Mohon tunggu...
Nadzif Aulia Rohmah
Nadzif Aulia Rohmah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perspektif Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam Penetapan Awal Bulan Hijriyah

11 Juli 2024   23:17 Diperbarui: 12 Juli 2024   07:14 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rukyat Hilal (Foto: ANTARA FOTO/Maulana Surya)

Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Didirikan pada 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Metode hisab dipakai Muhammadiyah dalam penetapan awal bulan hijriyah. Hisab secara bahasa ialah perhitungan, sedangkan secara istilah hisab adalah perhitungan pada benda-benda langit untuk mengetahui posisinya pada saat yang diinginkan.

Metode hisab mempunyai kelebihan yakni pada saat penentuan posisi bulan tidak akan terhalang oleh awan yang mendung ataupun kabut. Dengan menggunakan metode ini, kita dapat mengetahui kapan terjadinya ijtima', yaitu bulan sudah di atas ufuk atau belum. Metode ini dipilih oleh Muhammadiyah dalam penetapan awal bulan hijriyah karena lebih medekati kebenaran dan sangat praktis. Mulanya, Muhammadiyah menggunakan metode ru'yah untuk menentukan awal bulan hijriah. Namun, seiring berjalannya waktu dan ilmu pengetahuan semakin berkembang maka Muhammadiyah memilih menggunakan metode hisab.

Penggunaan metode hisab oleh Muhammdiyah selain dilandasi oleh alasan yang syar'i, juga alasan ilmiah yang disebutkan sebagai berikut:

  • Metode ru'yatul hilal baru bisa dilaksanakan h-1 mengakibatkan sulitnya dibuat sistem penanggalan hijriyah.
  • Metode ru'yatul hilal menimbulkan perbedaan pelaksanaan hari Arafah.
  • Metode ru'yatul hilal sulit menentukan kepastian kapan bisa mengajukan cuti pada hari raya untuk masyarakat yang bekerja di tempat minoritas Muslim.

Muhammadiyah secara konsisten menggunakan metode hisab sejak tahun 1970 hingga saat ini.

Hisab yang menjadi metode dalam penetapan awal bulan hijriyah oleh Muhammadiyah mempunyai prinsip bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memberikan kepastian yang lebih akurat. Hasilnya sangat konsisten dan dapat diperkirakan jauh-jauh hari. Sehingga Masyarakat Muslim di Indonesia yang bergabung dalam organisasi Muhammadiyah dapat merencanakan kegiatan ibadah mereka dengan lebih baik.

Dinamika Sosial di Kalangan Masyarakat Muslim di Indonesia

Peristiwa yang baru saja terjadi belakangan ini yaitu pada saat memasuki 1 Muharram 1446 Hijriyah, Nahdlatul Ulama' dan Muhammadiyah mengeluarkan hasil dari masing-masing metode mereka keduanya berbeda. 

Nahdlatul Ulama' menetapkan 1 Muharram 1446 Hijriyah jatuh pada Senin, 08 Juli 2024 M yang mana tercantum dalam Surat Keputusan Lembaga Falakiyah (LF) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) nomor 046/LF/-PBNU/VII/2024. Sedangkan Muhammadiyah menetapkan 1 Muharram 1946 H jatuh pada hari Ahad, 07 Juli 2024 berdasarkan kriteria KHGT (Kalender Hijriyah Global Tunggal) kondisinya sudah memenuhi syarat untuk menetapkan awal Muharram 1446 Hijriyah yang jatuh pada Ahad, 07 Juli 2024.

Tetapi, sebagian masyarakat Muslim di Indonesia yang bergabung dalam organisasi NU sudah mulai melakanakan ibadah seperti pembacaan doa akhir dan awal tahun pada Sabtu Malam Ahad 06 Juli 2024 bahkan sudah ada yang melaksanakan tradisi pawai obor karena melihat kalender masehi 1 Muharram 1446 H jatuh pada 07 Juli 2024. Ternyata pada Sabtu 06 Juli 2024 atau 29 Dzulhijjah 1445 H saat ru'yatul hilal di 19 titik tidak adanya hilal yang terlihat karena cuaca sedang mendung dan berkabut di berbagai wilayah di Indonesia, sehingga ditetapkan atas dasar istikmal yaitu menggenapkan bulan hijriyah menjadi 30 hari.

Sebelum peristiwa ini terjadi, ketegangan juga terjadi pada Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriyah yang mana NU dan Muhammadiyah berbeda. Perbedaan ini menimbulkan dominasi simbolik di masyarakat. Masjid sebagai tempat ibadah menjadi dominasi ketika adanya hari raya yang berbeda. "masjid Muhammadiyah" melaksanakan shalat Ied sesuai dengan ketetapan Muhammadiyah, begitu juga dengan "masjid Nahdlatul Ulama". Adanya dominasi ini berakibat pada masyarakat minoritas yang merayakan di sekitar masjid tersebut, misalnya masyarakat Muhammadiyah sudah pasti memilih untuk melaksanakan shalat Ied jauh dari rumahnya karena masjid yang ada di dekat rumahnya adalah "masjid Nahdlatul Ulama" dan begitupun sebaliknya.

Implikasi dan Harmoni

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun