Ia melangkah pelan sekali, dengan langkah yang begitu kecil, tergopoh-gopoh memikul beberapa botol madu sebagai barang dagangan. Kedua bola matanya menyipit berusaha menangkap setiap momen madu yang ditumpahkannya.
Rambut putihnya tersapu oleh angin, membelai udara pagi dengan senyum yang tak kunjung surut. Langkahnya mantap dengan enggokan rapi kesana-kemari. Satu botol telah habis, ia tumpahkan hingga ke penghujung jalan. Ditutupnya botol madu, meletakkannya kembali kepada barisan madu yang hendak dijajakannya.
Terpaan angin pagi menggelayut ramah, kutinggalkan mobil hijau mencolokku di tengah kemacetan kota Jakarta. Dentingan klakson terdengar memekakkan telinga. Aku melangkah, dan berlali. Tak sekalipun kukatupkan pandangan berpaling dari sosok wanita penjaja madu.
Langkahku kian mendekat, nenek itu kembali berjongkok, mendekatkan pandangan pada sisa madu yang baru saja dituangnya. Cairan madu kecokelatan kian mencair, hingga sekelompok semut merah berbondong-bondong menghampiri.
Bagaimana hati ini dapat merasa? Pertemuanku, dirinya, dan sekelompok semut merah. Pertemuan singkat, dalam arus kasih yang bukan sesaat. Cinta? Haruskah Aku mencinta?
Aku terperanjat begitu salah seorang lelaki kekar berseragam keabuan bersama pistol di pinggang melesat menghampiri nenek itu. “Bu, apa yang anda lakukan adalah sebuah pelanggaran!” Ia menyentak tak beraturan, matanya bulat melotot hampir meloncat.
Wanita itu bangkit, pandangannya yang hangat lagi-lagi berhasil menghipnotis bola mataku. Ia mengeluarkan sebotol madu lainnya, menyerahkan pada petugas polisi, dan pergi berlalu.
“Nek! Akan kubeli satu!”
Nenek itu tetap bungkam, begitu tiba pada rumah tiga lantai berlapiskan emas juga perak. Aku memberinya makan, minum, baju, dan semua yang ia butuhkan.
Kami bermalam layaknya pasangan baru lainnya. Sungguh afeksi malam itu yang tak dapat kulupakan. Namun ia kemudian menghilang.
*****