Dispensasi Kawin dan Problematikanya di Pengadilan AgamaÂ
Pernikahan atau perkawinan adalah salah satu fitrah manusia. Namun dalam perkawinan tersebut dibatasi hak dan kewajiban baik sebagai hamba maupun sebagai warga negara. Ya... kita semua mengerti bahwa negara kita bukan negara yang berdasarkan agama tertentu. Juga kita sadar bahwa negara kita bukan negara tanpa agama. Sehingga negara dan agama dalam satu wadah yakni Indonesia.
Dalam faktanya bahwa negara tetap ada dalam kehidupan beragama warganya. Ya, sebagian contohnya adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2020 tentang Perkawinan, UU Nomor 38 tahun 1998 yang telah diubah dengan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan regulasi-regulasi lain yang menyangkut kehidupan beragama di Indonesia.
Namun, demikian sebagian masyarakat menganggap bahwa selama mereka menjalankan sesuai syarat dan ketentuan agama, maka tidak perlu pengesahan oleh negara. Paradigma ini banyak dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, ketika mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Agama, sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa mereka sudah bercerai secara agama, dan datang ke Pengadilan Agama ini sekedar mendapatkan Akta Cerai.
Demikian juga pada perkara pengesahan nikah, dispensasi kawin, mereka ajukan ketika mereka kesulitan menembus birokrasi yang berlakukan oleh pemerintah. Zona Integritas yang wajib diterapkan di seluruh lini pemerintahan, membuat masyarakat "terpaksa" mengikuti alur birokrasi tersebut. Kebiasaan yang terbentuk di masyarakat adalah membuat jadwal pernikahan terlebih dahulu, sebelum memenuhi syarat-syarat administrative yang ditentukan dan diatur oleh regulasi birokrasi yang ada.
Menjadi sangat disayangkan, ketika mereka terbentur dengan tidak terpenuhinya syarat administrasi seperti syarat bahwa mempelai harus berumur minimal 19 tahun (pada UU Nomor 1 tahun 1974, batas minimal usia perempuan diperbolehkan menikah adalah 16 tahun sedangkan laki-laki adalah 19 tahun. Pada UU Nomor 16 tahun 2019 sebagai Perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan pada pasal I menentukan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila seorang pria dan wanita telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun)).
Akhirnya, mereka mendatangi Pengadilan Agama setempat untuk mengajukan permohonan dispensasi kawin, namun kembali sangat disayangkan bahwa minimal proses pendaftaran sampai perkiraan putusan melebihi jadwal pernikahan yang telah dijadwalkan sebelumnya. Berbagai persoalan muncul, ketika masyarakat tidak mengerti bahwa regulasi negara adalah bagian dari kehidupan beragama. Bukankah taat kepada ulil amri (pemerintah) yang sah adalah perintah dalam agama.
Terobosan Mahkamah Agung dalam pembaruan hukum acara perdata yang berkenaan dengan Dispensasi Kawin ini adalah Mahkamah Agung dengan kewenangannya telah menerbitkan PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Perma ini menjadi Hukum Acara Perdata di Pengadilan terkait dengan Dispensasi Kawin, di dalamnya banyak hal yang harus dipenuhi agar putusan/penetapan hakim tersebut tepat.
Dalam hemat saya, bahwa PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tersebut, ditujukan untuk mengatur bahwa dispensasi kawin yang diberikan kepada anak tersebut telah memenuhi berbagai aspek, yaitu Hak Asasi Manusia (10 hak anak menurut Konvensi Hak anak PBB Tahun 1989, yaitu Hak untuk Bermain, Hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak untuk mendapatkan nama (identitas), hak untuk mendapatkan status kebangsaan, hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk mendapatkan akses kesehatan, hak untuk mendapatkan rekreasi, hak untuk mendapatkan kesamaan, dan hak untuk memiliki peran dalam pembangunan). Perma ini -- menurut saya -- adalah wujud dari upaya Mahkamah Agung untuk melaksanakan nawacita Pemerintah.
Persoalan selanjutnya adalah dalam pasal 12 angka (1 dan 2) PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tersebut, bahwa hakim tunggal yang menangani perkara dispensasi kawin tersebut harus menasihati Pemohon, anak, calon suami/istri dan orang tua/wali calon suami/istri tentang hal-hal yang berkaitan dengan:
1) kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak,
2) keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun,
3) belum siapnya organ reproduksi anak,
4) dampak ekonomi, social dan psikologis bagi anak, dan
5) potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.
Pada angka 3 disebutkan bahwa nasihat yang disampaikan oleh hakim dipertimbangkan dalam penetapan.
Selanjutnya pada angka 4 disebutkan apabila hakim tidak memberikan nasihat sebagaimana maksud dalam ayat 1 dan 2, mengakibatkan penetapan batal demi hukum. Ya, dari beberapa penetapan yang saya pelajari setelah berlakunya PERMA ini, ada yang didalam penetapannya tidak mempertimbangkan nasihat sebagaimana maksud ayat 1 dan ayat 2 tersebut dalam penetapannya. Memang, kecil kemungkinan ada kasasi untuk perkara tersebut, namun sebaiknya penetapan hakim tersebut mengakomodir kententuan Hukum Acara Perdata dalam Permohonan Dispensasi Kawin tersebut.
Persoalan berikutnya, adalah kenapa anak yang dibawah umur tersebut mesti dihadirkan di persidangan untuk dimintai keterangannya. Menurut saya, hal tersebut ditujukan agar Hakim Tunggal pemeriksa perkara tersebut, mendapatkan kejelasan tentang bagaimana sikap anak tersebut terhadap permohonan dispensasi kawin yang diajukan. Apabila anak menyatakan bahwa dia dipaksa dan masih ingin melanjutkan sekolah maka perkara tersebut dapat di NO oleh Pengadilan. (lihat Yurisprudensi Penetapan PA Banjarnegara Nomor 055/Pdt.P/2016/PA.Ba, yang berakhir dengan NO (Niet Ovankelijk Verklaard), karena anak masih ingin bersekolah).
Persoalan berikutnya adalah kenapa calon suami/istri anak yang dimintakan dispensasi kawin harus dihadirkan dalam persidangan. Menurut saya, bahwa kehadirannya adalah untuk menjelaskan bagaimana kesiapan yang bersangkutkan untuk membentuk rumah tangga bersama calon istri/suami yang masih di bawah umur pernikahan. Penjelasaan tentang apakah ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam proses pernikahan tersebut, tentunya juga menjadi hal penting yang mesti digali dalam proses persidangan tersebut.
Pembaruan Hukum Acara Perdata di Pengadilan juga diperlihatkan oleh kententuan bahwa boleh mendengar keterangan anak melalui pemeriksaan komunikasi audio visual jarak jauh di pengadilan setempat atau di tempat lain. Mahkamah Agung telah membuat terobosan hukum acara perdata dengan mendasarkan kepada asas-asas hukum perdata, memudahkan masyarakat pencari keadilan, sehingga terpenuhinya rasa keadilan, kemudahan, persamaan dalam hukum dan juga biaya yang terjangkau.
Ya..., Mahkamah Agung RI telah melaksanakan e-Court di seluruh wilayah Indonesia, payung hukumnya adalah Perma Nomor 3 Tahun 2018 tetang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, yang telah perbarui dengan Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik.
Dengan problematika baik paradigm masyarakat tentang dispensasi kawin dan pembaruan hukum acara perdata yang terjadi ini, menjadikan masyarakat semakin sadar terhadap hukum, sehingga paradigm pemisahan hukum agama dan negara dapat disatukan bahwa patuh terhadap hukum negara adalah perintah agama.MN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H