Mohon tunggu...
Nadzif Aulia Rohmah
Nadzif Aulia Rohmah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perspektif Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam Penetapan Awal Bulan Hijriyah

11 Juli 2024   23:17 Diperbarui: 12 Juli 2024   07:14 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rukyat Hilal (Foto: ANTARA FOTO/Maulana Surya)

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama memberikan jalan tengah antara metode hisab dan ru'yah. Kementerian Agama memberikan metode Imkanurrukyat MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang memberikan syarat bahwa ketinggian hilal harus di atas 2 derajat, sudut elongasi 3 derajat dan umur bulan lebih dari delapan jam. Kriteria tersebut menjadi dasar dari penetapan kalender hijriyah pemerintah sebagai sarana evaluasi atas laporan hasil ru'yatul hilal dari beberapa daerah di Indonesia pada saat sidang isbat. Namun, kriteria tersebut mendapat koreksi dari Thomas Djamaluddin yakni ketinggian hilal harus lebih dari 3 derajat dan elongasinya 6,4 derajat.

Sebuah fenomena terjadi di negara tetangga yaitu Malaysia. Di Malaysia dalam penetapan awal bulan hijriyah menggunakan metode ru'yah dan hisab, namun pada keputusan akhir mereka wajib mematuhi keputusan dari pemerintah. Berbeda di Indonesia, meskipun sudah ada acuan yang ditetapkan oleh pemerintah, masyarakat tetap dibebaskan untuk mengikuti keputusan organisasi Islam yang mereka ikuti. Dengan ini merupakan sebuah kebebasan kepada setiap masyarakat untuk bebas bergerak dalam menyuarakan pendapat mereka masing-masing.

Perbedaan perspektif antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam penetapan awal bulan hijriyah mencerminkan dinamika dalam penerapan syariat Islam di era saat ini. Metode ru'yah yang diusung oleh Nahdlatul Ulama menekankan pentingnya pengamatan langsung, sementara metode hisab yang dipilih Muhammadiyah mengutamakan fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, keduanya berusaha untuk mencapai tujuan yang sama dengan memastikan pelaksaan ibadah yang sah dan benar. 

Dalam konteks keberagaman Islam di Indonesia, perbedaan ini seharusnya bukan menjadi sumber konflik, dengan semangat saling menghormati dan toleransilah sebagai landasannya.

Kondisi seperti ini sangat wajar ditemui di lingkungan sosial manapun. Lingkungan dan kondisi sosial sebagai faktor utama dalam memberikan pegaruh atas pemikiran seseorang. Nahdlatul Ulama' dan Muhammadiyah saling memahami bahwa perbedaan ini bagian dari Islam yang harus dihormati. Mereka terus tetap berupaya menjaga keharmonisan dan toleransi di antara umat Islam di Indonesia. Keduanya sama-sama memiliki niat dalam beribadah. Dengan demikian, perbedaan metode ini tidak seharusnya mengakibatkan perpecahan, tetapi menjadi kesempatan untuk memperkaya pengetahuan dan mempererat persaudaraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun