Kutarik jala dari laut nan dalam, berlapis ombak percikkan air kebiruan. Hamparan laut nan luas tak henti menarik hasrat kejantananku. Aku ingin melebur, bersatu bersama gerombolan ikan, bercumbu dengan terumbu karang, mendekap mutiara. Siput kecil dalam palung samudra.
*****
HIDUP, BAIT PUITIS TAK BERSURUT. Sorot mata parau tanpa dosa, ketuk palu menggema penuhi langit-langit ruangan. Kisahku telah usai, untuk yang kesekian kalinya.
Aku bangkit, dirinya pun bangkit. Jarak pandang cukup dekat untukku memproyeksikan seberapa menyesalnya ia berpisah dariku. Hartaku. Air matanya meluncur hebat sejak tadi, dia bersungut, bersikap acuh tak acuh. Langkahnya berenggak-enggok mendekati sekelompok wartawan kelaparan. Ia meraih tisu dari saku, bibirnya mencucu, beberkan kisah aneh yang menurutku sungguh tak masuk akal.
Aku bersalaman dengan kedua orang tua gadis itu, bersama tatapan benci nyaris membunuhku.
Wajah sang presdir muda PT Kencana jelas terpampang pada beranda berbagai media. Si pemegang aset kembali bercerai untuk yang kesekian kalinya. Begitulah para awak media sibuk menggunjing.
Di tempat ini, pengadilan perceraian. Kembali kuteteskan air mata, hanya setetes. Tanda pelepasan, tanpa pernah memiliki. Wanitaku harus kulepaskan, akibat rasa yang sungguh samar.
Di kota ini, orang-orang kehilangan banyak. Namun Aku tak kehilangan apapun, siapapun, seorangpun. Sebab tak ada yang pernah menjadi milikku. Sepi hidupku.
*****
Dalam ratusan jejak yang berliku, Aku berlabuh. Jantungku bertabuh. Simpang siur manusia tak halangi jalur pandangku padanya. Mataku menembus segalanya, rambutnya, matanya, hidungnya, raut senyumnya, yang telah keriput.
Sorot matanya hangat terkatup, sesekali menyeka peluh deras mengucur. Kemudian pelan sekali membungkuk, pandangi jalan setapak yang sama sekali tak menarik. Nenek itu meraih sebotol kaca dari kain yang dipikulnya, membuka tutup karet berbentuk lonjong yang sengaja disumpalnya, kemudian menuangkan madu di sepanjang jalan.
Ia melangkah pelan sekali, dengan langkah yang begitu kecil, tergopoh-gopoh memikul beberapa botol madu sebagai barang dagangan. Kedua bola matanya menyipit berusaha menangkap setiap momen madu yang ditumpahkannya.
Rambut putihnya tersapu oleh angin, membelai udara pagi dengan senyum yang tak kunjung surut. Langkahnya mantap dengan enggokan rapi kesana-kemari. Satu botol telah habis, ia tumpahkan hingga ke penghujung jalan. Ditutupnya botol madu, meletakkannya kembali kepada barisan madu yang hendak dijajakannya.
Terpaan angin pagi menggelayut ramah, kutinggalkan mobil hijau mencolokku di tengah kemacetan kota Jakarta. Dentingan klakson terdengar memekakkan telinga. Aku melangkah, dan berlali. Tak sekalipun kukatupkan pandangan berpaling dari sosok wanita penjaja madu.
Langkahku kian mendekat, nenek itu kembali berjongkok, mendekatkan pandangan pada sisa madu yang baru saja dituangnya. Cairan madu kecokelatan kian mencair, hingga sekelompok semut merah berbondong-bondong menghampiri.
Bagaimana hati ini dapat merasa? Pertemuanku, dirinya, dan sekelompok semut merah. Pertemuan singkat, dalam arus kasih yang bukan sesaat. Cinta? Haruskah Aku mencinta?
Aku terperanjat begitu salah seorang lelaki kekar berseragam keabuan bersama pistol di pinggang melesat menghampiri nenek itu. “Bu, apa yang anda lakukan adalah sebuah pelanggaran!” Ia menyentak tak beraturan, matanya bulat melotot hampir meloncat.
Wanita itu bangkit, pandangannya yang hangat lagi-lagi berhasil menghipnotis bola mataku. Ia mengeluarkan sebotol madu lainnya, menyerahkan pada petugas polisi, dan pergi berlalu.
“Nek! Akan kubeli satu!”
Nenek itu tetap bungkam, begitu tiba pada rumah tiga lantai berlapiskan emas juga perak. Aku memberinya makan, minum, baju, dan semua yang ia butuhkan.
Kami bermalam layaknya pasangan baru lainnya. Sungguh afeksi malam itu yang tak dapat kulupakan. Namun ia kemudian menghilang.
*****
Desir pasir mendekapku dalam hening. Cicak merayap, tokek melengking. Tikus hitam berkelebat dari ujung ke ujung, satu lubang ke lubang lainnya. Segalanya tertata rapi dalam irama kehidupan yang senada.
Caping gepeng nan lebar kubawa-bawa bersama wanita paruh baya. Kami melangkah, memikul botol madu sembari cekikikan meringis geli. Lucu, katanya. Kau juga lucu, kataku. Sebuah ikatan cinta antara lelaki muda dengan nenek tua yang telah keriput. Aku sungguh mencintainya.
Kami tinggal pada rumah kecil yang lebih pantas disebut gubuk. Roboh tiap kali hujan tiba. Ia mengajarkanku bahwa bahagia ialah mahal harganya. Bahkan seluruh hartaku tak mampu membelinya.
Pertemuan kala itu membawaku pada suatu kognisi. Kutemukan jiwa nan damai dalam nenek bisu penjaja madu. Penjaja madu bagi semut-semutnya, penjaja madu bagi makhluk Tuhannya.
https://drive.google.com/drive/folders/1_jRHOlAyDfG6g-mjQI0WM5k03MNYj0gW?usp=sharing https://drive.google.com/drive/folders/1_jRHOlAyDfG6g-mjQI0WM5k03MNYj0gW?usp=sharing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H