Program kuliah kerja lapangan merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa dengan terjun langsung dalam masyarakat untuk memperoleh informasi yang belum diketahui di Kampus. Program Kuliah Kerja Lapangan menjadi program wajib di Universitas Negeri Malang khususnya Fakultas Ilmu Sosial, Departemen Hukum dan kewarganegaraan, Prodi S1 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Sehingga setiap mahasiswanya wajib mengikuti Kuliah Kerja Lapangan yang diadakan dengan mengusung tema kebudayaan. Bertemakan kebudayaan mahasiswa HKN memilih Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Bali sebagai destinasi pengenalan dan pembelajaran mengenai kebudayaan setempat.Â
Pada tanggal 15 Oktober 2024, Mahasiswa HKN melakukan kunjungan ke salah satu destinasi Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang ke Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengenal kebudayaan yang berada di Desa Adat Tenganan yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Serangkaian kegiatan yang dilakukan adalah sharing season bersama Kepala Dusun dan eksplorasi mandiri di lingkungan desa. Sharing season dilakukan untuk mengetahui kebudayaan dan adat istiadat yang di terapkan di Desa Tenganan Pegringsingan yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun dan turun-temurun.
 Desa Adat Tenganan Pegringsingan adalah desa yang masih memegang teguh hukum adat yang sudah diturunkan oleh nenek moyang sampai saat ini. Desa Adat Tenganan Pegringsingan berasal dari dua kata "Tenganan" yang berarti tengah dan "Pegringsingan" yang berarti kering dan asing". Desa ini diyakini telah berdiri pada sebelum aban ke 11 dan merupakan pemberian dari Dewa Indra atas kesetiaan dan kepandaian leluhur Tenganan. Desa Adat Tenganan Pegringsingan terdiri dari lima dusun, tiga desa adat, dan menjadi satu wilayah administrasi. Jumlah penduduk desa ini keseluruhan terdiri atas 300 Kartu Keluarga dan 1.000 jiwa. Luas desa adat Tenganan ada 1972 hektar yang terdiri dari hutan adat seluas 591 hektar, dan sisanya pemukiman.
 Pekerjaan penduduk Desa Tenganan Pegringsingan awalnya adalah seorang petani yang kemudian berubah menjadi wiraswasta semenjak pariwisata masuk di Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Meskipun begitu, masyarakat tetap menjalankan pertaiannya sehingga terdapat dua pencaharian di desa tersebut yaitu sebagai petani dan sebagai wiraswasta. Hasil dari pertanian pun di Desa Tenganan Pegringsingan dibagi secara adil sebesar 50% untuk petani penggarap dan 50% untuk pemilik lahan.Â
Desa Adat Tenganan ini unik karena struktur dan pengelolaan desa yang berbeda dengan desa lain sampai dijuluki sebagai "The Republic of Tenganan" karena struktur dan pengelolaannya hampir mirip dengan sebuah provinsi. Susunan organisasi masyarakat terdiri dari 5 orang Luwangan (sesepuh), 5 orang Klan Desa (Ketua desa adat), 5 orang Barang Tebehan, dan masyarakat lainnya sebagai tambalambung (sie perlengkapan). Penentuan struktur masyarakat didasarkan pada perkawinan, artinya yang menikah lebih dulu akan turun jabatannya dan akan diganti oleh pengantin yang baru. Untuk menghindari nepotisme, Desa Adat Pegringsingan memiliki aturan bahwa yang menjabat adalah warga asli (Pria dan Wanita) dari desa adat. Sehingga warga dari luar desa adat tidak dapat menjabat di struktur organisasi masyarakat. Oleh karena itu Desa Tenganan Pegringsingan menganut pernikahan endogami.Â
Hal unik selanjutnya adalah struktur rumah adat di Desa Tenganan Pegringsingan yang terdiri dari 6 pola atau ruangan. Ruangan yang pertama disebut Baleuke yaitu sebagai tempat persembahyangan kepada leluhur. Ruangan yang kedua disebut Sanggah atau biasa disebut sebagai teras. Ruangan yang ketiga disebut Bale tengah yang terdiri atas dua lantai, lantai atas sebagai bale kematian dan lantai bawah sebagai bale kelahiran. Sehingga apabila ada salah satu dari keluarga yang mengalami peristiwa kematian atau kelahiran akan disemayamkan atau menetap di salah satu bale tersebut sementara waktu. Selanjutnya ruangan keempat disebut umah manten yang digunakan untuk prosesi pernikahan. Kemudian ruangan kelima disebut dapur yang di dalamnya harus ada tungku kayu bakar untuk menyembah Dewa Brahma selama 15 hari. Bagian terakhir yaitu kamar mandi.Â
Selain struktur rumah adat yang unik, peraturan di Desa Adat Tenganan Pegringsingan pun juga unik salah satunya adalah larangan penebangan pohon yang masih hidup. Masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan dilarang untuk menebang pohon yang masih hidup baik di lahan pribadi ataupun umum. Penebangan harus dilakukan atas seizin petinggi desa adat dan pohon yang ditebang harus pohon mati. Aturan ini telah diterapkan selama Desa Tenganan Pegringsingan berdiri dan sampai sekarang dengan sanksi yang tegas bagi pelanggar. Â
Pelarangan menebang pohon yang hidup ini sejalan dengan dengan Sustainable Development Goals atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan nomor 15 yaitu kehidupan di atas darat (Life of Land). Hal ini dilakukan untuk melindungi dan memulihkan ekosistem daratan terutama pohon. Adanya peraturan penebangan pohon di Desa Adat Tenganan Pegringsingan menandakan bahwa masyarakat desa telah melaksanakan tujuan pembangunan berkelanjutan.Â
 Selain mengandalkan pertanian dan pariwisata, masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan memiliki produk masyarakat berupa kain tenun geringsing. Kain tenun ini telah terkenal sampai ke mancanegara melalui kegiatan KTT G20 yang digunakan sebagai cendramata. Kain tenun ini memiliki pola horizontal dan vertikal yang terdiri dari beberapa warna yaitu warna biru, hitam, merah, dan putih. Kain tenun ini menjadi produk unggulan masyarakat desa Adat Tenganan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H