Kasus Jakarta International School-JIS: Kontroversi seputar grasi Presiden
Dari pantauan media tampak jelas bahwa ada begitu banyak pembelajaran yang diperoleh dari penegakan hukum kasus JIS. Terjadinya pelaporan KStA di sekolah internasional ternama dan bergensi di ibukota Indonesia sangatlah menarik perhatian publik bahkan sampai di tingkat internasional. Pemberitaan media tampaknya membuat kasus JIS mendapatkan ketenaran di tahun 2015. Awalnya sejumlah petugas kebersihan alih daya ditetapkan sebagai tersangka bahkan salah satu diantaranya meninggal dunia di dalam tahanan kepolisian kemudian kasus berkembang sehingga seorang guru berkebangsaan asing dan asisten guru warga negara Indonesia juga ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan keterangan yang diperoleh dari anak sebagai saksi korban. Seluruh tersangka kemudian melalui rentetan persidangan pada akhirnya dinyatakan sebagai terdakwa dalam persidangan.
Pemberitaan di media terkait kasus JIS mengundang empati masyarakat yang kemudian tampaknya juga mendesak pemerintah untuk membuktikan ke masyarakat bahwa pemerintah peduli dan serius dalam penanganan kekerasan seksual terhadap anak dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) di tahun 2016, dikenal dimasyarakat sebagai PERPPU kebiri yang kemudian disahkan sebagai Undang-Undang di tahun yang sama. Â Â
Hal yang relevan untuk dibahas terkait kasus JIS adalah hasil kajian dalam bidang psikologi hukum di berbagai negara dengan sistem yuridiksi yang berbeda-beda tentang efek ketenaran dari suatu kasus sebelum persidangan (pre-trial publicity), yaitu peningkatan risiko terjadinya bias dalam pengambilan keputusan oleh aparat penegakan hukum. Bias dalam pengambilan keputusan penegakan hukum tentunya menimbulkan persepsi ketidakadilan bagi kedua belah pihak yang berkonflik dan juga di masyarakat. Selain itu ketenaran kasus KStA di media terutama dengan saksi korban yang masih berusia kanak-kanak umumnya secara cepat mengundang rasa simpati terhadap anak berusia kanak-kanak yang melapor dan menghasilkan kemarahan publik terhadap individu yang disangkakan sebagai pelaku.
Atas dasar itulah, ketidakadilan kemudian isu yang mengemuka mengenai grasi yang diberikan setahun yang lalu bagi guru berkebangsaan asing yang mendapatkan vonis 11 tahun dari hakim Mahkamah Agung yang telah membatalkan putusan tidak bersalah dari Pengadilan Tinggi sebelumnya.
Jika menggunakan pendekatan model 2 skenario, grasi Presiden tentu dipahami sebagai suatu ketidakadilan ketika upaya penegakan hukum yang bersih, transparan, independen dan berkeadilan menemukan lebih banyak bukti-bukti yang mendukung skenario pertama: keterangan anak sebagai saksi korban akurat, sesuai dengan apa yang benar – benar dialaminya berdasarkan true memory anak. KStA benar dialami oleh anak yang melapor dan dilakukan oleh guru berkebangsaan asing tersebut.
Sebaliknya jika skenario kedua (keterangan anak bahwa dirinya mengalami kekerasan seksual dari seorang tersangka tidak akurat, tidak sesuai dengan apa yang sebenar-benarnya dialami, berdasarkan false memory, karena adanya tekanan dari pihak luar dan sugesti) ternyata dikemudian hari didapatkan lebih didukung oleh alat bukti lainnya maka grasi Presiden merupakan upaya untuk memberikan keadilan bagi individu tidak bersalah yang sedang menjalani pidana atas dakwaan perbuatan yang tidak dilakukannya. Terdapat suatu kajian empirik di Amerika Serikat yang melakukan analisa studi kasus riil melalui innocence project yang mempelajari kembali dokumen dari putusan vonis yang kemudian hari ternyata dinilai sebagai putusan yang keliru (wrongful conviction) karena individu yang dinyatakan sebagai terdakwa dan sedang menjalani pemidaan ternyata terbukti tidak bersalah. Temuan riset innocence project adalah kekeliruan saksi (termasuk saksi korban) menjadi penyebab utama pada mayoritas, sekitar 75%, dari kasus putusan yang keliru.
Selain itu jika skenario kedua lebih mendekati kebenaran maka persepsi ketidakadilan juga masih tetap menjadi isu dalam kasus JIS karena terdakwa yang sebenarnya tidak bersalah dan mendapatkan grasi hanya guru berkebangsaan asing, sedangkan terdakwa lainnya, misalnya: asisten guru warga negara Indonesia, yang mungkin juga tidak bersalah tetap menjalani pemidanaan, terlebih para petugas kebersihan alih daya yang tampak jelas status ekonominya lebih rendah dibandingkan guru berkebangsaan asing tersebut. Kita berharap putusan grasi Presiden bukan berdasarkan tekanan atau intervensi asing tetapi berdasarkan upaya mendekati kebenaran yang terus diupayakan melalui penegakan hukum yang obyektif, imparsial yang dimulai dari teknik dan metode investigasi yang berbasis bukti dan didukung sains (crime scientific investigation).
Perlindungan anak dan putusan hukum
Penegakan hukum berbasis ilmiah tersebut diharapkan dapat menghindari produk putusan hukum yang keliru dalam bentuk: seorang pelaku yang sebenarnya dibebaskan (false negative) dan seseorang yang tidak melakukan mengalami pemidanaan (false positive). Menghindari false negative dan false positive ini merupakan bentuk konkrit negara dalam upaya perlindungan anak. Anak terlindungi dari pelaku karena kasus dapat terungkap dan pelaku yang sebenarnya menjalankan konsekuensinya. Selain itu, anak juga mendapatkan kembali sumber dukungan yang positif dari individu tidak bersalah yang telah dibebaskan.
Mempertimbangkan seriusnya dampak kekerasan seksual terhadap anak dan kompleksitas penegakan hukumnya, pemberitaan di media akhir-akhir ini tentang terjadinya kasus kekerasan terhadap anak terutama kekerasan seksual dalam situasi spesifik pandemi COVID-19 dan juga polemik seputar putusan hukum kasus kekerasan seksual (mis. kasus JIS) harapannya dapat mengakselerasi disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Semuanya ini demi tegaknya keadilan di bumi pertiwi sebagai bentuk perlindungan anak dengan mengupayakan kepentingan terbaik bagi anak: melindungi anak dari predator pelaku kekerasan seksual dan tetap menghindari penghukuman bagi individu yang tidak bersalah.