(setahun paska putusan grasi Presiden kasus kekerasan seksual terhadap anak)
Kekerasan seksual pada anak merupakan kejahatan serius yang mendesak negara untuk bertindak
Kekerasan seksual terhadap anak (KStA) dalam berbagai bentuknya merupakan suatu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan yang sangat serius. Negara wajib turun tangan melakukan suatu terobosan dalam upaya perlindungan anak dan penegakan hukum yang mengutamakan kepentingan terbaik anak. Pemerintah Republik Indonesia tampak sangat berupaya menunjukkan keseriusannya dalam menangani KStA dengan menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Anak.
Sejak tahun 2002, Indonesia memiliki perangkat hukum tentang Perlindungan Anak, yaitu: UU No. 23 tahun 2002. Dua belas tahun kemudian, UU tersebut direvisi karena dianggap kurang efektif dalam menekan angka kekerasan terhadap anak, termasuk KStA, yaitu dengan disahkannya UU No. 35 tahun 2014 yang memperberat sanksi pidana (dari minimal 3 tahun menjadi 5 tahun) dan denda (dari maksimal tiga ratus juta rupiah menjadi lima milyar) bagi pelaku KStA. Perubahan termasuk pemberatan pidana jika pelaku adalah orangtua, wali, pengasuh anak dan pendidik. Dalam perjalanannya, UU Perlindungan Anak ini bahkan direvisi untuk kedua kalinya dalam waktu yang relatif singkat untuk suatu perundang-undangan, yaitu: sekitar 2 tahun. UU No. 17 tahun 2016 disahkan sebagai perubahan kedua UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perubahan kedua ini mengundang kontroversial di masyarakat terutama di kalangan ahli karena fokus pada pemberatan sanksi pidana terhadap pelaku dengan menerapkan tindakan pidana tambahan berupa: kebiri kimia, pengumuman identitas pelaku, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik bagi pelaku. Kontroversi seputar perubahan kedua ini dilatarbelakangi oleh hasil riset empirik yang menunjukkan kurang efektifnya penerapan tindakan kebiri kimia terhadap pelaku dan juga dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Alasan utama perubahan kedua ini adalah belum menurunnya secara signifikan angka KStA meskipun telah dilakukannya perubahan pertama UU tersebut sebelumnya.
Riset empirik tentang KStA di Indonesia tergolong sangat minim. Studi tentang prevalensi KStA di Asia Tenggara yang mencakup Indonesia dilakukan Fry dan Blight (2016). Temuannya menunjukkan antara 1-2 dari 10 anak mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan seksual. Selain itu KStA juga merupakan suatu gejala gunung es, dimana jumlah riil kasus di masyarakat jauh lebih besar daripada jumlah kasus yang dilaporkan. Terlepas dari prevalensi yang tinggi namun rendahnya jumlah kasus yang dilaporkan untuk upaya penegakan hukum, KStA menimbulkan konsekuensi kesehatan, psikologis dan sosial yang negatif pada anak yang menjadi korban.
Kompleksitas Upaya Penegakan Hukum kasus KStA
Dalam upaya penegakan hukum, keadilan dipahami oleh masyarakat ketika seseorang yang terbukti bersalah, melalui peradilan yang bersih, transparan, independen dan berkeadilan, mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya terlepas dari kedudukan, status dan latar belakangnya. Faktanya upaya penegakan hukum kasus KStA dapat dikatakan kompleks dan tidak mudah. Alasan pertama adalah aparat penegak hukum berhadapan dengan keterangan/laporan yang berbeda-beda dari saksi anak yang diduga korban, tersangka dan orangtua atau orang dewasa lainnya yang berkepentingan dalam laporan dugaan KStA. Misalnya: anak mengatakan: “Pak Guru pegang-pegang barang saya” namun terkadang di lain kesempatan mengubah keterangannya dengan mengatakan: “Bukan Pak Guru, tapi Pak Satpam yang pegang-pegang barang saya”, sedangkan individu dewasa yang dituduh membantahnya dengan mengatakan: “Demi Allah, saya tidak melakukannya”. Alasan utama yang kedua adalah dalam banyak peristiwa KStA terjadi di ruang privat sehingga tidak tersedianya saksi dan tidak adanya bukti fisik yang secara langsung mengenai terjadinya peristiwa tersebut, misalnya: tidak adanya rekaman CCTV atau foto saat kejadian. Atas dasar itulah upaya penegakan hukum menjadi kompleks karena yang tersedia hanyalah keterangan anak sebagai saksi korban. Keterangan anak sebagai saksi korban tidaklah mudah diperoleh. Rumble dkk. (2018) dalam studi berbentuk reviu sistematik tentang KStA di Indonesia mengungkap bahwa korban KStA di Indonesia jarang membuka (disclosed) apa yang dialami secara langsung dan enggan bahkan menolak untuk melapor dan mencari pertolongan.
Hal penting yang perlu dipahami dalam upaya penegakan hukum dilakukan dalam konteks waktu sekarang (present) terhadap suatu peristiwa yang terjadi sebelumnya, beberapa waktu yang lalu (past). Konsekuensinya adalah tidak ada satu orangpun dari aparat penegak hukum yang terlibat, mengetahui sebenar-benarnya tentang peristiwa yang terjadi selain saksi korban yang mengalami, pelaku sebenarnya dan jika ada saksi yang melihat dan mendengar langsung saat kejadian. Aparat penegak hukum tidak mengetahui kebenarannya (ground truth). Memang upaya penegakan hukum tentunya sulit, menemui hambatan untuk betul-betul mengetahui tentang kebenaran, namun upaya penegakan hukum berupaya untuk mendekati kebenaran tentang kejadian KStA yang dilaporkan.
Aspek psikologis yang khas dan relevan dalam investigasi terhadap pelaporan kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah memori karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peristiwa kekerasan terjadi di masa lalu yang dilaporkan dan ditangani aparat penegak hukum dalam konteks waktu sekarang. Secara umum, terdapat pemahaman yang keliru mengenai memori, yaitu: memori seseorang termasuk anak bekerja seperti kamera video yang dapat merekam secara lengkap suatu peristiwa atau kejadian yang dialami sehingga dapat ‘diputar kembali’ secara akurat jika diperlukan. Sayangnya hasil riset empirik menunjukkan bahwa kerja memori tidak seideal itu. Memori individu termasuk anak – anak rentan mengalami distorsi dan kekeliruan. Memori individu bersifat plastis, sangat mudah diubah dan terkontaminasi. Akibatnya bisa saja individu baik dewasa maupun anak melaporkan suatu peristiwa seakan-akan benar-benar dialami padahal kenyataannya peristiwa tersebut tidak terjadi atau tidak pernah dialami. Individu tidak secara sengaja mengaburkan fakta atau berbohong melainkan memberikan suatu keterangan atau kesaksian berdasarkan false memory nya yang dihayati dan dialami seperti true memory, pengalaman yang sebenarnya dialami.
Terkait penegakan hukum kasus KStA, terdapat anggapan yang keliru pada professional penegak hukum dan masyarakat terkait memori anak, yaitu: keterangan anak tidak bisa dipercaya, tidak sahih (unreliable). Padahal seorang anak bahkan anak yang usianya relatif sangat muda (minimal kurang lebih 3 tahun) dapat memberikan suatu keterangan secara akurat berdasarkan memorinya mengenai suatu pengalaman atau peristiwa yang dialami. Singkatnya seorang anak mampu memberikan kesaksian yang akurat. Namun disisi lain memori anak juga mudah terkontaminasi oleh sugesti dan tekanan dari pihak eksternal, misalnya: dari orangtua. Atas dasar itulah pemahaman yang tepat tentang kemampuan anak dalam memberikan keterangan adalah: seorang anak pada dasarnya dapat menyampaikan keterangan (report) yang akurat berdasarkan upaya memangil kembali dalam memori tentang pengalaman sebelumnya yang tersimpan (recall). Selanjutnya, keterangan anak tersebut lebih kredibel apalagi keterangan tersebut muncul secara spontan dan bebas dari tekanan eksternal termasuk pertanyaan atau tanggapan yang mengarahkan atau sugestif. Berdasarkan pemahaman tersebut, upaya penegakan hukum KStA perlu mengumpulkan informasi dalam rangka mengevaluasi bagaimana konteks pertama kali keterangan tersebut muncul, apakah muncul secara spontan atau didalamnya terdapat sugesti dan tekanan eksternal.
Dalam upaya mendekati kebenaran, upaya penegakan hukum sejak awal idealnya bekerja dengan model (minimal) 2 skenario sebagai dasar upaya investigasi. Alternatif skenario pertama adalah keterangan anak yang diduga sebagai saksi korban sesuai dengan apa yang sebenar-benarnya dialami karena berdasarkan true memory anak. Riset empirik yang dilakukan Bidrose & Goodman (2000) menunjukkan bahwa sekitar 80% dari isi laporan KStA yang dikemukakan anak didukung oleh adanya bukti lain yang ditemukan dan menguatkan bahwa kekerasan seksual yang dilaporkan benar-benar terjadi. Meskipun demikian, upaya investigasi yang dilakukan tetap harus sejak awal secara proporsional mempertimbangkan alternatif skenario lainnya – skenario kedua yaitu: keterangan anak bahwa dirinya mengalami kekerasan seksual dari seseorang tidak sesuai dengan apa yang sebenar-benarnya dialami. Hal ini terjadi terutama karena adanya tekanan dan sugesti dari pihak luar termasuk dari pihak otoritas anak, misalnya: orangtua. Pendekatan investigasi pelaporan KStA dengan minimal 2 alternatif skenario ini sangatlah relevan dan penting diterapkan untuk menghindari bias dalam upaya menegakkan keadilan sebagai bentuk perlindungan anak demi kepentingan terbaik anak dan juga menghindari individu menjalani pemidanaan atas tuduhan perilaku kekerasan seksual yang tidak dilakukannya.
Kasus Jakarta International School-JIS: Kontroversi seputar grasi Presiden
Dari pantauan media tampak jelas bahwa ada begitu banyak pembelajaran yang diperoleh dari penegakan hukum kasus JIS. Terjadinya pelaporan KStA di sekolah internasional ternama dan bergensi di ibukota Indonesia sangatlah menarik perhatian publik bahkan sampai di tingkat internasional. Pemberitaan media tampaknya membuat kasus JIS mendapatkan ketenaran di tahun 2015. Awalnya sejumlah petugas kebersihan alih daya ditetapkan sebagai tersangka bahkan salah satu diantaranya meninggal dunia di dalam tahanan kepolisian kemudian kasus berkembang sehingga seorang guru berkebangsaan asing dan asisten guru warga negara Indonesia juga ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan keterangan yang diperoleh dari anak sebagai saksi korban. Seluruh tersangka kemudian melalui rentetan persidangan pada akhirnya dinyatakan sebagai terdakwa dalam persidangan.
Pemberitaan di media terkait kasus JIS mengundang empati masyarakat yang kemudian tampaknya juga mendesak pemerintah untuk membuktikan ke masyarakat bahwa pemerintah peduli dan serius dalam penanganan kekerasan seksual terhadap anak dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) di tahun 2016, dikenal dimasyarakat sebagai PERPPU kebiri yang kemudian disahkan sebagai Undang-Undang di tahun yang sama.
Hal yang relevan untuk dibahas terkait kasus JIS adalah hasil kajian dalam bidang psikologi hukum di berbagai negara dengan sistem yuridiksi yang berbeda-beda tentang efek ketenaran dari suatu kasus sebelum persidangan (pre-trial publicity), yaitu peningkatan risiko terjadinya bias dalam pengambilan keputusan oleh aparat penegakan hukum. Bias dalam pengambilan keputusan penegakan hukum tentunya menimbulkan persepsi ketidakadilan bagi kedua belah pihak yang berkonflik dan juga di masyarakat. Selain itu ketenaran kasus KStA di media terutama dengan saksi korban yang masih berusia kanak-kanak umumnya secara cepat mengundang rasa simpati terhadap anak berusia kanak-kanak yang melapor dan menghasilkan kemarahan publik terhadap individu yang disangkakan sebagai pelaku.
Atas dasar itulah, ketidakadilan kemudian isu yang mengemuka mengenai grasi yang diberikan setahun yang lalu bagi guru berkebangsaan asing yang mendapatkan vonis 11 tahun dari hakim Mahkamah Agung yang telah membatalkan putusan tidak bersalah dari Pengadilan Tinggi sebelumnya.
