Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sebuah Musim yang Hilang

1 Desember 2019   16:20 Diperbarui: 2 Desember 2019   06:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentang aku, engkau, dia, dan ia.

Aku, ataukah engkau dalam percakapan sepi ini? Sendiri berputar-putar dalam perenungan. Di mana pertanyaan dan pernyataan tak penting dibedakan. Begitupun tak mendamba jawaban. Sebab, sebutir jiwa sangatlah besar terasa, apabila terendam melubangi sunyi. Sendiri. Sebutir jiwa mampu menampung tumpahan dari segala isi dunia. Namun sebutir jiwa juga bisa menjadi begitu sempitnya hingga hanya gelap yang ada, pekat, atas kemurahman yang bertahta.

'Dunia ini akan tinggal setitik saja, manakala engkau terlelap.

Di manakah letak sesuatu yang jauh ataukah dekat? Ia yang tak terjangkau apapun. Darimanakah sebuah keyakinan mengenai nilai hidup atas cinta dan ketuhanan?

Aku terus memikirkanmu. Mengingat dan melihat diriku dalam kisahmu. Berusaha menebak teka-teki kehidupan namun tak juga berhasil menemukan jawaban. Membuatku jengah pada sebuah nama. Tuhan.

Engkau merindukannya. Sebagaimana aku merindukanmu. Dia membingungkanmu. Sebagaimana engkau membingungkanku. Sementara ia tak henti penuh curiga terhadap dia dan dirimu. Seperti aku yang timbul-tenggelam dalam kerinduan yang penuh tanpa jarak tempuh dan daya laju, padamu.

Sesuatu hilang membuatmu asing terlantar. Sebuah kehilangan nan amat besar. Kejatuhan nan sangat dalam. Sesuatu membuatmu larut berkesedihan tanpa sanggup kau jabarkan.

Angin yang menggugurkan dedaunan pada musim panas. Ranggas yang membawa rasamu retas. Angin yang menderu merayu badai pada musim dingin. Membenamkan asamu dalam bekunya segala ingin. Sebuah perhentian yang bias dari sebuah ketibaan yang tak tuntas. Sunyi itu telah terlepas. Sejalan kisah dalam kasih yang terkelupas. Perihnya tajam merias.

Sebuah musim dalam jiwa akan hilang. Setelah musim sebelumnya yang berlalu memaksa harapan tumbang. Tanpa sanggup kau lepaskan aromanya yang tertinggal. Sebuah kisah akan merayapimu dengan gundah bertumpukan ngilunya gelisah. Yang akan mencekam tidurmu dalam mimpi yang gelap. Tanpa nafas, sehingga hidup tak lagi memberimu pesan. Selain kesan-kesan kemuraman. 

Goresan-goresan kuas, cat yang mewarna kesuraman. Seperti kebenaran yang memudar. Luntur. Dalam impian tidur terpulas. Hanya sisa musim yang menggugurkan ingatan tanpa batas. Lukisan yang melampaui kanvas. Menggelarkan senandung daun-daun tua yang berjatuhan ke tanah. Cerita yang usai dari segala harapan. Dari pantauan mata dan ringkasan rasa.

Bahwa yang hilang itu sesungguhnya jiwamu yang kembali pada lingkaran waktu...                                         

                                    ***

"Sampai kapan engkau sesunyi ini kekasih? Sementara ada orang lain yang meraung menangisi dia. Engkau yang diam karena tak mendapatkannya. Sementara ia meraung-raung karena telah mengerti bagaimana memperolehnya" matamu nanar. Merunut kisah dalam samar. Tentang pupusnya harapan bahagia cinta. Menorehkan rasa jatuh. Betapa hidup sia-sia kehilangan segala makna dan tertutupnya guna.

Betapa manusia menderita atas hal yang didapatkan dan hal yang tidak diperoleh. Isi daripada hati itu bisa tumpah sekaligus bisa beku tak terkuak ke permukaan. Sepanjang musim hidupmu setelah itu, diam. Dibisukan kata, dikaburkan bahasa. Bahkan ketika musim itu    menghilang, dan musim lainnya menggantikan.

Kegelisahanmu yang beku dilembutkan cairan-cairan penenang. Lemah tubuhmu harus disokong penguat dan vitamin penyemangat. Sebab redupmu berkarat. Seperti sebuah tidur yang dilupakan bangun atas wajah peristiwa yang pekat.

Begitupun dengan ia, yang semenjak itu pula, sepanjang terjaga akan terus meraung menangisi dia dalam riuhnya rasa luka yang tumpah, kemarahan yang tak berarah. Histerisnya baru akan reda apabila terlelap. Juga oleh cairan penenang yang disuntikan. Dan akan kembali gentar dalam gerahnya jiwa manakala ia kembali terjaga dan merusak segala yang ada.

"Aku menginginkanmu, tetapi engkau hanya menginginkannya. Dia yang tak pernah sungguh melihatmu ada. Tidakkah kau lelah diam begitu?" Aku menyeka keringat dinginmu. Butir-butir itu bahasa yang beku. Barangkali iya, aku tak pernah ada bagimu. Sebagaimana dirimu yang tak pernah terasa ada baginya. Dia yang tak teraih itu. Betapa isi hati kerap dirumitkan oleh karena buntu dalam bertujuan.

"Sementara ia yang kebalikanmu menjadi seperti itu ketika telah mendapatkan dia. Memperoleh dia. Bahwa cinta dia yang pembahagia itu ternyata pecah tak hanya untuk ia. Dan kamu, mencintainya utuh yang tak pernah disadarinya nyata dalam bentuk. Tidakkah kau terima kenyataan itu?! Engkau dan ia sama-sama mencintai dia dan sama-sama menderita. Sementara aku?! Mengejarmu yang terus berlari meski engkau dalam pelukanku setiap hari"

Aku menyuapimu. Sambil bersiap untukmu berjemur di sinaran matahari pagi. Setelah sebelumnya menyeka tubuhmu sebagai pengganti mandi. Tubuhmu yang semakin kurus dimakan asa yang tergerus. Engkau masih tetap sepi. Seakan suaramu telah lama tak berlaku lagi. Matamu menatap pada tak sungguh di sana. 

Sebuah jauh yang tak terukurkan jarak nyata. Sebuah kosong yang meluas memburamkan lintas. Hanya ngilu apabila beranjak kukitarinya.          Makanmu, seperti biasa, hanya sedikit saja. Meskipun menu masakan setiap harinya kurubah kupadu-padan sebaik-baiknya agar menggugah selera. Kuusap wajahmu, membersihkan sebutir nasi yang tersisa di pipi. Tirus wajahmu membenamkan kisah. Dalam, gelap dan perih.

"Istirahatlah kekasih. Nanti sore dokter akan datang untuk memeriksamu kembali. Obat dan vitaminmu telah habis" kupijat sedikit telapak kaki hingga betismu. Keperkasaan yang telah lama tumbang. Sebuah runtuh.

Sementara ia di sana, sedang meraung dan dilumpuhkan oleh orang-orang di sekitarnya, di sebuah rumah sakit jiwa, setelah hakim memutuskan bahwa ia mengalami gangguan kejiwaan, sering mengalami halusinasi dan delusi hingga meyakini dia si wanita itu berkhianat cinta dan akhirnya tewas di tangan ia. Wanita yang ia dapatkan.

Di mana wanita tersebut pula adalah yang tidak berhasil kau dapatkan, dan mengantarkanmu ke pangkuanku dalam wujud pengalihan rasamu yang runtuh tak bersambut itu. Ia yang telah mendapatkan, tak lebih baik darimu yang tak memperoleh wujud pengharapan. Tenangkanlah hatimu kekasih. Aku bersamamu selalu,    yang telah bersedia mengerti.

Dia sungguh jelita. Serupa puisi yang membawa jiwa sesiapa mabuk tak terelakkannya. Tetapi dia rembulan yang jauh dari keterpijakan bumi. Dia juga matahari yang apabila kau tatap akan menyilaukan bahkan membutakan matamu oleh sebab benderangnya tak terkatakan arti. Dia adalah bintang yang begitu jauh hingga kerap hilang dari pandangan. Terselip langit dan terselubung awan hitam. Dialah dongeng di kala malam memuram. Dialah pelangi yang hadir setelah hujan reda di pagi hari. Di mana indahnya tak pernah sungguh lama mengecup mata. Dia udara yang memberi nafas bagimu tanpa terlihat tanpa terasa kehadirannya yang adalah anganmu dalam memendam rasa pun asa. Sehingga apabila dia pergi, nafasmu pun berhenti. Berakhir. Mati.

Penolakannya, penolakan orang-orang di sekitarnya yakni keluarganya telah melukakanmu, jatuh dalam sunyi. Sementara penerimaannya telah membunuh ia menjadi hingar-bingar manakala pengkhianatannya menusuk jantung hidup. Ia mengunduh riuh. Maka engkau, dia, dan ia, adalah tuturku dalam berkisah. Sementara diriku mengusung kesetiaan dalam berkarat, atasmu yang tak mampu kujerat. Sekalipun dalam jalinan terikat.

Engkau redup tak pernah lagi menyala. Terdampar di keasingan terlantar. Manakala, dia tewas di tangan ia dan terjadi begitu saja di hadapanmu sejelasnya dalam gagalmu menghindarkannya. Gagalmu menyelamatkannya. Ia yang tak kuasa menyadari pengkhianatan cinta, manakala mendapatimu dan dia berdua-dua. Kisah samar. Salah atas paham. Cerita kelambu. Alur cinta yang bernoda menyisakan tragedi sangat kelabu.

Sekali lagi, manusia menderita oleh karena mendapatkan dan tidak mendapatkan sesuatu. Dia. Yang telah tinggal cerita. Menjulang muramnya kisah. Dalam silang kejelasan, remang kebenaran. Engkau tak hanya redup, engkau tak hanya kuyup, dalam mendemamkannya, engkau telah tutup meski nganga kenyataan masih murub.

Rasa bersalah nan besar itu menggerogoti jiwamu dalam kerusakan yang melampaui rasa sakit. Sementara ia tak jauh beda. Ia yang telah lama juga terobsesi olehnya, berubah pecah riuh meruyak gaduh dalam setelah menyingkirkannya diantara ambang kesadaran. Engkau, dia, dan ia, mengisi hari-hariku menyusun jiwaku dalam bermusim. Yang datang dan pergi hanya menyisakanku sekabut tajamnya dingin.

Dini hari. Engkau kerap terbangun tanpa rintih. Keringat dingin membasahi. Nafasmu dalam letih. Kudekati, kudekapi. Bahwa cintaku besar meski tak pernah kau sadari. Bahwa kasihku luas tergelar untukmu melepaskan diri dari segala jerat sakit kerat pedih. Kubasuh wajahmu dengan rasa hangat. Sesuatu yang selalu kulakukan agarmu terlantarkan rasa harap.

Bahwa esok itu hanya satu hari dari saat ini. Maka kuminta bertahanlah sampai saat itu tiba. Sebuah musim akan hilang dari sakitmu yang reda. Musim di mana suara mengantarkan bahasa. Agar kau mampu menyulam kisah itu kembali dengan kata-kata. Memulai rona hidup. 

'Bicaralah...'

Segelas susu hangat dengan sedikit gula. Kuharap akan meredakan cemas dan mengusir gelisah. Mari, hangatkanlah tubuhmu agar beku tak meretakkanmu. Percayalah padaku, musim bagimu akan berlalu. Hilang di akhir pandangan.
Lagi. Kubelai anak- anak rambut di dahimu. Kukecup wajahmu, sayu meremas jantungku. Lelaplah kembali. Aku akan membangunkanmu esok hari. Saat pagi menepi. Mengantarkan sebuah musim yang akan melenggang pergi...

                                       ***

Manalah kutahu sikap daripada waktu. Menukik ataukah menanjak? Berlari ataukah terengah merangkak? Kali ini terasa dunia memberengutku beda. Betapa alam telah mengkhianatiku saat ini. Lihatlah, aku terlambat bangun. Aku mendapati sinar matahari sudah hampir penuh dan meninggi. Bangunku sungguh kesiangan kali ini.

Seperti tidur yang diberatkan mabuk anggur. Tetapi sesungguhnyalah mabuk yang melebihi keindahan puisi atau apapun yang bisa melukisi. Sehingga segenap kesadaranku gugur. Membuat malam yang baru saja tandas telah melumpuhkanku sehingga alarm waktuku tak berfungsi kali ini.

Kudapati tubuhku masih polos dalam balutan selimut. Aroma tubuhmu yang tertinggal. Tetapi, justru di sini aku terkesiap. Seperti mimpi yang membawaku terpental. 'Kamu. Di mana berada? Tak kudapati di sampingku, di sisiku terbaring seperti biasanya. Apakah sekedar mimpi, semalam yang kualami? Namun tidak. Semuanya nyata. Sebab bangunku terlambat. Dan tak lagi kudapati engkau di sampingku dalam lelap atau terbangun menatap atap.

Bergegas aku bangkit merapihkan diri. Tentunya rutinitas mengelap-menyeka tubuhmu dengan air hangat setiap pagi dan mengajakmu berjemur sinar matahari telah terlambat. Cemas tentu menghias. Namun tak urung mataku tertumbuk pada sesuatu di meja sudut kamar, setangkai mawar merah, segar.

"Sungguh aku malu, sebab telah membiarkan waktu berlalu dari besarnya cintamu" selembar surat, sebuah kalimat singkat mencucuk perasaan. Sekelebat getar menjalar. Mencoba menguarkan kabar. Meruapkan lisut penjelasan, bahwa bahagia begitu menyatu dengan derita, seperti seikat misteri nan memburamkan pandangan kenyataan. Semakin langut rasaku ingin segera mendapatimu. Debar ini begitu memburu. Degubku berdengung menjauh.

Bahwa hari ini segala catatan kita tentang hari-hari sebelum ini telah poranda. Perubahan yang tak pernah terlintaskan. Debarku semakin menjalar, seperti ingin menghajar. Degubku semakin menguat, segala pandangan memburam menuju pekat.

Simpul-simpul penjelasan lesat di kepalaku. Ketibaan ini mengingatkan akan keterkejutanku yang tak bisa kuhindarkan dalam semalam. Sebuah keadaan menjulangkan kenyataan asing yang tak sempat bisa kutanyakan. Isyarat yang kelambu ataukah kelabu? Firasat yang tak terunggah dalam ungkapan alamat di kemudian. Bagaimana mata yang mati itu hidup kembali.

Menyorot membicarakan bahasa rasa yang bangkit. Bagaimana garis bibir datar itu mampu menarik lekuk di kedua sudutnya lagi, menjelaskan senyuman. Telah sanggup meringkas ataukah meringkus bibirku dalam kehangatan paling lembut. Dan tangan-tangan diam itu telah beranjak bicara. Menyentuh menggetarkan tubuhku menjadi, kita.

"Aku sangat merindukanmu" engkau meraihku, merengkuhku, tak menyisakan lagi jarak. Sungguh sekali lagi bukan mabuk anggur. Tetapi melebihi itu. Sesuatu baur, sebuah lebur.

Menumbangkan segala kesadaran. Membekapkan segala pertanyaan. Mengaburkan segala pemikiran. Bahwa keadaan telah mendatangiku paksa yang indah. Dalam gagapnya tak siap. Dalam buncahnya harap.

"Jangan lagi memilikiku, agar kau tak pernah kehilangan. Barangkali ini saatnya untuk kita saling melepaskan dalam utuhnya ikatan" nafasmu telah menjadi nafasku, sehingga malam tumpah dengan sangat penuh. Bungah. Sebegitu hidupnya rasa sehingga tak lagi bisa kubedakan warna hidup dan kematian. Percintaan yang terlalu indah itu sesungguhnya mendenyutkan lagi-lagi kesuraman. Seperti alamat pekat yang tak terjabarkan.

"Setelah ini aku pasti akan sangat merindukanmu" peluhmu membenamkanku dalam lelah yang paling indah. Sehingga lelapku begitu menggantung. Percintaan di ambang sadar. Matimu yang bangkit. Nafasku yang terhimpit. Tak sempat segala tanya menjerit. Jawabanpun hanya melintas, hadir seketika lalu pergi tak sempat pamit.

Tersentak kembali aku mengingat semua itu. Bagaimana dalam semalam semua berubah. Engkau dan aku bukan lagi diri kita di hari-hari sebelumnya. Kau tiba-tiba sembuh dari lumpuhmu. Bangkit dari jiwamu yang rubuh. Hilang, berakhir, ataukah bermula kembali? Bergegas aku mencarimu, kekasih, di mana? Namun langkahku terhenti di ruang tengah.

Sebuah lukisan menatapku gundah. Lubang gelap menyedot jiwaku lenyap dari sebuah bahasa nganganya luka. Mencegat nafasku seketika. Rasaku mati. Hidupku berhenti. Dalam kanvas itu bicara, engkau yang terhisap hamparan ombak yang bergulung. Dari gelombang tinggi yang menjemputmu siap mengulum dalam utuh.

Sementara aku mengejarmu dalam terlambat. Seolah jarak tak pernah teraih seberapa banyakpun langkah kakiku mengayuh. Langit memayungi dalam gurat pekat. Samudera itu tetap menelanmu penuh rindu. Aku tak lagi mendapati airmata mengikuti rasaku. Tangisku terlalu penuh, hingga yang ada hanya kelu. Langkah kakiku berlari tak terperi, namun sesungguhnya hanya kesadaran yang terpaku. 'Di mana kamu? Dan lukisanmu ini, apa?

Benar, bahwa hari ini musim telah benar-benar hilang. Bukanlah musim yang bertahun ini aku harapkan untukmu bangun dari tumbang. Sebuah musim yang melenggang. Entah berhenti, bermula ataukah berganti? Kita telah saling melepaskan, demi ketakutan akan rasa kehilangan yang tak pernah sungguh ada menghampiri di hamparan kenyataan.
Tiba-tiba, aku teringat sebuah lagu. Seketika terngiang di pendengaranku tanpa nyata suara. Syairnya mengabarkan cerita. Kisah seorang pelukis insanity yang mati bunuh diri.

"Ini lagu kegemaran saya. Lagu yang didedikasikan untuk Vincent van Gogh" Ya aku tahu. Seorang pelukis aliran ekspresionisme. Aliran pasca-impresionisme Belanda. Kematiannya tragis dalam kondisi sakit jiwa membuat lukisan-lukisannya menjadi karya seni yang terbaik, paling terkenal, dan mahal, tapi justru karena ia sudah tak ada.

Van Gogh dianggap sebagai salah satu pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa justru setelah atau karena kematianya. Dia si pelukis skizofrenia yang menjelang akhir hidupnya tinggal di sebuah rumah sakit jiwa karena kehancuran jiwanya oleh penolakan-penolakan cinta serta karya-karyanya yang tak tergubris sebelumnya. Artis lukis insanity itu akhirnya menyudahi nafasnya, memangkas pendek perjalanan hidupnya. Ataukah memang naskah hidupnya begitu. Tewas menembak diri ataukah tertembak. Yang jelas kau mengagumi penderitaan serta jalannya menuju mati.

Lagu itu terngiang kembali.

 Ya, diiringi lagu itu. Lagu Vincent. Lagu tua yang terasa sangat dalam maknanya bagimu dalam ketika itu yang entah. Engkau pernah menceritakan kisah itu ketika pertama kali kita bertemu dan saling mengenal sebagai seorang murid dan guru lukisnya, pada musim gugur pertamaku di sebuah negeri di mana musim banyak berganti. Wahai engkau, seorang lelaki sepi pada permukaan diri.

Kisah pelukis insane yang akhirnya suicide, begitu membekas dalam pengamatan dan penghayatanmu. Perjalanan hidup penuh badai Vincent van Gogh yang kemudian diabadikan pada sebuah lagu berjudul nama itu sendiri, Vincent.

Dan ternyata, pada akhirnya engkau sendirilah kisah itu.
Engkau kudapati berakhir dengan menembak diri di ladang bunga, setelah membuat karya untuk terakhir kali, sebuah lukisan kematian. Engkaulah kisah itu sendiri, kini, duhai kekasih.

"Penolakan-penolakan cinta, kegagalan-kegagalan mewujudkan bahagia telah membawa sang pelukis insanity depresi dalam jiwa penuh perih. Sehingga berapa kali mencoba bunuh diri. Kejadian memotong satu telinganya. Hingga pada akhirnya Van Gogh mengakhiri hidupnya.    Beberapa mengatakan tertembak dan beberapa memberitakan menembak diri.

Hingga berujung pada kematiannya. Setelah itu lukisannya banyak diburu orang, mengalami masa keemasan justru ketika dia telah tiada. Ketertegunan dan keharuan dunia atas kisahnya, sehingga membuat musisi Don McLean menggubah lagu untuknya."

Iya. Lagu yang hits di era 1970-an di Inggris dan sekitarnya, juga di Amerika. Ya, lagu ini lagu yang begitu kau gilai. Terbayang percakapan di awal pertemuan dan perkenalan kita.

Di latari lagu tua kegemaranmu itu. Sorot matamu dalam, dingin, dan muram. Seperti baik arwah sang pelukis maupun kekuatan magis lagu itu yang menghanyutkanmu menjadi pribadi yang penuh misteri. Lelah mengisimu dari mengurai kisah sangat pilu. Sungguh gelapnya bayangan, meski senyuman tetap kau ulas dalam paksaan.

Penolakan cinta yang begitu besar dalam hidupmu. Kekecewaan mendalam mendapati dia, perempuan yang menolakmu itu melenggang bersama ia, lelaki yang kau tahu berperangai sangat buruk. Kemudian kehidupan perkawinan kita yang tak lain dari lajumu berpelampiasan. Pengalihan perasaanmu darinya kepadaku.

Aku yang kau tahu sangat mengagumimu dari sejak pertama bertemu. Aku yang sangat mendambakanmu dengan kebesaran cintaku sepanjang program belajarku pada seni lukis. Kebersamaan kita sebagai guru dan murid yang kemudian kita bungkus dalam suatu ikatan agung, pernikahan. Bersama mengarungi bahtera seni di sebuah negeri rupawan di benua lain yang selalu kau sebut sebagai negeri bayangan.

Engkau yang mendatangiku demi mengalihkan luka cintamu. Engkau tak bisa menggapai dia. Engkau mengkhawatirkan dia dari ia yang mendapatkannya. Kesemua itu yang menanggungkan penderitaan bagimu. Kekecewaan, kehancuran, atasnya. Juga rasa bersalah karena tak juga sungguh bisa mencintaiku sebagaimana mestinya.

Semakin berkobar rasa bersalahmu manakala karena sebuah salah-paham, dia dihabisi oleh besarnya kecemburuan ia yang menuduh dia dan engkau telah melakukan pengkhianatan atas sebuah pertemuan kalian yang didapati ia. Dia wanita pujaan hidupmu tewas tragis di tangan ia di hadapanmu tanpa berhasil kau hindarkan. Terlebih oleh sebabmu sendiri. Rasa bersalah yang amat besar dan mendalam menyeretmu pada keterguncangan. Tragedi hitam itu begitu keras menghantam benteng pertahanan jiwamu. Sehancur reruntuhan yang melahirkan sunyi. Tak ada lagi sisa-sisa jiwa. Telah mati di sepanjang waktu kita. Engkau dan ia yang berkebalikan namun sepelataran rubuhnya jiwa. Ia yang meraung dalam rusaknya. Sementara engkau berkelung sunyi, hancur tergerus, mati suara.

Mendapatkan dan memperoleh adalah sama-sama sebuah pintu untukmu dan ia menuju kehilangan. Begitupun penerimaanku adalah tak lain dari lubang-lubang penantian tak terjelaskan ukuran. Salah dan dosa bagai bayangan jiwa cinta yang meruap, meraup keadaan. Melukis kenyataan. Menjelaskan, betapa kematian sesungguhnya selalu mengalungi setiap hembusan nafas. Juga tentang ikatan yang tak sungguh mampu menjerat hati, mengatur perasaan, mendadani jiwa dari runcingnya kebebasan.

Pernikahan kita tak serta-merta mengikat hatimu pada hatiku dari hatinya. Pernikahan mereka tak serta-merta membuat ia yakin telah memiliki dia tanpa bayang-bayang kehadiranmu yang terus mendambanya.

Harus bagaimana lagi aku melukiskanmu kini? Kekasih. Guru kehidupanku. Tak lagi ada pewarna atau pemulas yang berkendaraan kuas. Sebab, darahku telah tuntas dalam masih mengaliriku nafas. Aromamu akan selamanya tinggal, sehingga pastilah nafasku selamanya tersengal. Sebagaimana untaian kisah itu mengisi bilik-bilik ingatan yang terpenggal, nyalang terpental.

Aku tak lagi punya musim. Entah hilang, berhenti atau baru mulai?
Sebuah musim telah benar hilang? Segala musim yang menggumuli ingatan. Engkau dan dia adalah kisah kepergian bagiku dan ia, yang tak sungguh benar melangkah. Seperti perjalanan yang tak selalu bertujuan dan menggenggam arah. Tetap dan akan terus tinggal. Sebab, kita telah saling melepaskan dari rasa memiliki yang mengunduhkan kehilangan.

Sebuah musim yang hilang. Pergi, berganti, ataukah baru dimulai kembali? Ya, musim yang tak pernah lagi datang ataukah belum pernah terlahirkan? Selain kenangan yang membalutku dalam teguhnya kesendirian. Sebuah, dan semua musim telah hilang. Menyisakan tajamnya dingin. Sembilu dalam genggaman...

  Starry, starry night
Paint your palette blue and gray
Look out on a summer's day
With eyes that know the darkness in my soul
Shadows on the hills
Sketch the trees and the daffodils
Catch the breeze and the winter chills
In colors on the snowy linen land

Now I understand what you tried to say to me
And how you suffered for your sanity

For they could not love you
But still your love was true
And when no hope was left inside
On that starry, starry night
You took your life as lovers often do

A silver thorn, a bloody rose
Lie crushed and broken on the virgin snow
.....
Satu dari sekian banyak malam-malam kita yang berbintang, adalah yang sangat berbintang. Memabukkan dari bangkitnya gairah yang tumbang. Malam terakhir ataukah pertama mulai? Yang mengantarkan pada pagi yang paling berderai. Entah airmata ataukah darah? Semerah mawar pertama dalam terakhir. Jiwa benderang yang digelapkan kenangan.

Jiwa cinta nan utuh yang diruntuhkan ketidak-sanggupan jemari meraih matahari pada pagi yang lain. Dan lagu itu telah merasuki jiwamu. Menuntunmu pergi mencari sebuah musim yang belum sempat terlahir namun telah sanggup hilang, bermula ataukah berakhir? Kelu pesan penuh kesan. Mengutuhkan jiwamu dalam pembebasan...

                                      ***
Nadya Nadine, Banjarmasin, 28 Mei 2013, (terinspirasi kisah Vincent van Gogh).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun