hijriyah di Indonesia. Terutama pada ketiga bulan ini yaitu pada bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah karena terkait dengan ibadah pada bulan tersebut. Seperti Puasa Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha pada setiap tahunnya. Dengan hal ini sudah sangat jelas bahwa penentuan awal bulan hirjiyah sebagai kebutuhan bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia khususnya di Indonesia dalam menjalankan ibadah.
Masyarakat muslim di Indonesia sangat menanti dan menyoroti penetapan awal bulanMenurut sejarah yang ada, Khalifah Umar bin Khattab yang pertama menetapkan kalender Hiriyah pada 10 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW tepatnya pada 642 Masehi sebagai kalender resmi. Kalender ditentukan berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi. Karena metode penentuan awal bulan hijriyah digunakan berdasarkan peredaran bulan, maka sering terjadi perbedaan dalam menentukan awal bulan hijriyah yaitu dengan menggunakan metode hisab dan metode ru'yah.
Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama' dan Muhammadiyah memiliki pandangan dan metode yang berbeda dalam penetapan awal bulan hijriyah. Nahdlatul Ulama' menggunakan metode ru'yatul hilal (pengamatan langsung terhadap hilal), sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (perhitungan astronomi). Adanya perbedaan dalam pandangan penentuan awal bulan hijriyah menimbulkan konflik yang membuat ketegangan di antara masyarakat muslim di Indonesia menjelang datangnya ketiga bulan hijriyah tersebut bahkan pada bulan hijriyah yang lain.
Nahdlatul Ulama'
Organisasi Islam terbesar di Indonesia salah satunya adalah Nahdlatul Ulama atau biasa dikenal dengan sebutan NU. Organisasi ini didirikan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M atau 16 Rajab 1344 H. Dalam penetapan awal bulan hijriyah, Nahdlatul Ulama' menggunkan metode ru'yatul hilal sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبّي عليكم فأكملوا عدّة شعبان ثلاثين (متفق عليه)
Artinya: "Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal. Jika hilal tidak terlihat maka sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari pada Sya'ban." (HR. Bukhari Muslim).
Menurut sejarah, metode ru'yatul hilal ini dimulai sejak dilaksanakannya Muktamar NU di Surabaya pada tahun 1954 dan berlanjut muktamar di Situbondo pada 1984 diputuskan bahwa penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Nahdlatul Ulama' berdasarkan metode ru'yat dan istikmal. Dalam ilmu falak ru'yatul hilal adalah usaha untuk melihat hilal di suatu tempat yang terbuka dengan alat yang canggih atau dengan mata telanjang pada saat matahari terbenam pada akhir bulan hijriyah. Sedangkan istikmal adalah menggenapkan bulan hijriyah menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat.
Ru'yatul hilal menurut istilah adalah kesaksian hilal dari orang yang dapat dipercaya beritanya dan dapat diterima kesaksiannya pada tanggal dua puluh sembilan hijriyah setelah terbenamnya matahari. Ilmu falak mengatakan hilal adalah bagian bulan yang tampak terang benderang dari bumi karena pantulan cahaya matahari. Apabila hilal terlihat setelah terbenamnya matahari maka malam itu dan esok hari sudah masuk tanggal satu bulan berikutnya. Beberapa pendapat mengatakan hilal adalah bulan sabit yang berumur dua hari dan ada juga yang mengatakan hilal adalah bulan sabit yang berumur satu hingga tiga hari pada setiap awal bulan.
Pasca tahun 1998, Nahdlatul Ulama' menggunakan metode hisab sebagai pendamping metode ru'yah dan ru'yah dilaksanakan pada setiap pergantian bulan pada kalender hijriyah. Masyarakat NU mengganggap metode ru'yatul hilal lebih sesuai dengan tradisi Islam yang memprioritaskan kesaksian mata dalam penentuan waktu ibadah. Nahdlatul Ulama' berpendapat bahwa metode ini memberikan bukti berdasarkan pengamatan yang konkret dan dapat dipertanggungjawabkan, meskipun terkadang hasil dari metode ini berbeda-beda tergantung cuaca setempat. Tetapi, laporan pengamatan hilal tidak langsung diterima melainkan harus diproses melalui Lajnah Falakiyah kemudian diputuskan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama'.
Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Didirikan pada 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Metode hisab dipakai Muhammadiyah dalam penetapan awal bulan hijriyah. Hisab secara bahasa ialah perhitungan, sedangkan secara istilah hisab adalah perhitungan pada benda-benda langit untuk mengetahui posisinya pada saat yang diinginkan.
Metode hisab mempunyai kelebihan yakni pada saat penentuan posisi bulan tidak akan terhalang oleh awan yang mendung ataupun kabut. Dengan menggunakan metode ini, kita dapat mengetahui kapan terjadinya ijtima', yaitu bulan sudah di atas ufuk atau belum. Metode ini dipilih oleh Muhammadiyah dalam penetapan awal bulan hijriyah karena lebih medekati kebenaran dan sangat praktis. Mulanya, Muhammadiyah menggunakan metode ru'yah untuk menentukan awal bulan hijriah. Namun, seiring berjalannya waktu dan ilmu pengetahuan semakin berkembang maka Muhammadiyah memilih menggunakan metode hisab.
Penggunaan metode hisab oleh Muhammdiyah selain dilandasi oleh alasan yang syar'i, juga alasan ilmiah yang disebutkan sebagai berikut:
- Metode ru'yatul hilal baru bisa dilaksanakan h-1 mengakibatkan sulitnya dibuat sistem penanggalan hijriyah.
- Metode ru'yatul hilal menimbulkan perbedaan pelaksanaan hari Arafah.
- Metode ru'yatul hilal sulit menentukan kepastian kapan bisa mengajukan cuti pada hari raya untuk masyarakat yang bekerja di tempat minoritas Muslim.
Muhammadiyah secara konsisten menggunakan metode hisab sejak tahun 1970 hingga saat ini.
Hisab yang menjadi metode dalam penetapan awal bulan hijriyah oleh Muhammadiyah mempunyai prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memberikan kepastian yang lebih akurat. Hasilnya sangat konsisten dan dapat diperkirakan jauh-jauh hari. Sehingga Masyarakat Muslim di Indonesia yang bergabung dalam organisasi Muhammadiyah dapat merencanakan kegiatan ibadah mereka dengan lebih baik.
Dinamika Sosial di Kalangan Masyarakat Muslim di Indonesia
Peristiwa yang baru saja terjadi belakangan ini yaitu pada saat memasuki 1 Muharram 1446 Hijriyah, Nahdlatul Ulama' dan Muhammadiyah mengeluarkan hasil dari masing-masing metode mereka keduanya berbeda.
Nahdlatul Ulama' menetapkan 1 Muharram 1446 Hijriyah jatuh pada Senin, 08 Juli 2024 M yang mana tercantum dalam Surat Keputusan Lembaga Falakiyah (LF) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) nomor 046/LF/-PBNU/VII/2024. Sedangkan Muhammadiyah menetapkan 1 Muharram 1946 H jatuh pada hari Ahad, 07 Juli 2024 berdasarkan kriteria KHGT (Kalender Hijriyah Global Tunggal) kondisinya sudah memenuhi syarat untuk menetapkan awal Muharram 1446 Hijriyah yang jatuh pada Ahad, 07 Juli 2024.
Tetapi, sebagian masyarakat Muslim di Indonesia yang bergabung dalam organisasi NU sudah mulai melakanakan ibadah seperti pembacaan doa akhir dan awal tahun pada Sabtu Malam Ahad 06 Juli 2024 bahkan sudah ada yang melaksanakan tradisi pawai obor karena melihat kalender masehi 1 Muharram 1446 H jatuh pada 07 Juli 2024. Ternyata pada Sabtu 06 Juli 2024 atau 29 Dzulhijjah 1445 H saat ru'yatul hilal di 19 titik tidak adanya hilal yang terlihat karena cuaca sedang mendung dan berkabut di berbagai wilayah di Indonesia, sehingga ditetapkan atas dasar istikmal yaitu menggenapkan bulan hijriyah menjadi 30 hari.
Sebelum peristiwa ini terjadi, ketegangan juga terjadi pada Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriyah yang mana NU dan Muhammadiyah berbeda. Perbedaan ini menimbulkan dominasi simbolik di masyarakat. Masjid sebagai tempat ibadah menjadi dominasi ketika adanya hari raya yang berbeda. "masjid Muhammadiyah" melaksanakan shalat Ied sesuai dengan ketetapan Muhammadiyah, begitu juga dengan "masjid Nahdlatul Ulama". Adanya dominasi ini berakibat pada masyarakat minoritas yang merayakan di sekitar masjid tersebut, misalnya masyarakat Muhammadiyah sudah pasti memilih untuk melaksanakan shalat Ied jauh dari rumahnya karena masjid yang ada di dekat rumahnya adalah "masjid Nahdlatul Ulama" dan begitupun sebaliknya.
Implikasi dan Harmoni
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama memberikan jalan tengah antara metode hisab dan ru'yah. Kementerian Agama memberikan metode Imkanurrukyat MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang memberikan syarat bahwa ketinggian hilal harus di atas 2 derajat, sudut elongasi 3 derajat dan umur bulan lebih dari delapan jam. Kriteria tersebut menjadi dasar dari penetapan kalender hijriyah pemerintah sebagai sarana evaluasi atas laporan hasil ru'yatul hilal dari beberapa daerah di Indonesia pada saat sidang isbat. Namun, kriteria tersebut mendapat koreksi dari Thomas Djamaluddin yakni ketinggian hilal harus lebih dari 3 derajat dan elongasinya 6,4 derajat.
Sebuah fenomena terjadi di negara tetangga yaitu Malaysia. Di Malaysia dalam penetapan awal bulan hijriyah menggunakan metode ru'yah dan hisab, namun pada keputusan akhir mereka wajib mematuhi keputusan dari pemerintah. Berbeda di Indonesia, meskipun sudah ada acuan yang ditetapkan oleh pemerintah, masyarakat tetap dibebaskan untuk mengikuti keputusan organisasi Islam yang mereka ikuti. Dengan ini merupakan sebuah kebebasan kepada setiap masyarakat untuk bebas bergerak dalam menyuarakan pendapat mereka masing-masing.
Perbedaan perspektif antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam penetapan awal bulan hijriyah mencerminkan dinamika dalam penerapan syariat Islam di era saat ini. Metode ru'yah yang diusung oleh Nahdlatul Ulama menekankan pentingnya pengamatan langsung, sementara metode hisab yang dipilih Muhammadiyah mengutamakan fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, keduanya berusaha untuk mencapai tujuan yang sama dengan memastikan pelaksaan ibadah yang sah dan benar.
Dalam konteks keberagaman Islam di Indonesia, perbedaan ini seharusnya bukan menjadi sumber konflik, dengan semangat saling menghormati dan toleransilah sebagai landasannya.
Kondisi seperti ini sangat wajar ditemui di lingkungan sosial manapun. Lingkungan dan kondisi sosial sebagai faktor utama dalam memberikan pegaruh atas pemikiran seseorang. Nahdlatul Ulama' dan Muhammadiyah saling memahami bahwa perbedaan ini bagian dari Islam yang harus dihormati. Mereka terus tetap berupaya menjaga keharmonisan dan toleransi di antara umat Islam di Indonesia. Keduanya sama-sama memiliki niat dalam beribadah. Dengan demikian, perbedaan metode ini tidak seharusnya mengakibatkan perpecahan, tetapi menjadi kesempatan untuk memperkaya pengetahuan dan mempererat persaudaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H