Mohon tunggu...
Nadya Ananda
Nadya Ananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi

It’s never ourselves that we write for.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Hustle Culture: Budaya Gila Kerja pada Generasi Muda yang Dapat Berakibat Fatal

19 Oktober 2021   20:36 Diperbarui: 20 Oktober 2021   21:51 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Nadya Ananda Najla

(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ)

Bekerja merupakan hal lazim yang dilakukan manusia. Namun latar belakang mengapa suatu individu bekerja tentu berbeda antara satu dengan yang lainnya. 

Ada yang memang karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup (mendapatkan penghasilan), dan ada juga yang merasa harus selalu produktif sehingga bagi mereka tak mendapat upah pun tidak masalah. Biasanya hal ini disebut bekerja sukarela atau volunteering dan yang melakoninya disebut sukarelawan. 

Apapun alasan yang membuat seseorang bekerja, tidak sedikit yang pada akhirnya mengorbankan waktu serta kesehatan di luar batas kemampuan diri hanya demi memenuhi hasrat produktif.

Dari penalaran di atas, diketahui terdapat fenomena hustle culture yang baik disadari ataupun tidak, sudah mendarah daging dalam diri kebanyakan orang. Budaya hiruk pikuk atau hustle culture ini sendiri yaitu tren di mana orang-orang percaya bahwa hal terpenting dalam kehidupan adalah untuk mencapai tujuan profesional, yang tentu saja dapat tercapai hanya dengan bekerja keras tanpa henti serta dilakukan terus menerus.

Dewasa ini, yang memungkinkan hustle culture dapat diterima dan diterapkan oleh sebagian besar masyarakat dari berbagai kalangan sebagai gaya hidup, bisa jadi adalah karena persepsi dari hustle culture itu sendiri, khususnya tentang branding diri sebagai sesuatu yang tak tergantikan. Hal ini terutama terjadi pada kalangan anak muda yang merasa bertanggung jawab atas produktivitas, pengembangan, dan kemajuan diri mereka sendiri.

Bekerja atau melaksanakan sesuatu secara maksimal memang sangat dianjurkan, karena merupakan tolok ukur seseorang dalam menjalani kesehariannya yang produktif. Akan tetapi jika dilakukan dengan berlebihan atau mengesampingkan batas kemampuan diri, maka bisa berakibat fatal. 

Demikian karena ada kalanya sesuatu yang dilakukan secara berlebihan akan menghasilkan hal yang tidak baik. Sebagaimana contoh nyata di sekitar kita, banyak dari kalangan anak muda yang memiliki motivasi dan harapan tinggi pada diri masing-masing, sehingga akan selalu berusaha mengisi hari-hari mereka dengan kegiatan yang produktif. Baik itu bekerja, mengikuti agenda volunteering, atau sekadar menjalani hobi namun masih dalam konteks yang produktif.

Banyak muda-mudi dari generasi milenial maupun generasi z mungkin tidak dilengkapi dengan kekuatan fisik atau emosional untuk mempertahankan tekanan akibat hustle culture, yang selanjutnya menyebabkan mereka kelelahan.

 Sebagai contoh, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kini mengklasifikasikan burnout sebagai "fenomena pekerjaan" akibat tidak mampu menghargai masukan dan prestasi kerja seseorang (Wilkie, 2019). Kelelahan ini kemudian secara psikologis menempatkan generasi muda untuk terus berusaha berbuat atau menghasilkan suatu karya lebih banyak dan menciptakan gaya hidup yang "always-on".

Gaya hidup ini memiliki berbagai dampak bagi kesehatan mental, emosional, dan fisik seseorang karena pada akhirnya dapat merusak keseimbangan antara kehidupan pribadi dan urusan pekerjaan (work life balance). Beberapa dampak buruk dari hustle culture yang berisiko terjadi di antaranya, seperti burnout (stres berat), depresi, kecemasan, kelelahan, hingga yang lebih ekstrem yaitu adanya pikiran untuk bunuh diri. 

Penelitian dampak hustle culture pada kesehatan fisik mengambil sampel subjek yang berasal dari beberapa negara, yaitu Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Cina. 

Kemudian hasilnya dipublikasikan di Current Cardiology Reports pada 2018 silam, menunjukkan bukti bahwa orang-orang yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu ditemukan memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, seperti infark miokard (serangan jantung) dan penyakit jantung koroner. Selain itu, mereka yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu mengalami peningkatan cedera akibat kerja.

Sedangkan dampak pada kesehatan mental yaitu stres terus-menerus (burnout) yang kemudian dalam keadaan ini tubuh melepaskan hormon stres (kortisol) dalam jumlah yang lebih tinggi dan untuk periode yang lebih lama. 

Penelitian selanjutnya pada penduduk Jepang yang bekerja 80 hingga 99 jam per minggu diketahui memiliki risiko 2,83 persen lebih besar terkena depresi, yang mengarah pada perilaku tidak sehat seperti merokok, mengonsumsi alkohol, dan tidak aktif secara fisik. Dengan memaksakan diri untuk terus berpikir "go hard or go home", hustle culture menempatkan tubuh dalam keadaan fight or flight (Fadli, 2021).

Kelelahan di tempat kerja sudah menjadi sesuatu yang biasa terjadi di kalangan para pekerja. Sejalan dengan statement tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah mengidentifikasi kelelahan di tempat kerja sebagai "fenomena pekerjaan" yang mungkin memerlukan perhatian medis. Meskipun tidak digolongkan sebagai penyakit atau kondisi medis, burnout di tempat kerja tetap merupakan sindrom yang dijelaskan dengan baik oleh WHO.

Berdasarkan keterangan lembaga tersebut, "Kelelahan merupakan sindrom yang diartikan sebagai akibat dari stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola". Masih menurutnya lagi, burnout memiliki tiga karakteristik, yaitu: perasaan bahwa energi terkuras atau kelelahan, peningkatan jarak mental dari pekerjaan seseorang atau pikiran negatif tentang pekerjaan seseorang, serta tingkat profesional menjadi berkurang.

                       

Asosiasi Psikologi Amerika memprediksi bahwa lebih dari $500 miliar perekonomian Amerika Serikat terkuras akibat dari stres di tempat kerja. Lalu 60%  hingga 80% kecelakaan kerja disebabkan oleh stres, serta lebih dari 80% pekerja diperkirakan mengunjungi dokter dengan keluhan stres. 

Sampai pada titik ini, jelas sekali stres di tempat kerja ada hubungannya dengan masalah kesehatan yang beragam, mulai dari sindrom metabolik hingga penyakit kardiovaskular hingga yang terparah adalah kasus kematian.

Salah satu penelitian berikutnya mengemukakan bahwa, semakin rendah strata seseorang dalam suatu tingkatan, maka semakin tinggi peluang mereka terkena penyakit kardiovaskular dan kematian akibat serangan jantung. 

Dalam penelitian yang mencakup skala lebih besar terhadap lebih dari 3.000 karyawan yang dilakukan oleh Anna Nyberg di Institut Karolinska, hasilnya membuktikan terdapat hubungan yang kuat antara perilaku kepemimpinan dan penyakit jantung pada karyawan. Bos atau atasan yang membuat stres benar-benar buruk bagi kesehatan jantung.

Generasi muda terutama fresh graduate pasti sedang giat-giatnya dalam bekerja dan yang belum mendapat pekerjaan pasti sedang gencar mencari pekerjaan. Mereka seakan-akan seperti dituntut oleh keadaan yang memaksa untuk selalu menjalani kehidupan dengan produktivitas yang baik. Akan tetapi, sebenarnya hal ini dapat menjerumuskan mereka ke dalam toxic productivity.

Sangat disayangkan bahwa fenomena budaya hiruk pikuk yang mulanya banyak diikuti oleh muda-mudi agar dapat lebih produktif, malah berujung menjadi bumerang bagi siapa saja yang menerapkannya dalam hidup mereka, terlebih jika tidak ada keseimbangan di dalamnya.

Jika dilihat menggunakan perspektif teori, fenomena hustle culture yang sedang marak terjadi ini dapat dikaitkan dengan teori konflik yang digagas Ralf Dahrendorf. Menurutnya, konflik adalah realitas sosial yang pasti terjadi di masyarakat. Setiap masyarakat memiliki kepentingan atau tujuan yang berbeda. Perbedaan kepentingan inilah yang kemudian menjadi sumber konflik. Dengan demikian konflik dan masyarakat merupakan dua hal yang sulit dipisahkan.

Konflik juga diketahui merupakan perselisihan mengenai nilai-nilai yang berkaitan dengan status, kekuasaan, dan sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. 

Masih menurut Dahrendorf, pihak-pihak yang berselisih seringkali tidak hanya bertujuan untuk memperoleh "sesuatu" yang diinginkan, namun juga memojokkan, merugikan, atau bahkan saling menghancurkan. Bagi Dahrendorf, masyarakat memiliki dua wajah karena dapat tunduk pada perubahan kapan saja. Mereka dapat memperlihatkan konflik pada saat tertentu, lalu juga dapat menyumbang kontribusi disintegrasi dan perubahan karena didasari oleh paksaan.

Di sini bisa diambil contoh tentang seorang anak muda fresh graduate yang sedang giat bekerja. Sudah pasti ia memusatkan penuh perhatiannya pada pekerjaan yang sedang dikerjakan. Jika pekerjaan di kantor tidak selesai, maka ia bisa membawa urusan pekerjaan tersebut ke rumah.

 Padahal menurut keluarga anak muda tersebut, mungkin segala bentuk urusan pekerjaan sudah sepatutnya ditinggalkan hanya di tempat kerja, dan rumah adalah tempat bercengkrama, melepas penat tanpa harus diganggu urusan dari luar keluarga.

Pemikiran yang berbeda antara pemuda itu dan keluarganya menyebabkan munculnya bibit konflik yang sewaktu-waktu dapat pecah. Hal ini juga diakibatkan oleh tekanan dan ekspektasi tinggi dari atasan pada si pemuda serta perbedaan pandangan keluarga yang terkesan memojokkan. 

Si pemuda merasa ia harus produktif agar output kerjanya diakui oleh rekan dan atasan. Selain itu bekerja dengan gila-gilaan berkedok produktif juga membuatnya lebih cepat mendapatkan posisi strategis di kantor.

Padahal bekerja yang memaksakan diluar kemampuan diri seperti contoh kasus di atas berdampak sangat buruk bagi kesehatan mental, emosional, dan fisik manusia. Ironisnya, tak sedikit ditemukan kejadian yang demikian di lingkungan sekitar kita, namun orang-orang sudah tutup mata atas apa yang terjadi, bahkan mengikuti gaya hidup yang cenderung tidak sehat tersebut.

Pada intinya, keputusan untuk tergesa-gesa demi selangkah lebih cepat dari orang lain merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri untuk memenuhi kebutuhan dan melampaui ekspektasi yang tinggi, baik itu dari orang lain maupun diri sendiri. Efisiensi fenomena hustle culture kemudian menjadi masalah karena terkait dengan tingkat kelelahan dan dampaknya terhadap produktivitas serta tingkat retensi.

Referensi:

Balkeran, Arianna. 2020. Hustle Culture and the Implications for Our Workforce. Tesis. New York: Baruch College, The City University of New York.

Halodoc.com. (2021, September). "Kerja Tanpa Istirahat Alias Hustle Culture, Apa Dampaknya bagi Tubuh?"

Diakses pada 17 Oktober 2021, dari

www.halodoc.com

Hbr.org. (2015, Desember). "Proof That Positive Work Cultures Are More Productive"

Diakses pada 17 Oktober 2021, dari

hbr.org

Hipwee.com. (2020, Mei). "Hustle Culture, Budaya yang Salah dalam Memaknai Produktivitas"

Diakses pada 17 Oktober 2021, dari

www.hipwee.com

Kompas.com. (2021, Agustus). "Kenali "Hustle Culture", Gila Kerja yang Bisa Berujung Kematian"

Diakses pada 17 Oktober 2021, dari

lifestyle.kompas.com

M., Muhdar, H. (2012). STRES KERJA DAN KINERJA DALAM PERSPEKTIF TEORI DAN BUKTI EMPIRIK. Jurnal Ekonomika-Bisnis, 3(2), 111-120.

Maize.io. (2020, Januari). "The Rise and Grin of Hustle Culture"

Diakses pada 17 Oktober 2021, dari

www.maize.io

Septyaningsih, Reni, dan Palupiningdyah. (2017). PENGARUH BEBAN KERJA BERLEBIH DAN KONFLIK PEKERJAAN KELUARGA TERHADAP KINERJA MELALUI KELELAHAN EMOSIONAL. Management Analysis Journal, 6(4), 462-472.

Shrm.org. (2019, Juli). "Workplace Burnout Is Now an 'Occupational Phenomenon'"

Diakses pada 17 Oktober 2021, dari

www.shrm.org

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun