Mohon tunggu...
Nadya Nabila
Nadya Nabila Mohon Tunggu... Lainnya - Maahasiswa

Mahasiswa semester akhir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Negara Islam di Aceh

21 November 2020   06:16 Diperbarui: 21 November 2020   06:17 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dok. pribadi

IDENTITAS BUKU

Judul Buku : DARUL ISLAM DI ACEH: Analisis Sosial-Politik Pemberentoakan Regional di Indonesia, 1953-1964

Penulis Buku : Ti Aisyah, Subhani, dan Al Chaidar

Penerbit Buku : Nanggroe Aceh Darussalam, Unimal Press

Tebal Buku : 384 Halaman

Tahun Terbit : 2008

Peristiwa DI/TII Aceh merupakan satu peristiwa penting dan menjadi ironi dalam sejarah Aceh setelah kemerdekaan. Peristiwa yang berlagsung selama tiga tahun pasca berakhirnya Revolusi Kemerdekaan ini dipimpin oleh tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam masa revolusi dan juga didukung oleh kebanyakan rakyat Aceh. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1953 ini sebagai bentuk protes rakyat Aceh terhadap Pemerintah Pusat (Indonesia) yang dianggap sudah tidak bisa dipercaya dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. SM Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 di Malangbong, Garut, Jawa Barat.

Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh besar dibalik Negara Islam Indonesia alias Darul Islam, untuk pertama kalinya dia mensosialisasikan proklamasi sebagai tanggapan terhadap kecenderungan Republik Indonesia ke arah sekuler dan komunis, serta merupakan upaya mewujudkan cita-cita teologis umat Islam yang telah sejak lama tertunda dari 1945 hingga pada 7 Agustus 1949 Kartosoewirjo berhasil memproklamirkannya di Jawa Barat. Di Aceh sendiri, belum ada langkah strategis untuk memproklamasikan berdirinya sebuah negara Islam.

Kartosoewirjo adalah seorang pemimpin pergerakan umat Islam yang semenjak zaman Hindia Belanda telah lama (mulai 1934-1942) mencita-citakan berdirinya suatu negara Islam di Indonesia. Ia telah dari sejak awal mengumpulkan para pengikutnya untuk melawan Belanda dan berjuang secara non-cooperatif  dan tidak mau melalui parlemen (volksraad) (hlm. 15).

Pada awal tahun 1953, Teungku Daud Beureu`eh ber-bai’at untuk jihad menegakkan Negara Islam Indonesia di Aceh. Abdul Fatah Wirananggapati sendiri yang melakukan bai’at tersebut. Teungku Beureu`eh tidak meminta untuk dibai’at oleh SM Kartosoewirjo, karena bergabungnya dia ke dalam barisan Darul Islam bukanlah karena kultus individu terhadap SM Kartosoewirjo.

Ketika Daud Beureu`eh setuju mendukung Darul Islam dan membawahkan Aceh pada NII, maka Abdul Fatah Wira nanggapati pun pulang ke Jawa Barat membawa berita gembira ini kepada SM Kartosoewirjo nun jauh di sana, di pegunungan yang sunyi tempat ia bersembunyi dan melawan negara RI di suatu tempat yang disebut “Madinah Indonesia” (hlm. 367). Tidak banyak yang tahu bahwa Darul Islam di Aceh adalah bagian dari gerakan Darul Islam yang diproklamasikan oleh S.M. Kartosoewirjo di Jawa Barat

Pemberontakan Darul Islam di Aceh adalah satu-satunya pemberontakan Darul Islam (dari 5 pemberontakan dengan motif serupa di Indonesia) yang bisa diselesaikan dengan cara kompromi politik. Hal ini dimungkinkan oleh adanya Dewan Revolusi di dalam tubuh Darul Islam Aceh di bawah pimpinan Amir Hoesin Al-Moedjahid yang telah diprakarsai oleh Hasan Saleh.

Berbeda dengan perjuangan politik Negara Islam lain yang diilhami Darul Islam, perjuangan yang khusus ini berakhir secara damai melalui permusyawarahan ketimbang kekalahan militer. Peristiwa ini terjadi sesudah Pemerintah Pusat pada 1959 akhirnya memenuhi tuntutan yang gigih dari rakyat Aceh dan memberikan daerah itu status Provinsi Istimewa, dengan otonomi di bidang agama, hukum adat, dan pendidikan (hlm. 355). Musyawarah adalah norma politik penting masyarakat Aceh, dan panitia MKRA kembali mengingatkan bahwa “buet mupakat beu tadjundjong, bek meukong-kong ngon sjeedara” (hasil mufakat harus kita junjung dan jangan berkelahi dengan sesama saudara).

Penulis menyampaikan peristiwa secara jelas dan utuh. Gaya bahasa yang digunakan oleh penulis mudah dipahami. Selain itu, informasi yang diperoleh oleh penulis buku tidak hanya dari sumber sekunder, tetapi juga menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam lagi.

Selain itu, penulis buku merincikan kronologi peritiswanya berdasarkan tanggal, sehingga pembaca dapat mengetahui dan memahami kronologi peristiwanya. Sayangnya design cover buku terlalu polos sehingga rasanya kurang menarik, maka tak jarang banyak orang mengasumsikan bahwa buku ini tidak memiliki pembahasan yang asyik dan tergolong buku terbitan lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun