Mohon tunggu...
Nafa Zahra Saphira
Nafa Zahra Saphira Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Penulis amatir yang sedang berusaha keluar dari zona nyaman. Gemar baca buku, terutama novel fiksi dan komik jejepangan. Sedikit banyak tahu tentang Kpop. Belakangan ini senang menulis daily jurnal. Memiliki keyakinan bahwa setiap karya pasti akan memilki pembacanya masing-masing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi dan Sebuah Pertemuan

23 Oktober 2023   16:16 Diperbarui: 23 Oktober 2023   16:19 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika membuka mata, aku seperti berada dalam sebuah permainan realitas virtual. Segalanya terasa asing. Aku menyadari diriku sedang duduk di kursi panjang pada teras rumah kecil sederhana, yang di halamannya tersusun pot-pot tanaman hias beraneka rupa. Tubuhku mengenakan terusan panjang putih tulang bercorak bunga-bunga kecil merah muda. Kurasakan samar embusan lembut angin menyibak helaian rambutku yang entah kenapa menjadi panjang. Langit dengan arakan awan lembayung membuatku berpikir bahwa saat ini adalah sore hari.

Indera penciumanku menangkap aroma sedap dari dalam rumah. Aku ingin melihat ada apa di sana, tapi urung sebab terdengar langkah kaki mondar-mandir diiringi dentingan perabotan makan. Tidak lama, langkah kaki itu mendekat ke arah pintu di sampingku. Kepalaku dengan sendirinya menoleh saat sesosok pria berkacamata berdiri di ambang pintu.

Secara otomatis aku memindai detil sosok tersebut. Kulit kecokelatan, rahang tegas, dan bibir tipis, desain wajah yang sempurna. Ia mengenakan kaus putih polos di bawah celemek kotak-kotak, celananya cokelat gelap dengan saku di kanan kirinya. Kedua tangannya memegang dua piring pasta dengan uap mengepul, menandakan hidangan itu baru saja matang.

Aku tertegun. Siapa dia? Angin kembali berembus membuat rambutku beterbangan. Terdengar pria itu menghela napas kemudian melepas celemek dan menaruh piring-piring ke atas meja di depanku.

"Anginnya kencang, kenapa nggak diikat? Awut-awutan banget tuh, kan," omelnya. Bergabung duduk di kursi, dengan cekatan ia mengikat rambutku dengan seutas karet yang entah didapat dari mana.

"Kan rapih kalo begini," ucapnya tersenyum, tangannya mengelus pelan kepalaku. Mataku mengerjap. Tiba-tiba muncul perasaan rindu membuncah dalam hati. Entah untuk alasan apa, seolah sudah lama sekali aku menunggu kehadiran sosok itu. Saking beratnya, dadaku sesak, mataku berlinang. Aku pun menangis, semakin lama semakin kencang.

Pria berkacamata itu terkejut dan bingung. Tanpa diduga, ia langsung memelukku erat. Mengusap pelan punggungku sambil berbisik menenangkan.

"Aku nggak tau kamu kenapa begini, tapi aku di sini. Kamu bakal baik-baik aja. Nggak papa, ada aku. Nggak papa ...."

Tangisanku semakin kencang. Air mataku membasahi kausnya. Namun perlahan, hatiku ringan. Rindu janggal yang begitu mengganjal tadi pun menghilang. Aku melepas pelukannya. Bahuku masih sesekali naik turun sesenggukan. Ia lalu menatapku dengan lembut sambil tersenyum teduh. Jemarinya tak henti mengelus-elus pipiku.

"Udah lega?"

Aku mengangguk dan balas tersenyum.

"Boleh tau kenapa nangis?" tanyanya.

"Kangen."

Suaraku serak. Rasanya ingin menangis lagi. Ia menunjuk dirinya, memastikan bahwa yang kukangeni adalah dia, aku mengangguk. Mataku kembali berkaca-kaca, tapi kutahan karena kepalaku mulai pusing akibat tangisan hebat tadi. Direngkuhnya tubuhku perlahan. Aku memejam, menghirup aroma tubuhnya membuatku tenang dan aman.

Aku tidak mengerti mengapa aku begitu merindukan pria yang saat ini memelukku, padahal aku saja tidak ingat siapa dia. Yang kuyakini dengan pasti adalah kami telah lama memiliki perasaan yang sama. Perasaan saling mencinta.

Angin berembus pelan. Mataku terbuka. Namun, bukan pemandangan taman penuh pot tanaman hias yang kulihat, melainkan langit-langit lusuh berwarna cokelat. Bukan pria berkacamata yang kupeluk, melainkan guling bersarung Hello Kitty yang sudah buluk. Apa ini? Yang tadi itu mimpi?

Aku beranjak duduk. Tampak lingkaran lebar lembab pada bantal yang kutiduri. Rambut pendekku berantakan. Wajahku lengket. Kurasakan bulu mataku sedikit basah. Aku benar-benar menangis. Kuingat kembali sentuhan pria itu pada pipiku, suaranya, rengkuhannya, bahkan aroma tubuhnya masih jelas tercetak dalam kepala. Apa bisa mimpi terasa sebegitu nyata?