Jika menggunakan pendekatan model 2 skenario, grasi Presiden tentu dipahami sebagai suatu ketidakadilan ketika upaya penegakan hukum yang bersih, transparan, independen dan berkeadilan menemukan lebih banyak bukti-bukti yang mendukung skenario pertama: keterangan anak sebagai saksi korban akurat, sesuai dengan apa yang benar – benar dialaminya berdasarkan true memory anak. KStA benar dialami oleh anak yang melapor dan dilakukan oleh guru berkebangsaan asing tersebut.
Sebaliknya jika skenario kedua (keterangan anak bahwa dirinya mengalami kekerasan seksual dari seorang tersangka tidak akurat, tidak sesuai dengan apa yang sebenar-benarnya dialami, berdasarkan false memory, karena adanya tekanan dari pihak luar dan sugesti) ternyata dikemudian hari didapatkan lebih didukung oleh alat bukti lainnya maka grasi Presiden merupakan upaya untuk memberikan keadilan bagi individu tidak bersalah yang sedang menjalani pidana atas dakwaan perbuatan yang tidak dilakukannya. Terdapat suatu kajian empirik di Amerika Serikat yang melakukan analisa studi kasus riil melalui innocence project yang mempelajari kembali dokumen dari putusan vonis yang kemudian hari ternyata dinilai sebagai putusan yang keliru (wrongful conviction) karena individu yang dinyatakan sebagai terdakwa dan sedang menjalani pemidaan ternyata terbukti tidak bersalah. Temuan riset innocence project adalah kekeliruan saksi (termasuk saksi korban) menjadi penyebab utama pada mayoritas, sekitar 75%, dari kasus putusan yang keliru.
Selain itu jika skenario kedua lebih mendekati kebenaran maka persepsi ketidakadilan juga masih tetap menjadi isu dalam kasus JIS karena terdakwa yang sebenarnya tidak bersalah dan mendapatkan grasi hanya guru berkebangsaan asing, sedangkan terdakwa lainnya, misalnya: asisten guru warga negara Indonesia, yang mungkin juga tidak bersalah tetap menjalani pemidanaan, terlebih para petugas kebersihan alih daya yang tampak jelas status ekonominya lebih rendah dibandingkan guru berkebangsaan asing tersebut. Kita berharap putusan grasi Presiden bukan berdasarkan tekanan atau intervensi asing tetapi berdasarkan upaya mendekati kebenaran yang terus diupayakan melalui penegakan hukum yang obyektif, imparsial yang dimulai dari teknik dan metode investigasi yang berbasis bukti dan didukung sains (crime scientific investigation).
Perlindungan anak dan putusan hukum
Penegakan hukum berbasis ilmiah tersebut diharapkan dapat menghindari produk putusan hukum yang keliru dalam bentuk: seorang pelaku yang sebenarnya dibebaskan (false negative) dan seseorang yang tidak melakukan mengalami pemidanaan (false positive). Menghindari false negative dan false positive ini merupakan bentuk konkrit negara dalam upaya perlindungan anak. Anak terlindungi dari pelaku karena kasus dapat terungkap dan pelaku yang sebenarnya menjalankan konsekuensinya. Selain itu, anak juga mendapatkan kembali sumber dukungan yang positif dari individu tidak bersalah yang telah dibebaskan.
Mempertimbangkan seriusnya dampak kekerasan seksual terhadap anak dan kompleksitas penegakan hukumnya, pemberitaan di media akhir-akhir ini tentang terjadinya kasus kekerasan terhadap anak terutama kekerasan seksual dalam situasi spesifik pandemi COVID-19 dan juga polemik seputar putusan hukum kasus kekerasan seksual (mis. kasus JIS) harapannya dapat mengakselerasi disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Semuanya ini demi tegaknya keadilan di bumi pertiwi sebagai bentuk perlindungan anak dengan mengupayakan kepentingan terbaik bagi anak: melindungi anak dari predator pelaku kekerasan seksual dan tetap menghindari penghukuman bagi individu yang tidak bersalah.
Ditulis oleh: Nael Sumampouw
Kandidat Ph.D Psikologi Forensik di Maastricht University, Belanda; Awardee LPDP
Pengurus Pusat Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR – HIMPSI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H