Desir pasir mendekapku dalam hening. Cicak merayap, tokek melengking. Tikus hitam berkelebat dari ujung ke ujung, satu lubang ke lubang lainnya. Segalanya tertata rapi dalam irama kehidupan yang senada.
Caping gepeng nan lebar kubawa-bawa bersama wanita paruh baya. Kami melangkah, memikul botol madu sembari cekikikan meringis geli. Lucu, katanya. Kau juga lucu, kataku. Sebuah ikatan cinta antara lelaki muda dengan nenek tua yang telah keriput. Aku sungguh mencintainya.
Kami tinggal pada rumah kecil yang lebih pantas disebut gubuk. Roboh tiap kali hujan tiba. Ia mengajarkanku bahwa bahagia ialah mahal harganya. Bahkan seluruh hartaku tak mampu membelinya.
Pertemuan kala itu membawaku pada suatu kognisi. Kutemukan jiwa nan damai dalam nenek bisu penjaja madu. Penjaja madu bagi semut-semutnya, penjaja madu bagi makhluk Tuhannya.
https://drive.google.com/drive/folders/1_jRHOlAyDfG6g-mjQI0WM5k03MNYj0gW?usp=sharing https://drive.google.com/drive/folders/1_jRHOlAyDfG6g-mjQI0WM5k03MNYj0gW?usp=sharingÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H