Mohon tunggu...
Muhammad Nafi
Muhammad Nafi Mohon Tunggu... Administrasi - Biodata Penulis

Muhammad Nafi, Mahasiswa program doktoral (S3) jurusan Ilmu Syariah di UIN Antasari.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dispensasi Kawin dan Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia

24 Februari 2020   08:09 Diperbarui: 24 Februari 2020   08:08 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dispensasi Kawin dan Problematikanya di Pengadilan Agama 

Pernikahan atau perkawinan adalah salah satu fitrah manusia. Namun dalam perkawinan tersebut dibatasi hak dan kewajiban baik sebagai hamba maupun sebagai warga negara. Ya... kita semua mengerti bahwa negara kita bukan negara yang berdasarkan agama tertentu. Juga kita sadar bahwa negara kita bukan negara tanpa agama. Sehingga negara dan agama dalam satu wadah yakni Indonesia.

Dalam faktanya bahwa negara tetap ada dalam kehidupan beragama warganya. Ya, sebagian contohnya adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2020 tentang Perkawinan, UU Nomor 38 tahun 1998 yang telah diubah dengan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan regulasi-regulasi lain yang menyangkut kehidupan beragama di Indonesia.

Namun, demikian sebagian masyarakat menganggap bahwa selama mereka menjalankan sesuai syarat dan ketentuan agama, maka tidak perlu pengesahan oleh negara. Paradigma ini banyak dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, ketika mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Agama, sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa mereka sudah bercerai secara agama, dan datang ke Pengadilan Agama ini sekedar mendapatkan Akta Cerai.

Demikian juga pada perkara pengesahan nikah, dispensasi kawin, mereka ajukan ketika mereka kesulitan menembus birokrasi yang berlakukan oleh pemerintah. Zona Integritas yang wajib diterapkan di seluruh lini pemerintahan, membuat masyarakat "terpaksa" mengikuti alur birokrasi tersebut. Kebiasaan yang terbentuk di masyarakat adalah membuat jadwal pernikahan terlebih dahulu, sebelum memenuhi syarat-syarat administrative yang ditentukan dan diatur oleh regulasi birokrasi yang ada.

Menjadi sangat disayangkan, ketika mereka terbentur dengan tidak terpenuhinya syarat administrasi seperti syarat bahwa mempelai harus berumur minimal 19 tahun (pada UU Nomor 1 tahun 1974, batas minimal usia perempuan diperbolehkan menikah adalah 16 tahun sedangkan laki-laki adalah 19 tahun. Pada UU Nomor 16 tahun 2019 sebagai Perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan pada pasal I menentukan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila seorang pria dan wanita telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun)).

Akhirnya, mereka mendatangi Pengadilan Agama setempat untuk mengajukan permohonan dispensasi kawin, namun kembali sangat disayangkan bahwa minimal proses pendaftaran sampai perkiraan putusan melebihi jadwal pernikahan yang telah dijadwalkan sebelumnya. Berbagai persoalan muncul, ketika masyarakat tidak mengerti bahwa regulasi negara adalah bagian dari kehidupan beragama. Bukankah taat kepada ulil amri (pemerintah) yang sah adalah perintah dalam agama.

Terobosan Mahkamah Agung dalam pembaruan hukum acara perdata yang berkenaan dengan Dispensasi Kawin ini adalah Mahkamah Agung dengan kewenangannya telah menerbitkan PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Perma ini menjadi Hukum Acara Perdata di Pengadilan terkait dengan Dispensasi Kawin, di dalamnya banyak hal yang harus dipenuhi agar putusan/penetapan hakim tersebut tepat.

Dalam hemat saya, bahwa PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tersebut, ditujukan untuk mengatur bahwa dispensasi kawin yang diberikan kepada anak tersebut telah memenuhi berbagai aspek, yaitu Hak Asasi Manusia (10 hak anak menurut Konvensi Hak anak PBB Tahun 1989, yaitu Hak untuk Bermain, Hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak untuk mendapatkan nama (identitas), hak untuk mendapatkan status kebangsaan, hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk mendapatkan akses kesehatan, hak untuk mendapatkan rekreasi, hak untuk mendapatkan kesamaan, dan hak untuk memiliki peran dalam pembangunan). Perma ini -- menurut saya -- adalah wujud dari upaya Mahkamah Agung untuk melaksanakan nawacita Pemerintah.

Persoalan selanjutnya adalah dalam pasal 12 angka (1 dan 2) PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tersebut, bahwa hakim tunggal yang menangani perkara dispensasi kawin tersebut harus menasihati Pemohon, anak, calon suami/istri dan orang tua/wali calon suami/istri tentang hal-hal yang berkaitan dengan:

1) kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun