Sunyi tanpa sajak yang membekas. Jejak kita yang tertinggal di sebuah catatan senja. Himpunan kata yang pernah kita ciptakan. Sesaat kita memutar waktu untuk saling mengingati kisah kita.
Ingatkah saat kita saling berpapasan? Menepi di sebuah keadaan yang tak kan pernah jauh. Titip semua luka kepada rindu yang selalu mendampingi. Tawa, tangis, telah kita lalui bersama.
Jari-jemari yang pernah bersatu. Rangkulanmu membuat jiwa ini tenang. Hati yang pernah tersakiti sesaat menjadi lega. Akar kata yang pernah diucapkan kala itu, tak puas rasanya jika kita belum membuat akhir cerita. Sesaat kumerenungi sebuah kenangan.
"Bila kau masih diam tanpa kata, aku akan tetap di sini. Bila kau berbicara kepadaku, aku siap mendengar suaramu, Deri," tukasku kepada Deri.Â
"Diana, masih bertahan kamu denganku? Sudah aku katakan padamu, aku akan meninggalkan luka. Namun, kamu masih bertahan denganku. Jangan berharap padaku yang telah membuatmu menangis di sepanjang malammu," jelas Deri kepadaku.
Air mataku tak terasa telah jatuh detik demi detik. Biarkanlah luka yang selalu bersamaku. Kita telah menorehkan hati. Sebentar saja yang aku inginkan padamu waktu itu. Semua telah hilang.Â
"Kamu tidak bisa mengatakan itu padaku, Deri. Seharusnya kita melawan keperihan hati. Kita bukanlah sebuah catatan. Kita sebuah kisah baru yang akan kita jalani sampai Allah memberkati kita. Seharusnya kita saling menggenggam, kita seharusnya memiliki harapan yang sama. Pahamilah kata-kataku ini, Deri."
"Kamu dan aku tidak sejalan. Biarkan waktu yang berjalan sesuai alurnya. Kita hanya sebatas pengisi waktu yang berjalan. Kamu bagaikan jarak yang bisa mengubah sebuah garis khatulistiwa. Kita tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya. Jika Allah tidak berkehendak untuk kita, aku dan kamu sebagai cerita sementara."
Hujan mulai turun membasahi dataran. Petir mulai bergemuruh. Angin mulai mengembus dengan arah yang disukainya. Pohon telah bergoyang sesuai arah mata angin. Kita, hanya menjadi sebuah kesimpulan tak ada arti.
Setidaknya aku pernah berjuang, batinku.
 Dia pergi meninggalkanku. Langkah kakinya begitu ringan.Â
"Selamat tinggal, Diana."
Meringis hatiku ketika kau mengucapkan seperti itu. Dengan mudahnya kau menyelami luka ini. Semua telah kau ungkapkan. Pada dedaunan mulai berjatuhan. Jantungku seketika berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Hati telah tersayat karena ucapanmu. Alasan yang tidak jelas meninggalkanku begitu saja. Kita hanya sebatas perahu kertas yang mulai berlayar ke dermaga. Kita bukanlah kapal selam yang bisa menyelam di lautan luka. Kita juga bukanlah segilintir kertas yang siap diterbangkan. Kita juga bukan sebuah kotak misteri, tapi kita sebatas angan yang berlebihan.
Suara yang dulu pernah kudengar, kini telah hilang. Lengkungan senyum yang merekah di hadapanku, kini telah menjadi bayangan. Tawa yang pernah kita ciptakan, kini silih berganti menjadi tangis. Sendu yang pernah kita adu, telah menjadi masa lalu. Harapan yang pernah kita buat, kini telah menjadi sepenggal noda.
Coba saja kala itu kau memberi alasan yang jelas kepadaku, aku kan mengerti. Sampai detik ini kau masih menyembunyikan sebuah hal dariku. Tiada terkesan cerita kita kemarin. Aku tak pandai barandai-andai. Aku yang telah menebus segala kesetian. Aku telah mengucapkan kebahagian. Aku yang telah melirihkan sebuah doa. Sekali lagi, aku masih butuh alasanmu.
Duduk di sebuah kursi antik. Menikmati secangkir teh hangat. Menikmati pemandangan yang begitu tenang. Aku telah melupakan masa lalu yang kelam. Sekarang, aku telah membuka lembaran baru.
"Diana. Apa kabar?" tanya dari seorang lelaki yang mirip dengan Deri. Sekali lagi, aku masih menatap indah matanya. Ternyata benar, kau adalah Deri. Aku langsung bangkit dari tempat santaiku.
"Baik. Ada apa kamu ke sini?"
"Ini---" Deri memberi sebuah kertas berwarna merah berbalut pita, "undangan untukmu."
Mataku seketika menjadi bulat. Tanganku bergetar, "Undangan siapa?"
"Aku," jawabnya singkat.
"Oh, jadi ini alasan kamu untuk meninggalkanku waktu itu, ya? Atau---"
"Iya, Diana. Maaf, aku tidak bilang."
"Tidak mengapa. Aku sudah ikhlas. Terima kasih, ya. Ada yang mau disampaikan lagi?"Â
"Jangan lupa datang. Aku menunggu kehadiranmu. Maafkan aku."
"Sudahlah, tenang saja. Itu jodoh kamu. Aku bukanlah yang terbaik untukmu. Lagian, aku sudah nyaman dengan kesendirianku. Maafkan aku, ya."
"Tapi, kamu tidak salah, Diana. Aku yang salah---" Deri bertekuk lutut di hadapanmu sambil meneteskan air matanya, "maafkan aku, Diana."
"Hai, berdirilah. Aku telah memaafkanmu."
Dia berdiri lagi. Senja yang pernah kita lihat bersama, telah menjadi saksi bisu di antara kita. Tak ada lagi yang saling menikmati keindahan semesta. Sekarang, kau dan aku sebatas sejarah tak terabadikan di negara. Cukup ini sejarah antara kita.
Setelah kau memberi undangan kepadaku. Engkau pun pergi. Derap langkahmu mengajariku untuk mengikhlaskan. Aku berusaha tegar, meski sulit. Kata "maaf" sebuah kata yang membuatku rela.
Ini adalah cerita kita. Terima kasih telah mengajarkanku untuk mengikhlaskan, bukan membenci. Terima kasih telah hadir dalam hidupku. Setelah ini, engkau bahagia dengan dia. Wanita pilihanmu dan telah tertuliskan di buku takdir jauh sebelum kita dilahirkan di dunia.
Aku yakin, akan ada seseorang yang baik. Entah itu jodoh atau maut. Intinya, aku tetap mempersiapkan diri.
Ini cerita kita, bukan cerita orang lain.
Kisah kita yang pernah kita buat bersama.
Tatkala hati telah dipertemukan, walau hanya sesaat.
Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H