Ketika mendengar kata kampus, tentu kita akan terbayang suasana lingkungan yang ramai dengan mahasiswa lalu-lalang, tempat terjadinya proses belajar, atau suasana sukacita acara wisuda, dan lain sebagainya. Namun, kampus yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu bagi mahasiswa, kini tak jarang tempat tersebut berkonotasi "menyeramkan", bahkan Komnas Perempuan mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling tinggi terjadi di universitas.Â
Bagaimana tidak, tenaga pendidik atau dosen yang seharusnya memberikan contoh yang baik, justru berbalik menjadi sosok "monster" yang menyeramkan dan menyerang para korban. Pelecehan seksual atau yang sering dikenal dengan istilah sexual harassment bukan suatu hal yang jarang dijumpai lagi, terlebih korbannya adalah perempuan yang seringkali dianggap lemah. Meski demikian, pelecehan seksual dapat terjadi juga pada laki-laki.
Menurut Sihombing (2016), pelecehan seksual merupakan bagian dari diskriminasi seksual. Berbagai negara telah membuat peraturan agar tidak lagi terjadi seksisme dan diskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Namun, sayangnya masih banyak sekali laporan mengenai terjadi pelecehan seksual dalam dunia pendidikan, khususnya di perguruan-perguruan tinggi.Â
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kasus pelecehan seksual adalah kasus yang terkait dengan perlakuan seseorang terhadap orang lain, terutama lawan jenis dengan kekerasan seks, seperti perkosaan dan tindakan pelampiasan nafsu berahi.Â
Komnas Perempuan mengatakan pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Singkatnya, pelecehan seksual dapat diartikan sebagai bentuk tindakan menyerang dan merugikan, menghina, atau memandang rendah seseorang, baik dilakukan secara fisik maupun non-fisik karena hal-hal yang berkaitan dengan seks, jenis kelamin, atau aktivitas seksual.
Pelecehan seksual dapat terjadi secara verbal atau non-verbal. Hal tersebut berarti pelecehan seksual tidak serta-merta selalu terjadi karena pelaku menyentuh korban atau lebih parahnya memperkosa, tetapi hal kecil seperti cat calling pun dapat dikatakan sebagai pelecehan seksual.Â
Bahkan, pelaku cat calling seringkali beralasan "hanya iseng saja" dan menganggap remeh kejadian tersebut. Tentu, dari situlah suatu hal kecil dapat menjadi masalah besar yang tidak berkesudahan. Ya, pelecehan seksual di Indonesia ini tidak ada habisnya. Hal tersebut dapat terjadi salah satunya karena korban tidak mau melapor, istilah lainnya tidak mau speak up.
Jika dilihat dari seberapa bahaya dampak dari pelecehan seksual ini, pasti siapapun akan geram terhadap pelaku pelecehan seksual. Masalahnya, pelecehan seksual dapat memberikan berbagai dampak negatif terutama menimbulkan gangguan pada mental korban, yaitu korban merasa terhina, malu dan takut untuk melapor, merasa terintimidasi, merasa bersalah, menurunnya motivasi dalam melakukan aktivitas, dan timbul gejala-gejala psikologis seperti depresi, gelisah, dan gugup. Tak jarang, korban merasa dirinya tidak berharga lagi dan putus asa. Pada tingkat depresi yang berat, banyak korban memilih jalan pintas dengan mengakhiri hidup atau bunuh diri.
Lalu, mengapa kebanyakan korban pelecahan seksual tidak mau melapor atau setidaknya speak up? Berikut beberapa alasan mengapa korban pelecehan seksual lebih memilih bungkam:
1. Korban Merasa Malu
Ketika mengalami suatu pelecehan, korban cenderung merasa bahwa dirinya hina, malu, dan merasa apa yang terjadi adalah suatu aib. Bahkan, banyak korban yang justru telah bercerita kepada keluarganya, tetapi tidak digubris dan dipaksa untuk diam saja. Keluarga korban malu jika nanti hal tersebut diketahui oleh banyak orang dan menjadi bahan perbincangan.
2. Korban Dipenuhi Rasa Takut dan Mendapat Ancaman dari Pelaku
Rasa takut tentu akan selalu menghantui para korban pelecehan seksual. Tak jarang, para pelaku memberikan ancaman yang justru membuat nyali korban semakin ciut. Apalagi melihat banyak kasus pelecehan seksual dilakukan oleh tenaga pendidik atau dosen kepada mahasiswi, kekuasaanlah yang menjadi benteng penghalang bagi korban untuk melapor. Jika becermin dari kasus pelecehan seksual yang sebelumnya banyak terjadi, para korban cenderung akan menyerah sebelum berperang karena kebanyakan pihak kampus memaksa korban untuk berhenti menyuarakan haknya, demi reputasi kampus.
3. Stigma Masyarakat
Mengapa para korban lebih memilih untuk bungkam? Bukan hanya tidak mau, melainkan tidak mampu. Ketidakmauan dan ketidakmampuan itulah yang dipengaruhi oleh stigma yang berkembang masyarakat. Perempuan korban pelecehan seksual seringkali diaganggap sebagai "perempuan penggoda" atau "perempuan nakal". Masyarakat menganggap bahwa terjadinya pelecehan seksual tersebut disebabkan oleh korban itu sendiri. Entah dari pakaian apa yang dikenakan korban, entah karena pulang malam sendirian, dan lain-lain. Padahal, banyak dari mereka yang tertutup bahkan bercadar pun tetap mendapatkan pelecehan seksual. Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa pakaian bukanlah tolok ukur terjadinya pelecehan seksual, tetapi pada dasarnya memang si pelaku saja yang salah tempat dalam melampiaskan hawa nafsunya.
4. Ketidaktahuan dalam Melapor
Di samping ada yang tidak mau speak up, ternyata banyak juga korban pelecehan seksual justru memiliki keberanian untuk melapor, tetapi mereka tidak tahu bagaimana caranya. Jika ingin melapor langsung, lembaga yang paling mudah dijumpai adalah kantor polisi. Namun, jika Anda berada dalam lingkungan pendidikan, seperti kampus, Anda dapat melapor kepada satgas khusus yang dibentuk di tiap kampus sesuai dengan peraturan yang diterbitkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Teknologi, Nadiem Makarim, mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi. Â Satgas tersebut memiliki tugas untuk melindungi dan mendampingi korban, menindaklanjuti laporan, dan merekomendasikan sanksi bagi pelaku. Selain itu, satgas juga akan memfasilitasi pemulihan korban, mendampingi hingga proses pemulihan selesai.
Kesimpulannya, pelecehan seksual merupakan salah satu kasus yang tak akan ada habisnya jika dibiarkan terus menerus. Kesadaran dan kepekaan kita sebagai masyarakat perlu ditumbuhkan mengingat tingginya kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia. Selain itu, perlu adanya keberanian dari pihak korban untuk melapor. Ketika kita melihat atau mendengar bahwa orang lain atau orang terdekat mengalami pelecehan seksual, usahakan dengarkan apa yang mereka ungkapkan, jangan menghakimi, dan bantulah jika mereka tidak cukup berani untuk melapor.Â
Dengan speak up ketika melihat, mendengar, atau mengalami kasus pelecehan seksual, diharapkan para pelaku pelecehan seksual mendapatkan hukuman yang setimpal dan korban mendapatkan keadilan. Dengan demikian, speak up yang kita lakukan dapat menyelamatkan calon korban di luaran sana sehingga pelecehan seksual yang mungkin akan terjadi dapat kita cegah. Jadi, jangan takut speak up!.
Referensi:
1. Alpian, R. (2022, Januari). Perlindungan Hukum bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. 7 No.1.
2. Ishak, D. (2020). Pelecehan Seksual Di Institusi Pendidikan: Sebuah Perspektif Kebijakan. Jurnal Ilmiah Nasional, 2 No.2.
3. Iskandar, W., Azizah, N., & Satriani, S. (2022). Pengaruh Pelecehan Seksual Terhadap Mental Siswa di Duta Pelajar Gowa. Jurnal J-BKPI, 02 No.01.
4. Noor, I. R., & Hidayana, I. M. (2012). Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Jakarta: Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPN APINDO).
5. Noviani P, U. Z., Arifah K, R., Cecep, & Humaedi, S. (2018, April). Mengatasi dan Mencegah Tindak Kekerasan Seksual pada Perempuan dengan Pelatihan Asertif. Jurnal Penelitian & PPM, 5.
6. Putri, D. J. (2019, Agustus). Konsep Diri Perempuan Pasca Mengalami Kekerasan Seksual dalam Pacaran. Skripsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H