Dispensasi Kawin adalah pemberian izin oleh pengadilan kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan pernikahan.Â
Setelah berlakunya UU Nomor 16 tahun 2019 yang merupakan perubahan pertama dari UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur perubahan batas umur minimal seseorang untuk bisa melangsungkan pernikahan.
Sebelumnya 16 tahun untuk perempuan 19 tahun untuk laki-laki menjadi 19 tahun untuk kedua belah pihak. Perubahan batas usia minimal perkawinan ini berimbas kepada masyarakat yang akan menikahkan anaknya.
Pada Februari 2020 ini, Pengadilan Agama dimana saya bekerja, dari 28 perkara permohonan yang diajukan didominasi oleh perkara Dispensasi Kawin yaitu 17 perkara atau sekitar 60,7%. Sungguh efek yang terasa akibat regulasi baru yang diterapkan oleh Pemerintah ini.
Kesadaran hukum masyarakat dengan mengajukan permohonan dispensasi nikah ini patut diacungi jempol, karena bisa saja masyarakat tersebut tidak perlu mengajukan permohonan dispensasi nikah karena ada kesan persidangan yang berbelit-belit dan lama, sehingga dengan alasan tanggal pernikahan sudah ditentukan.
Bisa saja mereka menikahkan anak mereka secara sirri (di bawah tangan), dengan alibi bisa diajukan pengesahan nikah setelahnya. Sehingga dalam hemat saya, masyarakat yang saat ini mau dengan sadar hukum datang dan mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan perlu diapresiasi.
Kesadaran hukum masyarakat tersebut, yang semestinya diacungi jempol, diiringi oleh hukum formil yang mesti mereka penuhi. Saya coba bahas tentang bunyi pasal 6 PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.Â
Disebutkan bahwa pihak yang berhak mengajukan permohonan dispensasi kawin adalah (saya simpulkan tanpa bunyi aslinya ya):Â
1) Kedua orang tua, baik yang masih rukun maupun yang sudah bercerai,Â
2) salah satu dari orang tua tersebut namun harus memiliki putusan pengadilan atas kuasa asuh terhadap anak yang dimintakan dispensasi nikah,Â
3) salah satu orang tua, apabila salah satu pasangan telah meninggal dunia,Â
4) wali dari anak, apabila kedua orang tua anak telah meninggal dunia,Â
5) kuasa hukum, apabila orang tua atau waktu berhalangan.
Menjadi persoalan apabila pasal 6 angka (2) yang menyatakan bahwa dalam hal orang tua telah bercerai, permohonan DK tetap diajukan oleh kedua orang tua, atau salah satu orang tua yang memiliki kuasa asuh terhadap anak berdasarkan putusan Pengadilan.Â
Saya menafsirkan begini, bahwa meskipun kedua orang tua sudah bercerai, memiliki keluarga baru, baik hubungannya baik atau tidak baik antara keduanya, tetap ketika mengajukan permohonan DK mereka harus berdua.
Ini masalah baru, ya... kalau mereka dalam keadaan baik komunikasinya, lha kalao mereka tidak rukun, atau keberadaan mereka ada di daerah yang jauh, misalkan saja si mantan suami bertempat tinggal di Aceh dan memiliki keluarga baru di sana.Â
Sedangkan ibu anak mereka mengajukan permohonan DK di Kotabaru, wilayah Kalimantan Selatan. Mungkinkah, harus kedua orang tua anak tersebut yang mengajukan permohonan DK tersebut. Sungguh menyulitkan, apalagi apabila tidak lagi ada komunikasi yang baik antara kedua orang tua anak.
Menjadi masalah baru, apabila anak yang akan dinikahkan adalah perempuan, sehingga harus ada persetujuan ayahnya sebagai wali nikah untuk perkawinan tersebut.Â
Memang dapat dimengerti bahwa tujuan dari Pasal 6 angka 2 tersebut adalah supaya adanya kepastian tentang persetujuan orang tua untuk menikahkan, sehingga wali nikah dapat dipastikan dan komitmen orang tua untuk membantu pembangunan bahtera rumah tangga anak sampai mandiri dapat disampaikan di persidangan.
Ini mesti menjadi pertimbangkan, karena tidak semua orang tua yang bercerai, dalam keadaan perceraian yang baik, dan masih dalam wilayah yang sama dengan pengaju permohonan DK.Â
Mungkinkah ada kebijakan tentang kebolehan pengajuan permohonan DK oleh salah satu orang tua yang mengasuh anak tersebut, meskipun tanpa adanya putusan pengadilan atas pengasuhan tersebut?Â
Karena menurut hemat saya, ketika yang dipermasalahkan adalah wali nikah, maka hal tersebut adalah persoalan lain yang mesti ditentukan dengan perkara yang lain.Â
Selama dua bulan ini, ada beberapa orang yang membatalkan pengajuan permohonan DKnya, karena kesulitan menghadirkan mantan pasangannya.Â
Apakah kesadaran hukum untuk memintakan DK ke Pengadilan, harus diiringi pelanggaran hukum yang lain, karena persyaratan formilnya tidak terpenuhi lalu, memutuskan untuk menikahkan secara sirri anak-anak mereka. MN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H