Pemberontakan Darul Islam di Aceh adalah satu-satunya pemberontakan Darul Islam (dari 5 pemberontakan dengan motif serupa di Indonesia) yang bisa diselesaikan dengan cara kompromi politik. Hal ini dimungkinkan oleh adanya Dewan Revolusi di dalam tubuh Darul Islam Aceh di bawah pimpinan Amir Hoesin Al-Moedjahid yang telah diprakarsai oleh Hasan Saleh.
Berbeda dengan perjuangan politik Negara Islam lain yang diilhami Darul Islam, perjuangan yang khusus ini berakhir secara damai melalui permusyawarahan ketimbang kekalahan militer. Peristiwa ini terjadi sesudah Pemerintah Pusat pada 1959 akhirnya memenuhi tuntutan yang gigih dari rakyat Aceh dan memberikan daerah itu status Provinsi Istimewa, dengan otonomi di bidang agama, hukum adat, dan pendidikan (hlm. 355). Musyawarah adalah norma politik penting masyarakat Aceh, dan panitia MKRA kembali mengingatkan bahwa “buet mupakat beu tadjundjong, bek meukong-kong ngon sjeedara” (hasil mufakat harus kita junjung dan jangan berkelahi dengan sesama saudara).
Penulis menyampaikan peristiwa secara jelas dan utuh. Gaya bahasa yang digunakan oleh penulis mudah dipahami. Selain itu, informasi yang diperoleh oleh penulis buku tidak hanya dari sumber sekunder, tetapi juga menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam lagi.
Selain itu, penulis buku merincikan kronologi peritiswanya berdasarkan tanggal, sehingga pembaca dapat mengetahui dan memahami kronologi peristiwanya. Sayangnya design cover buku terlalu polos sehingga rasanya kurang menarik, maka tak jarang banyak orang mengasumsikan bahwa buku ini tidak memiliki pembahasan yang asyik dan tergolong buku terbitan lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H