Tertulis satu nama dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, yang kita kenal dengan nama Sutan Syahrir. Salah satu insan terbaik yang membawa Indonesia sampai pada titik ini. Pemilik tubuh gagah nan perkasa yang keluar dari kandungan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909. Pejuang yang gagah berani itu juga memiliki seorang pemimpin jalan di dalam hidupnya, ia bernama Mohammad Rasad yang menjabat sebagai penasehat Sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Ajang. Tumbuh hidup bersama dan bertalian sanak saudara dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka. Ia adalah salah satu penggemar olahraga dirgantara, pernah menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta. Selain itu, ia juga suka musik klasik, bahkan dia bisa memainkan biola dengan baik. Semangat dan jiwanya sangat menggelora dalam bidang pendidikan. Kegigihannya untuk mendapatkan pendidikan terbaik dengan sekolah ternama disanggah oleh sanak keluarga karena kekurangan biaya.Â
--Dimeja makan--
"Lihatlah mentari pagi ini terlihat berseri, mengisyaratkan kita harus jalani hari dengan penuh keyakinan dan keteguhan diri. Selamat pagi keluargaku, mari sarapan bersama!", kata Syahrir.
"Suutz, jangan kebanyakan ngomong, dah laper ni papa",kata papanya.
"Maaa, manusia yang sangat aku cintaaa, sudahilah pekerjaanmu itu, ayo kita makan bersama", kata saudaranya merayu mamanya dengan penuh cinta.
"Eum iya deh, tampaknya aku harus segera menyudahi pekerjaanku ini demi para pujangga jiwaku", kata mamanya sembari menampilkan senyumnya yang hangat.
"Pa, Syahrir punya cita-cita mulia lho! Syahrir ingin mendirikan sebuah sekolah, makanya Syahrir harus sekolah setinggi-tingginya", kata Syahrir ditengah-tengah perbincangan.
"Bercita-cita boleh asalkan jangan terlalu tinggi ya. Kamu tau sendirilah, kita keluarga yang sangat sederhana. Untuk makan saja harus ada effort lebih untuk memenuhinya", kata papanya.
Mendengar perkataan papanya itu, Syahrir terdiam sejenak dan ruang makan pun seketika menjadi hening, karena yang dikatakan papanya memang benar adanya. Hidupnya bagaikan tungkus lumus, namun ia memiliki keinginan yang begitu besar untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Sampai-sampai dia pernah mencoba memutuskan untuk mengamen di Hotel De Boer, hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih karena pada saat itu sangat sulit untuk mencari pekerjaan.Â