Mohon tunggu...
Nadya Saskia Azzahra
Nadya Saskia Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Indonesia

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyelusuri Perspektif Orientalisme dalam Konflik Israel-Palestina

4 April 2024   15:05 Diperbarui: 4 April 2024   15:10 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konflik antara Israel dan Palestina telah menjadi sumber ketegangan yang berkepanjangan di Timur Tengah. Singkatnya, konflik Israel-Palestina memiliki akar sejarah yang kompleks dan melibatkan persaingan atas klaim historis, agama, dan wilayah di Palestina. Inti dari konflik ini meliputi perselisihan antara bangsa Yahudi dan Arab Palestina terkait kedaulatan atas tanah yang sama, yang mencakup perang, pengusiran, pemukiman, dan upaya perdamaian yang sering kali gagal. Konflik ini dipengaruhi oleh dukungan Britania terhadap pertumbuhan pemukiman Yahudi dan gerakan Zionis dalam mendirikan tanah air di sana, yang memunculkan identitas dan politik paralel antara Yahudi dan Arab serta ideologi nasionalisme mereka yang muncul (Milton-Edwards, 2009, P.15). 

Pada tahun 1917, Pernyataan Balfour dikeluarkan oleh Inggris, yang menjanjikan pendirian "rumah nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina. Hal ini membuat gerakan Zionis, dapat mendirikan negara Yahudi di Palestina. Pada tahun 1947, Inggris mendukung rencana PBB untuk membagi Palestina menjadi dua negara: satu negara untuk orang Yahudi dan satu negara untuk orang Arab. Meskipun rencana ini disetujui oleh orang Yahudi, namun hak tersebut ditolak oleh orang Arab Palestina. 

Situasi semakin panas kala kaum Yahudi mendeklarasikan berdirinya negara Israel melalui Deklarasi Kemerdekaan Israel pada tanggal 14 Mei 1948. 5 negara Arab (Yordania, Mesir, Suriah, Lebanon, dan Irak) menyatakan perang terhadap Israel. Perang ini berlangsung selama beberapa bulan dan melibatkan pertempuran sengit di berbagai front, baik di darat, laut, maupun udara. Meskipun Israel merupakan negara baru dengan kekuatan militer yang terbatas, mereka berhasil mengalahkan pasukan gabungan dari negara-negara Arab tersebut. 

Akibatnya, pada akhir perang, Israel berhasil memperluas wilayahnya jauh melampaui batas yang ditetapkan dalam rencana pembagian wilayah PBB, sementara sebagian besar wilayah Palestina jatuh ke tangan Israel, sementara bagian kecil di bawah kendali Yordania dan Mesir. Akibat perang tersebut, ratusan ribu orang Palestina mengungsi karena kehilangan rumah dan tanah mereka. Banyak dari mereka melarikan diri ke negara-negara tetangga, seperti Yordania, Suriah, Lebanon, dan Gaza Strip yang kemudian dikuasai oleh Mesir.

Sementara itu, untuk memahami akar dan dinamika konflik ini, penting untuk mempertimbangkan konsep orientalisme yang diperkenalkan oleh Edward Said. Beliau mendefinisikan orientalisme sebagai sebuah diskursus yang mengekspresikan dan mewakili bagian dari peradaban dan budaya material Eropa yang terkait dengan Orient secara kultural dan bahkan ideologis sebagai mode diskursus dengan institusi-institusi pendukung, kosakata, ilmu pengetahuan, citra, doktrin, bahkan birokrasi kolonial dan gaya kolonial (Mahault Gabrielle Donzé--Magnier, 2017). Secara sederhananya, orientalisme merujuk pada cara Barat memandang, mendeskripsikan, dan merumuskan dunia Timur (Orient) sebagai sesuatu yang eksotis, inferior, dan perlu dikuasai. 

Orientalisme tidak hanya merupakan studi akademis tentang Timur, tetapi juga merupakan alat kekuasaan yang digunakan oleh Barat untuk mendominasi, mengontrol, dan merendahkan budaya dan masyarakat Timur. Orientalisme menciptakan citra stereotip dan bias terhadap orang-orang Timur, yang pada gilirannya mempengaruhi hubungan antara Barat dan Timur. Selain pandangan Edward Said, ada juga pandangan lain yang relevan terkait orientalisme. Misalnya, beberapa sarjana telah mengembangkan konsep orientalisme lebih lanjut, menghubungkannya dengan konsep postkolonialisme atau memperluas analisisnya ke wilayah lain di luar Timur Tengah

Dalam konteks konflik Israel-Palestina, orientalisme telah menciptakan gambaran yang dipengaruhi oleh stereotip dan generalisasi, yang menghasilkan pemahaman yang terkadang tidak seimbang dan bahkan tidak akurat tentang kedua belah pihak. Orientalisme dikaitkan melalui penggunaan imajinasi neo-Orientalis dan stigmatisasi terhadap Palestina sebagai "teroris", yang membantu melegitimasi proyek kolonial Israel (Tuastad, 2003). 

Orientalisme menciptakan stereotip yang mempengaruhi cara kita memandang kedua belah pihak dalam konflik ini. Misalnya, orang Arab sering kali digambarkan sebagai fanatik agama atau sebagai ancaman bagi keamanan Barat, sementara orang Israel sering kali diposisikan sebagai korban yang berjuang untuk bertahan hidup. 

Stereotip semacam ini tidak hanya mengaburkan gambaran yang sebenarnya tentang masyarakat Israel dan Palestina yang beragam, tetapi juga memperumit upaya perdamaian. Lebih jauh lagi, orientalisme menciptakan pemahaman yang tidak seimbang tentang konflik ini. Narasi-narasi yang dipengaruhi Barat cenderung mendominasi, sementara suara dan perspektif lokal sering kali diabaikan. Hal ini mengakibatkan minimnya pemahaman tentang akar penyebab konflik dan dinamika internal yang sebenarnya.

Orientalisme tercermin dalam representasi media seputar konflik Israel-Palestina melalui fakta bahwa lebih dari 350 agensi berita asing secara permanen diakreditasi di Israel, dan selama intifada pertama, 700 jurnalis tambahan datang ke negara tersebut, menciptakan perhatian yang berlebihan terhadap Israel dalam liputan media (Tuastad, 2003). 

Media seringkali memperkuat orientalisme melalui pemberitaannya tentang konflik Israel-Palestina. Berita-berita seringkali menonjolkan stereotip dan gambaran sederhana yang mempersempit pemahaman masyarakat tentang kompleksitas situasi. Misalnya, Palestina sering digambarkan sebagai wilayah yang dilanda konflik dan kekacauan, sementara Israel digambarkan sebagai negara maju dan beradab. Penggunaan istilah dan framing dalam laporan berita juga dapat memperkuat bias orientalis, seperti penggunaan istilah "teroris" untuk merujuk pada militan Palestina tanpa mempertimbangkan konteks politik yang mendorong konflik.

Orientalisme juga tercermin dalam narasi politik seputar konflik tersebut, di mana Israel digambarkan sebagai "benteng di tengah Islam yang luas dan tidak stabil", menciptakan citra negatif terhadap Palestina dan Islam dalam politik (Tuastad, 2003). Buku sejarah, dokumenter, dan film sering kali menciptakan gambaran Israel sebagai penjaga peradaban Barat yang berjuang melawan ancaman dari "dunia Arab" atau "dunia Islam". Ini dapat menghasilkan pemahaman yang terlalu sempit tentang konflik dan mengabaikan perspektif Palestina serta sejarahnya. Selain itu, dalam karya fiksi, karakter Arab atau Muslim sering kali digambarkan sebagai teroris atau ekstremis, memperkuat stereotip yang sudah ada. 

Orientalisme memiliki dampak yang signifikan terhadap persepsi dan kebijakan pemerintah di luar wilayah konflik Israel-Palestina. Melalui representasi stereotipik dan seringkali dipermudah dari masyarakat Timur Tengah, orientalisme menciptakan citra yang terfokus pada aspek-aspek negatif seperti kekerasan, konflik, atau ketidakstabilan. 

Hal ini mempengaruhi cara pemerintah dan masyarakat di luar wilayah konflik melihat pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, cenderung mengarah pada persepsi yang berbeda-beda tergantung pada sudut pandang orientalis yang dianut. 

Sebagai contoh, Israel mungkin dianggap sebagai pihak yang lebih "modern" atau "demokratis" dibandingkan Palestina, sementara Palestina seringkali dipandang sebagai pihak yang lebih "tertindas" atau "terjajah". Persepsi semacam ini kemudian membentuk sikap dan kebijakan pemerintah terhadap konflik, baik dalam hal dukungan politik, bantuan ekonomi, atau keputusan terkait keamanan dan diplomasi. 

Orientalisme juga dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara terhadap Israel atau Palestina, mempengaruhi penanganan dan pemecahan konflik, serta mengarah pada kebijakan yang tidak efektif atau bahkan memperdalam konflik tersebut. 

Secara keseluruhan, konflik Israel-Palestina yang sampai sekarang masih berlanjut, memiliki akar sejarah yang kompleks yang mana melibatkan persaingan atas klaim historis, agama, dan wilayah di Palestina. Orientalisme ditekankan sebagai faktor penting dalam konflik ini, karena menciptakan stereotip dan gambaran yang tidak seimbang tentang kedua belah pihak. Representasi media dan narasi politik juga dipengaruhi oleh orientalisme, yang pada gilirannya mempengaruhi persepsi masyarakat dan kebijakan pemerintah terhadap konflik tersebut. 

Dampak orientalisme juga dapat terlihat dalam kebijakan luar negeri suatu negara terhadap Israel atau Palestina, yang dapat mempengaruhi penanganan dan pemecahan konflik, bahkan mengarah pada kebijakan yang tidak efektif atau memperdalam konflik tersebut. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam tentang orientalisme dan bagaimana hal itu mempengaruhi konflik Israel-Palestina sangat penting untuk mencari solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan dalam penyelesaian konflik tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun