Bagaimana mungkin ada kejahatan dan kekejian seperti itu di sekitar kita, Hanida. Jika kau mendengar dan melihatnya pasti engkau akan bergidik ngeri. Begini ini, aku jadi mencemaskanmu Hanida. Dimana kamu berada? Mengapa telah begitu lama engkau tak mengabariku? Tidakkah engkau merindukanku?
Beberapa kali aku mengunjungi club judi tempatmu bekerja. Tapi semua orang mengatakan hal yang sama : kamu sudah pulang ke Indonesia. Dan tak satupun orang mengetahui kontak terbarumu. Seperti dunia ini telah kembali ke jaman batu. Karena aku juga berasal dari negeri yang sama denganmu Hanida bahkan di kota yang sama tapi tak menemukanmu.
Barangkali engkau telah melupakanku Hanida. Barangkali engkau telah beroleh tempat berbagi yang baru. Mungkin engkau jatuh cinta, atau seseorang yang mencintaimu sedemikian rupa, sehingga tak bisa membuatmu menyisakan sedikit saja tempat di hatimu untukku, bahkan untuk kenangan kita, kenanganku akan dirimu yang tak mungkin kulupa.
Sedemikian mudahnyakah bagimu merajut perhitungan masadepan Hanida. Bukankah kau pernah berkelakar bahwa kau lebih menyukai ilmu sejarah daripada ilmu pasti. Itu karena bagimu lebih mudah melongok masa lalu daripada membangun masadepan yang tak pasti. Dan tentu saja aku memarahimu untuk selorohmu itu, sebab bagaimanapun juga aku lebih mengharap kamu terus melangkah ke depan, merajut masa depan, menghadapi kenyataan daripada menjelujuri masa silam yang telah tersuruk di gudang kenangan.
Hanida. Pada pertemuan terakhir kita, kau bilang berharap kita akan bertemu kembali di sebuah masadepan. Meskipun saat itu mungkin kita sudah tidak lagi muda, tetapi kau istilahkan itu saat kita matang.
Maka, lupakanlah berita mengerikan pagi ini, sekalipun perasaanku tak menentu sejak pagi. Berita tentang perempuan setengah baya yang ditusuk-tusuk oleh pembunuh misterius hingga mati. Lupakan, kita bisa memilih, berita apa yang kita senangi dalam begitu banyaknya pilihan berita mengenai kenyataan yang memapar sehari-hari.
                   ***
Tetapi hari masih belum matang, ketika tiba-tiba ponselku berdering. Suaramu di seberang sana. Hanya "halo" sejenak, kemudian "tolong datanglah King, temui aku di Raflesh hospital, penting sekali". Dan telpon dengan nomor terbarumu ditutup, mati. Sesaat kesadaranku pudar meremang ke belakang di saat-saat kita berada di tempat judi.
Sambil melenggang tetapi jujur degub jantungku memacu, aku mencoba mengingat kembali. Telah dua tahun kita tak bersua Hanida. Perempuan terkasih yang sulit kuraih. Rambutmu yang ikal seperti gelombang samudera. Keemasan seperti cahaya senja. Matamu yang teduh seperti danau hijau yang menyimpan legenda. Lalu senyum indahmu yang membungkus ribuan misteri sekaligus. Perawakanmu yang selembut dan seramping bidadari. Perkenalan kita yang tak pernah sungguh telanjang, seperti musim yang datang silih-berganti.
"Jangan mengharap kehadiranku yang tak pasti. Sebab aku seorang pengelana yang didahagakan oleh pengalaman menyusuri seluruh lekuk dunia ini" pesanmu selalu mewanti-wanti.
                  ***