Ketika membuka mata, aku seperti berada dalam sebuah permainan realitas virtual. Segalanya terasa asing. Aku menyadari diriku sedang duduk di kursi panjang pada teras rumah kecil sederhana, yang di halamannya tersusun pot-pot tanaman hias beraneka rupa. Tubuhku mengenakan terusan panjang putih tulang bercorak bunga-bunga kecil merah muda. Kurasakan samar embusan lembut angin menyibak helaian rambutku yang entah kenapa menjadi panjang. Langit dengan arakan awan lembayung membuatku berpikir bahwa saat ini adalah sore hari.
Indera penciumanku menangkap aroma sedap dari dalam rumah. Aku ingin melihat ada apa di sana, tapi urung sebab terdengar langkah kaki mondar-mandir diiringi dentingan perabotan makan. Tidak lama, langkah kaki itu mendekat ke arah pintu di sampingku. Kepalaku dengan sendirinya menoleh saat sesosok pria berkacamata berdiri di ambang pintu.
Secara otomatis aku memindai detil sosok tersebut. Kulit kecokelatan, rahang tegas, dan bibir tipis, desain wajah yang sempurna. Ia mengenakan kaus putih polos di bawah celemek kotak-kotak, celananya cokelat gelap dengan saku di kanan kirinya. Kedua tangannya memegang dua piring pasta dengan uap mengepul, menandakan hidangan itu baru saja matang.
Aku tertegun. Siapa dia? Angin kembali berembus membuat rambutku beterbangan. Terdengar pria itu menghela napas kemudian melepas celemek dan menaruh piring-piring ke atas meja di depanku.
"Anginnya kencang, kenapa nggak diikat? Awut-awutan banget tuh, kan," omelnya. Bergabung duduk di kursi, dengan cekatan ia mengikat rambutku dengan seutas karet yang entah didapat dari mana.
"Kan rapih kalo begini," ucapnya tersenyum, tangannya mengelus pelan kepalaku. Mataku mengerjap. Tiba-tiba muncul perasaan rindu membuncah dalam hati. Entah untuk alasan apa, seolah sudah lama sekali aku menunggu kehadiran sosok itu. Saking beratnya, dadaku sesak, mataku berlinang. Aku pun menangis, semakin lama semakin kencang.
Pria berkacamata itu terkejut dan bingung. Tanpa diduga, ia langsung memelukku erat. Mengusap pelan punggungku sambil berbisik menenangkan.
"Aku nggak tau kamu kenapa begini, tapi aku di sini. Kamu bakal baik-baik aja. Nggak papa, ada aku. Nggak papa ...."
Tangisanku semakin kencang. Air mataku membasahi kausnya. Namun perlahan, hatiku ringan. Rindu janggal yang begitu mengganjal tadi pun menghilang. Aku melepas pelukannya. Bahuku masih sesekali naik turun sesenggukan. Ia lalu menatapku dengan lembut sambil tersenyum teduh. Jemarinya tak henti mengelus-elus pipiku.
"Udah lega?"