Saat bersama anak-anaknya saja dan saat ada kehadiran orang lain di sekitar mereka. Para ibu yang seringkali tak bisa mengendalikan amarahnya. Saat berada di keramaian, mereka dapat mengontrol amarah. Namun saat berdua saja dengan anaknya, mereka tak bisa menahannya.
Masalahnya, mereka akan lebih marah saat berpikir dirinya tak dapat mengendalikan diri sendiri. Mereka dapat bersabar dalam situasi ada banyak saksi atau ada orang yang ditakuti. Namun, bila lawannya mudah dihadapi dan tempatnya aman, mereka bahkan tak berusaha untuk menahan diri dan langsung meledak. Karena itu, mereka
bisa marah kepada keluarga. Inilah yang kita pikirkan saat menghadapi amarah
Kamu membuatku marah. Kamu membuatku gila dan mengabaikanku.
Jika perspektif di atas diubah, kata-kata dan tindakan yang muncul juga bisa sangat berbeda. Misalnya sebagai berikut:
Iya, aku marah, sangat marah. Ada amarah di hatiku sekarang.
Dua pikiran Ini tampak sama saja, yaitu perasaan dalam situasi sedang marah. Namun, keduanya memiliki perbedaan besar dalam cara menghadapi amarah.
Yang pertama, kita menyadari ada amarah di dalam diri kita, namun menganggap orang lain sebagai penyebabnya. Sedangkan yang kedua, kita menyadari adanya amarah yang sumbernya dari diri kita sendiri. Artinya, kita melihat dengan tepat bahwa ada amarah di
suatu tempat dalam tubuh kita.
Tiga tanda dari amarah
Penting untuk menentukan bisa atau tidaknya kita mengontrol amarah.
Bayangkanlah saat kita sedang memarahi anak, lalu tiba-tiba guru sekolahnya menelepon. Walaupun sedang marah, kita pasti akan menjawab telepon dengan mengubah suara menjadi lembut dan berkata, "Halo".
Jika sang guru menelepon untuk memuji anak, bagaimana kita memperlakukan anak setelah menutup telepon? Lalu, apakah yang kita lakukan jika sang guru khawatir atau mengeluh tentang anak? Apakah kita akan bertindak sama seperti sebelumnya atau berbeda?
Sebelum ada telepon masuk, mungkin kita masih percaya bahwa kita tak bisa mengontrol amarah. Namun, setelah menutup telepon dan mendengar pujian tentang anak, harus kita akui bahwa amarah kita mereda. Keyakinan bahwa kita tak bisa mengontrol amarah baru saja terpatahkan. Kita mengakui bahwa emosi kita telah berubah. Jadi, siapa pun bisa mengubah pikiran dan mengatasi amarah.