"Kebangun, ya?"
Tanganku terjulur ke atas, meraba wajah pria itu, memastikan sosoknya benar-benar nyata. Ia menyambut tanganku dan mengecupnya. Aku sungguh bisa merasakannya, mana mungkin ini mimpi belaka? Sejenak kami hanya saling bertatapan. Ia mendekatkan wajahnya ke arahku dan mengecup singkat keningku. Aku berdebar, perutku geli. Ketika ia kembali mendekat, kupejamkan mataku. Terasa lembut bibirnya perlahan menyentuh bibirku.
Sentuhan itu semakin samar, sampai terdengar suaranya berbisik.
"Aku mencintaimu, Rima."
Saat kedua mataku terbuka, aku sudah kembali ke kamar kosku yang gelap gulita. Perasaanku tidak karuan. Dadaku masih berdebar-debar. Kusentuh bibirku. Konyol sekali, aku baru saja meyakini pria itu nyata dan saat ini aku merindukannya. Kucoba kembali memejamkan mata, berharap tertidur dan terbangun lagi di teras rumah bersama sosok itu. Nihil. Yang ada aku terbangun pukul enam keesokan harinya tanpa mimpi apa-apa.
Tergopoh-gopoh kukerjakan esai dengan asal. Aku tidak punya waktu lagi. Bersiap seadanya, kupaksa kakiku berlari menuju kampus yang untungnya berjarak tidak terlalu jauh. Sayangnya, aku berakhir berkumpul di bawah tangga bersama dua mahasiswa baru yang bernasib sama. Datang terlambat. Kami diberi tugas hukuman membuat esai dengan paragraf lebih panjang. Kuputar otak sedemikian rupa supaya bisa merangkai kata demi kata.
Tiba-tiba, terdengar percakapan dua orang senior yang menuruni tangga. Tubuhku membatu ketika salah satu suara itu terdengar begitu familier. Tidak salah lagi, suaranya persis milik pria berkacamata dalam mimpi. Aku menegakkan tubuh. Jantungku berdebar kencang. Ketika dua senior itu berjalan melewati bawah tangga, dua orang mahasiswa baru yang bersamaku menyapa. Mereka membalas ramah dan berhenti untuk mengecek pekerjaan kami.
Saat itu aku melihatnya. Salah satu senior yang berbadan tegap dengan kulit kecokelatan, rahang tegas, dan kacamata. Seratus persen persis sama dengan sosok pria yang menciumku semalam. Tanpa kuduga, senior itu menoleh ke arahku. Aku terkesiap.
"Siapa nama kamu?" katanya dengan mata yang masih terkunci padaku. Aku mengatupkan bibir, menahan rasa sesak bercampur rindu yang tiba-tiba hadir.
"Rima," sahutku pelan.
"Rima." Ia mengulang namaku sambil tersenyum simpul. Kepalanya mengangguk-angguk pelan. Kulihat bibirnya kembali menyebut namaku sekali lagi tanpa suara.