalam beberapa bulan saja, masyarakat yang asalnya mustahik menjadi muzakki. Tetapi kalau pengelolaan zakat dikelola secara tradisional dan tidak professional maka hanya akan membuahkan jiwa-jiwa konsumtif dan menadahkan tangan saja sepanjang masa.

Merubahan mindset masyarakat dari meminta atau menerima menjadi pemberi atau penderma memiliki tantangan yang sangat berat. Setidaknya pemberian bantuan langsung tunai (BLT), program keluarga harapan (PKH) yang diberikan uang/materi untuk konsumtif secara tidak langsung membentuk karekter menadahkan tangan. Meskipun tujuannya baik namun dampak yang dihasilkan oleh program-program tersebut tidak mendidik. Sebagaimana memberikan zakat secara konsumtif kepada mustahik adalah salah satu tindakan yang juga memperparak karekter mustahik yang ada.

Menyalurkan zakat berupa zakat produktif menurut saya adalah hal yang terbaik untuk membentuk masyarakat Indonesia yang bermental berkembang dan memberi. Tantangannya adalah sifat yang sudah mendarahdaging mustahik yang bersifat kuratif konsumtif akan berupaya untuk menjadi zakat produktif yang disalurkan oleh lembaga zakat negara ini menjadi uang. Misalkan saja, diberikan modal berupa gerobak dagang, dan barang-barang dagangan, bibit ternak, sawah, ladang, dan sejenisnya, cenderung akan dijual oleh mustahik. Hal ini yang harus diantisipasi oleh negara dalam penyaluran zakat kepada mustahik. Salah satu caranya adalah mengikatnya secara hukum berupa akad atau kontrak, pemberian reward and punishment bagi mustahik. Tentu cara ini pun bukan berarti cara terbaik di setiap tempat dan merupakan solusi, namun setidaknya bisa dilakukan untuk menjamin kelangsungan zakat produktif itu sendiri.

Di era disrupsi ini zakat memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan mustahik. Dengan meningkatnya kesejahteraan mustahik tentu akan membuat negara menjadi Makmur baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Penulis ilustrasikan bahwa pemberian zakat produktif kepada mustahik di wilayah pedesaan, sebut saya desa Penulis, Desa Babat Raya, dalam data ada 10 mustahik. Dana yang akan disalurkan oleh Baznas adalah Rp100.000.000,00 (serratus juta rupiah), oleh karena dana yang terbatas tersebut, maka dipilih 2 (dua) orang mustahik yang memiliki kemampuan dan skill dalam mengolah lahan sawit. Apakah boleh hanya menyalurkan zakat tersebut kepada 2 (dua) orang tersebut sedangkan 8 (delapan) lainnya tidak mandapatkan bagian. Dalam pendapat fikih, boleh menyalurkan kepada sebagian mustahik. Nah untuk menghindari terjadinya sengketa maka pemilihan tersebut dilakukan oleh Baznas wilayah setempat. Dengan uang tersebut, Baznas memberilkan 1 (satu) hektar tanah kosong yang siap dengan bibit sawitnya sekitar Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta), sisanya Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah) digunakan untuk ongkos menanam dan pupuk dan akan diberikan secara bertahap sampai lahan sawit tersebut menghasilkan/produksi. Sertifikat yang didapatkan dipegang oleh Baznas dan atas nama zakat produktif. Dengan demikian dapat dihindari penjualan oleh 2 (dua) orang mustahik tersebut. Pemerintah desa juga harus dilibatkan dalam upaya menghindari penjualan atas tanah zakat produktif tersebut. Kenapa harus demikian, tidak diberikan uangnya saja, karena apabila diberikan uangnya, maka mustahik akan berfikir konsumtif tidak produktif. Kedua mustahik tersebut akan terasah skill dan kemampuannya untuk mengelola lahan sawit yang diharapkan nantinya skill dan keahliannya tersebut dapat diterapkan dan diajarkan kepada 8 (delapan) mustahik lainnya yang akan mendapatkan lahan juga.

Dalam akhir tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa sampai saat ini potensi zakat untuk mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan rakyat belum optimal dapat diwujudkan. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya adalah legal awareness, 'urf, persepsi yang tidak benar terhadap lembaga zakat, doktrin agama tentang pengelolaan zakat, dan penolakan terhadap pembaruan hukum Islam. Negara sebagai pengelola zakat melalui Baznas dan lembaga amil zakat berhak secara hukum, baik menurut hukum Islam maupun hukum negara untuk mengelola zakat, termasuk mengambil zakat dari muzakki dan mengelolanya secara professional untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Hal ini didukung oleh pendapat dalam Bughyatu al-Musytarsyidin bahwa apabila negara membuat sebuah aturan hukum misalnya melarang merokok di wilayah umum/pasar misalnya, maka seseoarang yang melanggarnya berdosa. Oleh karena itu, berdasarkan surah al-Taubah ayat 103, hadis dari Abu Bakr ash-Shidiq, dan pendapat fikih, maka dapat disimpulkan pula bahwa mentaati regulasi zakat yang telah dibuat oleh negara maka hukumnya wajib dan negara berhak memberikan sanksi bagi pelanggarnya. Dengan demikian bahwa pengelolaan zakat yang professional diharapkan dapat memberdayakan ekonomi di era disrupsi ini.

Bibliography

Abidin, M. Zainal. "Tradisi Bahillah Pada Masyarakat Banjar Pahuluan." Al-Banjari 11, no. 1 (2012): 11.

al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Ringkasan Sohih Muslim. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003.

al-Hadrami, Sayiid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar Ba Alami. Bughyatu al-Musytarsyidin fi Talkhis Fatawa Ba'dh al-Aimah al-Mutaakhirin. Beirut: Dar al-Kutub al-Islami, 2009.

al-Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011.

Amiruddin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta: UII Press, 2000.

az-Zuhaily, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Translated by Agus Effendi dan Burhanuddin fanani. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008.

Friedman, Lawrence M. Legal Culture and The Welfare State. New York: Walter de Gruyter, 1986.

Hafidhudin, Didin. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2001.

Hakim, Budi Rahmat. Zakat Dalam Perspektif Masyakarat Banjar: Rekonstruksi Paradigma Zakat Berbasis Maslahah (Tinjauan Maqasid Syariah). Makasar: UIN Alauddin Makassar, 2017.

Lipman, Jacobsen dan Lipman dalam I Dewa Gede Atmadja. Ilmu Negara. Malang: Setara Press, 2012.

Mas'udi, Masdar F. Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

Pound, Roscoe. Pengantar Filsafat Hukum. Translated by Mohammad Radjab. Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1982.

Raharjo, Satjipto. Negara Hukum yang Membagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta Press, 2008.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Vol. Jilid 3. Bandung: Al-Ma'arif, 1978.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun