Kesulitan remaja dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya merupakan sebuah masalah yang sangat serius, bahkan di negara kita sendiri, Indonesia. Menurut penelitian Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey pada tahun 2022, ada sebanyak 34,9% remaja Indonesia yang mengalami kesehatan mental dan ada sebanyak 5,5% yang mengalami gangguan mental. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Emory dan Universitas Rochester, remaja yang buruk dalam memberdakan emosi negatif cenderung memiliki gejala gangguang mental. Oleh karena itu, mengekspresikan perasaan dan pikiran kita sangatlah penting.
Hal ini bisa mulai dibiasakan dari masa pertumbuhan kita. Menurut Dr. Anna Smith, seorang psikolog perkembangan, mengatakan bahwa kualitas interaksi dan keterikatan di masa pertumbuhan membentuk kemampuan dalam regulasi emosi. Dan menurut WHO, di fase remaja lah dimana menjadi tahap penting dalam perkembangan manusia dalam membentuk dasar kesehatan yang baik.Â
Fase remaja menurut WHO (2022) merupakan fase antara masa kanak-kanak dan dewasa dalam rentang usia antara 10 hingga 19 tahun. Pada fase ini juga banyak kasus dimana remaja-remaja mengalami gejala-gejala dan masalah-masalah gangguan mental. Menurut WHO, pada tahun 2021 ada sebanyak 3,6% dan 3,1% remaja berusia dari 10--14 tahun dan ada sebanyak 2,4% dan 2,4% remaja berusia 15--19 tahun dari populasi dunia yang mengalami masalah internalisasi dan eksternalisasi.
Berdasarkan penelitian Tanu Gupta dan Pratibha Gehlawat (2020), masalah dalam mengekspresikan perasaan dan pikiran di fase remaja ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, dari faktor sosial, budaya, dan psikologis.
Faktor Sosial
Tekanan sosial dan pengaruh dari teman sebaya yang dapat menyebabkan rasa malu dan ketakutan akan penilaian negatif dapat menjadi penyebab dari remaja-remaja mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosinya. Bahkan, hubungan disfungsional dalam keluarga seperti komunikasi buruk, kurangnya dukungan emosional atau pengabaian terhadap emosi dapat menjadi penyebabnya juga.
Faktor Budaya
Norma-norma dalam masyarakat, harapan pada jenis kelami, dan keyakinan budaya dapat mempengaruhi remaja dalam mengekspresikan emosinya. Seperti stereotip gender yang menghambat anak laki-laki untuk mengekspresikan kerentanannya dapat menyebabkan kesulitan dalam mengekspresikan emosi, atau norma-norma budaya yang masih tidak menormalisasikan sikap terbuka dalam mengekspresikan emosi.
Faktor Psikologis
Disregulasi emosional yang dapat ditandai oleh kesulitan dalam mengelola dan mengekspresikan emosi dengan tepat, serta kurangnya kesadaran emosional dan keterampilan dalam mengidentifikasi, memahami, dan mengekspresikan emosi dapat membuat sulit bagi remaja untuk mengekspresikan emosi mereka. Selain itu, remaja yang mengalami masalah psikologis seperti kecemasan atau depresi mungkin mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosi mereka.
Ada berbagai cara atau media untuk mengekspresikan emosi atau perasaan dan pikiran, dengan menulis cerita atau puisi, bercerita ke teman dekat, bernyanyi atau mendengarkan lagu, dan lain-lain. Berdasarkan suatu penelitian, remaja mengekspresikan emosi mereka melalui musik untuk berlatih dan memahami emosi, terutama yang bersifat negatif (Dingle, Sharman, & Larwood, 2019). Musik, sebagai bentuk ekspresi manusia yang universal, memiliki definisi yang sudah dikenal, namun memiliki beragam interpretasi dalam hal substansi dan fitur artistik. Pada intinya, musik adalah ekspresi sadar dan terorganisir dari suara dan kesunyian (Tervaniemi, 2023). Menurut Li Chen (2023), musik melibatkan elemen-elemen seperti melodi (seuntai nada yang membentuk frase musik), ritme (organisasi dan durasi nada), harmoni (dua atau lebih nada yang bersuara secara bersamaan), dan warna (karakteristik dan sensasi musik).
Dengan mendengarkan musik, rasanya kita saling berempati dengan musik yang sedang didengarkan (Majid, mahasiswa). Musik memang dapat menenggelamkan kita secara emosional yang melibatkan rangsangan emosional, penyerapan diri terhadap musik, dan mempertahankan keadaan emosional yang sedang terjadi atau mungkin memperkuatnya. Hal tersebut sangat berguna bagi remaja yang umumnya masih berkembang dalam kemampuan untuk mengatur emosi dan sedang mengalami keadaan emosional yang intens selama masa pubertas (Dingle, Sharman, & Larwood, 2019).
Remaja menggunakan musik untuk mengekspresikan emosinya dengan memilih lagu-lagu yang sesuai dengan suasana hati mereka saat ini, memungkinkan mereka untuk tenggelam dalam perasaan dan sensasi yang diciptakan oleh musik (Eliza dan Thalitha, mahasiswi). Mereka mungkin membuat daftar putar khusus emosi atau mendengarkan berulang kali lagu tertentu yang mencerminkan emosi mereka. Beberapa remaja juga memberikan waktu bagi diri mereka untuk merenungkan perasaan negatif sebelum beralih ke musik yang lebih bahagia dan positif (Dingle, Sharman, & Larwood, 2019).
Maka dari itu, musik dapat menjadi media yang kuat bagi remaja untuk mengekspresikan emosi mereka dan memberikan rasa empati serta regulasi emosi. Apakah kamu ingin mencoba mendengarkan musik untuk mengekspresikan emosi atau bahkan kamu sudah mencobanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H