Kupalingkan pandangan ke jam dinding, pukul setengah tujuh pagi. Terseret kembali ke realita, aku ingat harus bersiap ke kampus secepatnya. Ini hari pertama masa penerimaan mahasiswa baru. Aku tidak boleh datang terlambat jika tidak ingin dihukum oleh kakak senior pendamping kelompokku.

Singkat cerita, ospek berjalan lancar. Meski melelahkan, kegiatan tadi benar-benar mengalihkan pikiranku dari mimpi pria berkacamata. Menumpang salah satu teman baru yang membawa motor, aku tiba di rumah kos yang kutinggali dengan selamat. Tertatih-tatih kuseret kaki pegalku menuju kamar. Kulempar asal tas ke sembarang arah lalu kurebahkan tubuh ke ranjang. Bergelung di kasur empuk yang nyaman, tak terasa mataku terpejam dan kesadaranku melayang.

Tidak. Aku harus mengerjakan tugas esai yang harus dikumpulkan besok. Kupaksa mataku terbuka. Namun, bukannya berada dalam kamar kosku yang berantakan, aku terbangun di teras rumah dengan pot-pot tanaman hias di halaman. Aku mendongak, terlihat pria berkacamata memegang buku dengan satu tangan, wajahnya serius membaca. Satu tangan lainnya mengelus kepalaku yang bertumpu di atas kakinya. Aku kembali lagi ke tempat ini.

Menyadari pergerakanku, ia menunduk lalu tersenyum.

"Kebangun, ya?"

Tanganku terjulur ke atas, meraba wajah pria itu, memastikan sosoknya benar-benar nyata. Ia menyambut tanganku dan mengecupnya. Aku sungguh bisa merasakannya, mana mungkin ini mimpi belaka? Sejenak kami hanya saling bertatapan. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku dan mengecup singkat keningku. Aku berdebar, perutku geli. Ketika ia kembali mendekat, kupejamkan mataku. Terasa lembut bibirnya perlahan menyentuh bibirku.

Sentuhan itu semakin samar, sampai terdengar suaranya berbisik.

"Aku mencintaimu, Rima."

Saat kedua mataku terbuka, aku sudah kembali ke kamar kosku yang gelap gulita. Perasaanku tidak karuan. Dadaku masih berdebar-debar. Kusentuh bibirku. Konyol sekali, aku baru saja meyakini pria itu nyata dan saat ini aku merindukannya. Kucoba kembali memejamkan mata, berharap tertidur dan terbangun lagi di teras rumah bersama sosok itu. Nihil. Yang ada aku terbangun pukul enam keesokan harinya tanpa mimpi apa-apa.

Tergopoh-gopoh kukerjakan esai dengan asal. Aku tidak punya waktu lagi. Bersiap seadanya, kupaksa kakiku berlari menuju kampus yang untungnya berjarak tidak terlalu jauh. Sayangnya, aku berakhir berkumpul di bawah tangga bersama dua mahasiswa baru yang bernasib sama. Datang terlambat. Kami diberi tugas hukuman membuat esai dengan paragraf lebih panjang. Kuputar otak sedemikian rupa supaya bisa merangkai kata demi kata.

Tiba-tiba, terdengar percakapan dua orang senior yang menuruni tangga. Tubuhku membatu ketika salah satu suara itu terdengar begitu familier. Tidak salah lagi, suaranya persis milik pria berkacamata dalam mimpi. Aku menegakkan tubuh. Jantungku berdebar kencang. Ketika dua senior itu berjalan melewati bawah tangga, dua orang mahasiswa baru yang bersamaku menyapa. Mereka membalas ramah dan berhenti untuk mengecek pekerjaan kami.

Saat itu aku melihatnya. Salah satu senior yang berbadan tegap dengan kulit kecokelatan, rahang tegas, dan kacamata. Seratus persen persis sama dengan sosok pria yang menciumku semalam. Tanpa kuduga, senior itu menoleh ke arahku. Aku terkesiap.

"Siapa nama kamu?" katanya dengan mata yang masih terkunci padaku. Aku mengatupkan bibir, menahan rasa sesak bercampur rindu yang tiba-tiba hadir.

"Rima," sahutku pelan.

"Rima." Ia mengulang namaku sambil tersenyum simpul. Kepalanya mengangguk-angguk pelan. Kulihat bibirnya kembali menyebut namaku sekali lagi tanpa suara.

Kemudian ia mengajak temannya pergi melanjutkan perjalanannya ke suatu tempat. Terdengar ucapan terima kasih dilontarkan oleh dua mahasiswa baru kepada mereka. Aku diam dan terus memerhatikan senior berkacamata itu. Sebelum menjauh, mendadak sosok itu berbalik, membetulkan kacamatanya, lalu berkata.

"Senang bertemu denganmu lagi, Rima."

- TAMAT -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun