Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sebuah Musim yang Hilang

1 Desember 2019   16:20 Diperbarui: 2 Desember 2019   06:02 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di mana wanita tersebut pula adalah yang tidak berhasil kau dapatkan, dan mengantarkanmu ke pangkuanku dalam wujud pengalihan rasamu yang runtuh tak bersambut itu. Ia yang telah mendapatkan, tak lebih baik darimu yang tak memperoleh wujud pengharapan. Tenangkanlah hatimu kekasih. Aku bersamamu selalu,    yang telah bersedia mengerti.

Dia sungguh jelita. Serupa puisi yang membawa jiwa sesiapa mabuk tak terelakkannya. Tetapi dia rembulan yang jauh dari keterpijakan bumi. Dia juga matahari yang apabila kau tatap akan menyilaukan bahkan membutakan matamu oleh sebab benderangnya tak terkatakan arti. Dia adalah bintang yang begitu jauh hingga kerap hilang dari pandangan. Terselip langit dan terselubung awan hitam. Dialah dongeng di kala malam memuram. Dialah pelangi yang hadir setelah hujan reda di pagi hari. Di mana indahnya tak pernah sungguh lama mengecup mata. Dia udara yang memberi nafas bagimu tanpa terlihat tanpa terasa kehadirannya yang adalah anganmu dalam memendam rasa pun asa. Sehingga apabila dia pergi, nafasmu pun berhenti. Berakhir. Mati.

Penolakannya, penolakan orang-orang di sekitarnya yakni keluarganya telah melukakanmu, jatuh dalam sunyi. Sementara penerimaannya telah membunuh ia menjadi hingar-bingar manakala pengkhianatannya menusuk jantung hidup. Ia mengunduh riuh. Maka engkau, dia, dan ia, adalah tuturku dalam berkisah. Sementara diriku mengusung kesetiaan dalam berkarat, atasmu yang tak mampu kujerat. Sekalipun dalam jalinan terikat.

Engkau redup tak pernah lagi menyala. Terdampar di keasingan terlantar. Manakala, dia tewas di tangan ia dan terjadi begitu saja di hadapanmu sejelasnya dalam gagalmu menghindarkannya. Gagalmu menyelamatkannya. Ia yang tak kuasa menyadari pengkhianatan cinta, manakala mendapatimu dan dia berdua-dua. Kisah samar. Salah atas paham. Cerita kelambu. Alur cinta yang bernoda menyisakan tragedi sangat kelabu.

Sekali lagi, manusia menderita oleh karena mendapatkan dan tidak mendapatkan sesuatu. Dia. Yang telah tinggal cerita. Menjulang muramnya kisah. Dalam silang kejelasan, remang kebenaran. Engkau tak hanya redup, engkau tak hanya kuyup, dalam mendemamkannya, engkau telah tutup meski nganga kenyataan masih murub.

Rasa bersalah nan besar itu menggerogoti jiwamu dalam kerusakan yang melampaui rasa sakit. Sementara ia tak jauh beda. Ia yang telah lama juga terobsesi olehnya, berubah pecah riuh meruyak gaduh dalam setelah menyingkirkannya diantara ambang kesadaran. Engkau, dia, dan ia, mengisi hari-hariku menyusun jiwaku dalam bermusim. Yang datang dan pergi hanya menyisakanku sekabut tajamnya dingin.

Dini hari. Engkau kerap terbangun tanpa rintih. Keringat dingin membasahi. Nafasmu dalam letih. Kudekati, kudekapi. Bahwa cintaku besar meski tak pernah kau sadari. Bahwa kasihku luas tergelar untukmu melepaskan diri dari segala jerat sakit kerat pedih. Kubasuh wajahmu dengan rasa hangat. Sesuatu yang selalu kulakukan agarmu terlantarkan rasa harap.

Bahwa esok itu hanya satu hari dari saat ini. Maka kuminta bertahanlah sampai saat itu tiba. Sebuah musim akan hilang dari sakitmu yang reda. Musim di mana suara mengantarkan bahasa. Agar kau mampu menyulam kisah itu kembali dengan kata-kata. Memulai rona hidup. 

'Bicaralah...'

Segelas susu hangat dengan sedikit gula. Kuharap akan meredakan cemas dan mengusir gelisah. Mari, hangatkanlah tubuhmu agar beku tak meretakkanmu. Percayalah padaku, musim bagimu akan berlalu. Hilang di akhir pandangan.
Lagi. Kubelai anak- anak rambut di dahimu. Kukecup wajahmu, sayu meremas jantungku. Lelaplah kembali. Aku akan membangunkanmu esok hari. Saat pagi menepi. Mengantarkan sebuah musim yang akan melenggang pergi...

                                       ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun